Dua Puluh Tujuh

1.8K 225 53
                                    

Juna menggenggam ponsel Arkan selagi netranya terpusat pada sebuah kontak yang tertera di layar. Ada keraguan untuk menghubungi Dirga, tetapi ia merasa harus memberitahu sang ayah tentang kondisi Arkan. Sejak kemarin sore, Arkan menolak pergi dari rumahnya. Hingga pagi ini, kesehatan sang adik menurun dan Juna membawanya ke rumah sakit. Juna pikir, ia tak bisa terus menuruti keinginan Arkan untuk tidak memberitahu Dirga tentang keberadaannya.

"Lo kalau nggak yakin mending nggak usah, Jun." Kevin berucap selagi memandang Juna yang duduk di sebelahnya. Diamnya sang sahabat membuatnya berpikir jika Juna menyimpan kesangsian yang amat besar.

Sesungguhnya, Kevin masih sulit mencerna setiap hal yang telah Juna ceritakan mengenai sosok Arkan. Ia sukar percaya dengan apa yang menimpa Juna selama ini. Pun, dirinya baru tahu jika Juna sebenarnya masih memiliki keluarga selain bundanya. Yang ia tak habis pikir, Juna tak pernah menceritakan padanya tentang mereka.

Juna menghela napas panjang, lantas diembuskannya dengan cepat. "Mereka berhak tau, Vin."

"Tapi Arkan nggak pengin mereka tau. Dan, gimana kalau mereka nanti bersikap nggak baik ke lo?" Kevin masih mencoba membuat Juna mempertimbangkan lagi keputusannya. Jujur, ia takut jika Juna diperlakukan buruk nantinya. Ia yakin hubungan Juna dengan keluarganya tidak begitu baik. Terlebih, mengingat kondisi sang sahabat. Ia paham jika sejak kemarin Juna menahan sakitnya hanya demi Arkan.

Juna tak menjawab Kevin. Ia menekan icon di layar ponsel untuk melakukan panggilan dengan Dirga.

"Pokoknya, kalau mereka udah ke sini, kita pulang, Jun ...," ucap Kevin, diam beberapa saat sebelum melanjutkan, "Eh, enggak. Lo ke dokter dulu. Gue nggak yakin kalau lo lagi sehat. Muka udah kayak zombie begitu."

Juna hanya melirik Kevin sekilas, sebelum kembali fokus pada nada tunggu yang keluar dari ponsel Arkan. Beberapa saat kemudian, suara Dirga terdengar. Sejenak, Juna kehilangan kata-kata. Ia berdeham, membasahi kerongkongan yang terasa kering.

"Arkan, jawab Ayah! Kamu di mana?"

"Ini Juna." Tak ada jawaban usai Juna berkata. Namun, beberapa saat kemudian Dirga menjawab dengan nada bicara yang lebih keras.

"Apa yang kamu lakukan pada Arkan? Di mana dia?"

"Arkan di rumah sakit Permata Medika, Yah. Ayah bisa ke sini."

"Rumah sakit? Kenapa bisa di rumah sakit? Apa yang sudah kamu lakukan, ha?"

"Ayah ke sini aja. Aku bakal jelasin, aku nggak akan kabur." Juna memutuskan sambungan telepon sepihak. Ia menyandarkan tubuh pada kursi. Diam, selagi menunggu kedatangan ayahnya. Juna siap akan apa pun yang harus ia terima nantinya. Ia tidak akan menjadi pengecut dengan pergi begitu saja.

"Ayo, Jun, lo periksa dulu ke dokter apa gimana gitu." Kevin kembali membujuk Juna usai lelaki itu mengakhiri pembicaraan dengan Dirga.

"Nanti, kalau ayah udah ke sini," jawab Juna, membuat Kevin hanya dapat mendengkus keras.

***

Juna meremas kedua telapak tangannya yang berkeringat. Beberapa kali ia mengambil napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Lelaki itu menggigit bibir bawahnya untuk menahan sakit. Semakin lama, rasanya makin sulit untuk menahan sakit yang menghajar tubuhnya.

Someday, Somehow✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang