8. Tim Alpha

26 4 0
                                    

"Sungguh. Aku tidak percaya aku akan memimpin rekan-rekanku sendiri. Kita lewatkan formalitasnya. Perkenalan ulang biasa saja. Namaku Affad."

"Rifka."

"Senya."

"Ridho."

"Nazaria."

"Kenapa harus kalian sih?" Laki-laki ramping itu menggerutu kesal. Dia tampak memegang dahinya dengan telapak tangan kirinya, mungkin berpikir.

"Aku tidak perlu melatih kalian, karena aku sudah tahu kemampuan kalian. Kita cukupkan hari ini. Kalian bisa pulang."

Dan hari itu kami semua dibubarkan lebih cepat dari tim lainnya yang baru dibentuk. Namun, keluargaku yang biasa menjemputku akan datang telat. Teman-temanku izin pulang duluan. Karena bosan, aku kembali ke dalam, mungkin mengerjakan satu atau dua latihan untuk kemampuanku.

"Turunlah! Oberon!" Suara keras itu diikuti dengan ledakan keras. Aku tahu Affad adalah salah satu yang beruntung. Dia lahir dengan kemampuan luar biasa, kecepatan belajar tinggi, dan kecepatan perkembangan yang abnormal. Usia 14 dan dia sudah rank A. Curang sekali. Sebenarnya, aku juga punya keunggulan kecerdasan, namun lemahnya kesehatanku membuatku lamban berkembang.

"Mendaratlah! Megidola!"

Aku melihat dia berlatih dengan beberapa dummy. Benda-benda latihan itu hancur dapat teknik yang menciptakan beberapa laser ke tubuh mereka. Huh. Enak ya.

"Oberon! Freidyne!"

Ledakan keras menghantam lapangan itu. Tidak terlalu besar, namun cukup kuat. Aku ingin punya kemampuan kuat seperti itu.

"Maeigaon!"

Kali ini sebuah aura gelap menghantam beberapa titik di lapangan itu. Dia sepertinya tidak menyadari kehadiranku. Tidak penting. Aku juga tidak menyukainya. Dia terlalu arogan, dan status terkenalnya membuat dia buta diri.

"Sial. Makougaon!"

Kali ini kumpulan cahaya yang mendarat di sekitarnya. Cahaya menyilaukan yang cukup untuk memberi sinyal dia sangat kuat. Tiga, bukan, empat elemen dia miliki. Enak sekali.

"Huh. Segini saja aku bisa ya. Payah. Apa begini caraku melindungi dia?"

Oh. Seorang Affad ada yang ingin dilindungi? Dia terlalu sibuk menikmati momen terkenalnya. Jangan buat aku lupa momen dia menggunakan teknik bernama Megido itu untuk menunjukkan kekuatannya saat battle royale para petarung di tingkat kota tahun kemarin. Kekuatan itu membuat dia menang tingkat kota hanya dalam satu serang. Untuk penekanan kemampuannya, dia juara internasional di battle royale untuk rank B. Jadi, kualifikasi A dia bukan kualifikasi lokal atau negara, tapi dari internasional. Kekuatan dan kecerdikan strateginya di atas rata-rata. Kamu tidak akan tahu apa yang dia siapkan sebelum terlambat merespons.

"Sudahlah. Aku coba lain waktu saja. Tidak. Aku harus mencoba lagi. Oberon!"

Dia terus mengulang semua kemampuannya. Aku mendapat telepon, dan pergi meninggalkannya.

"Bagaimana harimu sayang?" Ibuku bertanya dari kursi yang beliau duduki. Aku tersenyum.

"Menyenangkan Bu. Hanya saja, pelatih tim Rifka tidak semenyenangkan yang Rifka harapkan."

"Kenapa sayang?" Ibuku bertanya dengan lembutnya.

"Dia teman Rifka di akademi. Akrab dengan guru-guru, namun sombongnya terlalu berlebih. Dia sudah rank C saat Rifka di tahun-tahun terakhir akademi. Sekarang dia sudah rank A dan sepertinya dia tidak suka membimbing tim Rifka."

"Jangan seperti itu sayang. Kita tidak tahu bagaimana orang di dalam hatinya. Kita harus terbiasa tersenyum. Rifka tidak menunjukkan sikap tidak suka dihadapannya kan?"

"Tidak ibu. Rifka selalu mengamalkan apa yang ibu ajarkan. Mungkin jika dia ada sisi positif yang bisa Rifka nilai, setidaknya tidak seburuk ini penilaian dia di mata Rifka."

"Jalani saja sayang. Semua akan terbuka sesuai waktunya," ibuku menjawab dengan senyuman. Ya, aku akan melaksanakan ajaran baik dari ibuku.

"Ayah penasaran dengan orangnya. Kuat ya. Ayah ingin tahu," komentar ayah yang menyupir mobil. Matanya terfokus ke jalan yang ramai.

"Dia bisa menggunakan empat elemen. Selain itu, dia juga terkenal dengan gelar Sang Raja. Kebetulan, nama persona nya Oberon."

"Menarik. Bukankah persona Rifka bernama Titania?" Ayah tersenyum simpul. Aku menggelengkan kepala.

"Masih banyak orang yang bisa punya Oberon, seperti halnya Rifka dan ibu sama-sama punya Titania," balasku datar. Ayah hanya terkekeh.

"Tenang saja. Dia harus mengerti kultur dan budaya kepercayaan kita serta menerapkannya dengan baik sebelum dia pantas di mata ayah."

"Kualifikasi yang berat ya," jawab ibu dengan nada santai. Ayah menganggukkan kepalanya.

"Setidaknya ayah tahu satu Oberon dalam daftar hitamku."

Sins and Dreams [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang