36. Pertemuan Takdir [R]

11 2 2
                                    

Dia menghilang. Aku segera mengatur posisiku dan memeriksa sekitarku. Tidak ada tanda orang itu. Hal selanjutnya yang aku sadari adalah garis hitam yang merayap ke arahku. Lingkaran batas!

Segera aku berlari meninggalkan tempat itu menuju posisi lebih aman. Seluruh lingkaran akan habis dalam 23 jam, dengan penyusutan setiap 1 jam. Dengan kata lain, semakin lama, pertarungan semakin tak terelakkan.

Dalam 12 jam selanjutnya, arena ini sudah kehilangan lebih dari setengah  pemainnya. Jarak kami juga tidak terlalu besar lagi, namun masih cukup untuk menghindari pertemuan untuk beberapa jam berikutnya.

Perlengkapan tempurku juga hampir habis, hanya pisau milikku dengan 10 obat sederhana yang tersisa, serta tiga paket obat anti-halusinogen dengan total 18 obat, untuk persiapan terburuk jika aku melawan musuh dengan kemampuan menakuti, tapi takdir tidak ada mempertemukan dengan mereka. Aku justru berhadapan dengan banyak pengguna yang siap membuatmu terbakar, atau membeku, atau tersengat yang menghabiskan stok pendingin dan penghangat tubuh, dan harus menikmati sedikit momen korslet. Sisanya, hebat aku tidak mendapatkan mereka.

Ya, dan itu tepat bagiku karena aku tidak sempat menyiapkan diri untuk obat anti-migrain, obat putus asa, obat penenang, permen anti-kantuk dan sekawanannya. Fakta lawanku banyak yang mudah dihantam dengan es sangat membantuku.

Aku menatap ke dua tubuh lawanku yang baru saja aku kalahkan. Spesialis api, tapi mudah dikalahkan oleh King Frost dengan esnya. Aku tidak menyangka A Rank selemah ini... atau aku yang beruntung mendapat musuh yang kelemahannya selalu bisa aku bidik dengan mudah.

Namun, langkah seseorang membuatku berhenti memperhatikan dua tubuh terkapar itu. Aku bisa merasakan aura gelap yang menyelimuti area ini, dan tahu siapa yang memilikinya.

"Jujur saja, Reza, aku tidak menduga kita akan bertarung secara langsung di sini," suara itu menembus indra pendengaranku. Rasa panik mulai menyelimuti, namun aku menarik nafas berat, menenangkan diri. Mataku menatap ke arah perempuan itu.

"Kamu sendiri tampak lumayan terluka, dari berantakannya pakaianmu itu, Lastri," jawabku setenang mungkin. Sepertinya tidak ada jalan keluar dari pertarungan ini. Tak terelakkan bahwa kami akan beradu kekuatan di sini.

"Aku hanya memuaskan rasa benci yang sudah terlalu dalam aku tutupi dengan sikap baikku. Kamu sendiri tahu kan, jika banyak orang A Rank adalah angkatan atas yang juga sama merendahkanku, seperti angkatan kita dulu," komentar Lastri dengan nada dingin. Aku menatap tajam ke arahnya. Mata Lastri tidak lagi mata teduh yang selama ini aku saksikan, dan bukan iris dengan warna hitam yang tenang di sana, melainkan merah.

"Tidak seperti dirimu," komentarku datar. Lastri hanya mendecih, seraya menatapku tajam dengan iris merahnya.

"Ya. Aku muak menutupi diriku. Aku muak menginjak diri sendiri, dan lelah aku menerima setiap hinaan mereka. Aku ingin menyumpal mulut mereka semua, dan membuat mereka menangis memohon ampun. Asterius telah menawarkan apa yang aku inginkan. Aku tidak akan kalah, aku akan menyelesaikan setiap dari mereka yang menginjakku yang ada di tempat ini," ucap Lastri, yang diikuti dengan auman dari makhluk gelap di belakang tubuhnya. Ini bukan Lastri yang aku kenal. Ini adalah... orang yang haus akan balas dendam.

"Apa kamu akan bahagia setelah mereka semua tunduk di bawahmu, Lastri?" Aku bertanya dengan nada dingin, namun pisau telah aku raih dan genggam erat di tangan kananku. Lastri terkekeh, membuatku sedikit terkejut.

"Aku hanya ingin mendengar mereka semua takut dan merasakan deritaku dulu. Setidaknya, mereka akan meratapi dosa mereka untuk waktu yang lama," balasnya. Dia lalu menunjukkan tangan kanannya ke arahku, "dan Reza, giliranmu untuk merasakan semua derita yang telah aku rasakan karena ulahmu dan fans fanatik gilamu yang tidak kamu awasi!"

"Arsene!"

"Matilah! Titanomachinia!"

Api penghancur itu membarakan pilar-pilarnya ke arahku dan Arsene. Kami segera menghindar semaksimal mungkin, dan nyaris saja mengenai api pembawa rasa takut itu.

"Tidak semudah itu, Reza. Eigaon!"

"Sial. Eigaon!"

Aku tidak bisa melawannya dengan Arsene. Kegelapan Asterius lebih kuat, dan berhasil melukai Arsene, yang berakibat aku terluka. Aku menghapuskan Arsene, dan Lastri tersenyum cantik, namun terlihat dia menggila.

"Bakarlah! Titanomachinia!"

Apa dia tidak kehabisan tenaga menggunakan teknik itu berulang kali? Aku bergerak cepat menghindarinya. Lalu, aku melakukan satu hal yang aku harapkan berhasil.

"King Frost! Bufudyne!"

Bebatuan es itu meluncur ke arah Asterius yang baru selesai memakai Titanomachinia. Satu-satu celah yang aku temukan adalah teknik itu menerlukan waktu untuk efek penuhnya. Lastri tidak akan-

"Eigaon!"

Tidak mungkin. Itu lebih cepat dari yang ku harapkan. Dia bisa bereaksi cukup cepat untuk menghalangi Bufudyne milikku.

"Tidak buruk," suara Lastri terdengar keruh, seperti tercemar oleh kegelapan. Apakah dia terkendali oleh Asterius?

"Bufudyne!"

"Eigaon!"

Dan kembali elemen kami beradu. Aku tidak tahu apakah di depanku ini adalah Lastri ataukah Asterius, tapi, aku menolak untuk kalah sekarang.

"Kamu pasti gak bakal lolos sepuluh besar dengan kemalasanmu, emang kamu bisa apa? Ayah nggak pernah lihat kamu latihan seperti kakakmu."

Aku tidak hanya akan 10 besar membantah hinaan ayahku, tapi aku akan memenangkan Battle Royale ini!

Sins and Dreams [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang