Setelah perbincangan dan menentukan jalan apalagi yang harus aku tempuh, akhirnya kami mencapai titik temu. Mama, papa, bunda, dan disusul ayah yang baru saja datang kini tengah membicarakan tentang keberangkatanku.
Bukan mau liburan keluarga atau liburan sendiri, tetapi mereka sudah memutuskan untuk mengirimku ke Jerman bertemu dengan Revan, ayah dari calon bayi yang kini tengah tidur manis di dalam perutku.
Aku memutuskan untuk memberitahu Revan saat aku tiba di Jerman. Bukan melalui chatting atau via suara, aku hanya ingin melihat reaksinya, atas apa yang dia perbuat. Tapi bagaimana kalau reaksi Revan tidak sesuai dengan ekspetasiku? Bagaimana kalau Revan marah? Apa yang harus aku lakukan?
Mama sudah menghubungin kampusku saat itu juga, dan pihak kampus memutuskan untuk mencabut undangan yang mereka berikan kepadaku. Walaupun pada awalnya aku kecewa dan kesal, tetapi kalau diingat lagi alasan kenapa aku tidak berkuliah, itu akan selalu memperbaiki moodku.
"Jadi Eca langsung berangkat aja ya lusa," ucap papa menarik kesimpulan.
Semua yang ada di ruangan ini mengangguk setuju, termasuk aku.
"Dari Bandara Soettakan?" Tanyaku untuk memastikan.
"Iya, kan memang bandara internasional hanya disana," jawab bunda lalu menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Oh iya, hehe..." balasku dengan cengiran.
🍭
Aku terlalu excited untuk bangun pagi ini. Dua hari lagi aku akan berangkat ke Frankfurt bertemu Revan untuk membawa kabar kehamilanku. Ada rasa cemas juga yang terkdang kerap menyapaku. Aku selalu takut kalau Revan tidak akan menerima anak ini.
Aku beranjak bangun dari tempat tidur kemudian berjalan menuju ke lemari bajuku. Aku mengambil beberapa baju yang ku rasa perlu dibawa karena disana musim semi, jadi aku membawa beberapa coat setidaknya untuk menghangatkanku.
Sejauh ini, semua orang mendukungku, apalagi Aldo setelah mengetahui kabar kehamilanku dia sangat senang dan memberikan baby banyak baju, padahal dia saja belum lahir.
Ku sudahi sebentar membenahkan baju. Tiba-tiba saja perutku terasa mual, dan aku langsung berlari menuju ke toilet. Rutinitas pagiku mulai sejak kemarin adalah bangun pagi lalu muntah-muntah. Kalau dulu saat libur aku akan bangun jam sembilan pagi, sekarang bisa bangun jam tujuh saja sudah syukur.
"Baby bantu mama sebentar dong, mamakan mau beres-beres. Jangan rewel-rewel ya." Aku mengelus perut datarku yang sedikit agak menonjol. Hanya sedikit.
Tok... tok...
Tidak salah lagi, pasti ada seseorang yang sedang mengetuk pintu apartementku. Aku berjalan ke arah pintu depan lalu mengintip melalui lubang kecil yang berada di pintu depan. Tanpa ragu aku langsung membuka pintu itu.
"Tadaaa... gue bawain ramen kesukaan lo," ucap Aldo sambil menyodorkan satu bungkus ramen.
"Makasihh..." balasku dengan senang kemudian mengambil bungkusan itu.
"Apasi yang nggak buat bumil satu ini. Adeknya gak rewelkan? Lo lagi ngapain?" Tanyanya beruntun kemudian mengintip apartmentku.
"Dedeknya gak rewel kok om. Udah masuk aja ayo kalo mau," ajakku.
"Boleh ni? Tumben."
"Kan ini hari terakhir gue di Indo."
"Terus lo rencana lahiran di sana?" Tanya Aldo seraya menghempaskan badannya di sofa.
"Ya belom tau, tergantung Revan. Gue aja gak tau Revan nerima anak ini apa nggak," kataku kemudian menuangkan mie ramen ke dalam mangkuk kemudian membawanya ke sofa depan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Me and Teacher
Romance[COMPLETED] Dijodohkan dengan Pak Revan?! Apa ini tanda-tanda akhir hidupku?! Biar aku kenalkan, Namanya Revansyah Taruma Soetardji, guru fisika yang paling kaku menurutku, dari nama belakangnya saja semua orang pasti sudah tahu kalau dia adalah ana...