The Man Who Can't Be Moved

103 8 9
                                    

Orang-orang berkata, aku harus pergi dari tempat ini. Meninggalkan kenangan yang telah kita rangkai bersama menjadi sebuah kisah cinta klasik berbau romansa. Aku akui mantramu tepat sasaran sampai aku lupa di dunia ini bukan hanya kamu saja perempuannya. Kamu bilang aku mudah mencari penggantimu, nyatanya aku tidak mampu.

"Kamu tahu, Gibran, aku pingin punya rumah besar diujung jalan sana," katanya waktu itu sambil melingkarkan tangannya di pinggang saat kami memutari kompleks menggunakan sepeda motor.

"Nanti disana aku pingin punya banyak tanaman. You know, Gib, anak-anak perlu belajar fauna bukan?"

Aku tersenyum tipis sambil menggandeng tangannya dan menggiring masuk ke sebuah taman yang lumayan besar yang berada di tengah kompleks tersebut, "Dan aku akan memelihara ular."

"Mau anakmu mati? Nggak sekalian pelihara komodo?"

"Boleh-boleh, nanti aku nyuri di kebun binatang. Kamu bantuin aku manjat tembok, oke?"

"Gibran!!"

Aku tertawa keras, wajah cemberut itu selalu menjadi kesenangan tersendiri bagiku. Apalagi setelah lelah bekerja seharian. Ghina bagaikan minuman suplemen penyegar setiap saat. Apalagi dengan potongan rambut barunya yang membuatnya terlihat dewasa. Sayangnya aku terlalu banyak mengagumi ciptaan Tuhan, sampai lupa kenapa rambut itu dipotong dan setiap aku memegangnya selalu ada helaian rambut di jari-jariku.

"Ngapain kamu deket-deket aku? Jauh-jauh sana, belum mandi, bau asem."

"Siapa ya, yang tadi telpon minta diajak muter-muter kompleks tetangga?" aku tertawa kencang, mengabaikan sorotan tajam seorang pria paruh baya yang sedang mengajari anaknya bersepeda.

"Biarin aku kesel sama kamu," jawabnya singkat tanpa menoleh ke belakang dan langsung duduk di sebuah ayunan, "Bilangnya sabtu mau ke rumah, tahu-tahunya tidur. Entah tidur beneran atau tidur sama cewek."

Aku mendorong tubuhnya pelan, "Iya, aku ngaku salah waktu itu, kan tadi kita udah bahas di rumahmu, masih kurang banyak ceramahnya? Biar aku beli cemilan dulu di Alfa terus lanjut ceramahnya, gimana?"

"Sinting," umpatnya.

"Mbak Ghina, kan?" tiba-tiba seorang wanita paruh baya datang dari belakangku membuat Ghina refleks berdiri dan tersenyum ramah meninggalkanku di belakang bersama pria paruh baya yang sedang menggendong anak kecil berbadan besar dengan kepala botak.

"Ini pacarnya, mbak?" ibu tadi melirik ke arahku dengan senyum misteriusnya. Padahal aku tidak ada hutang dengan wanita itu, tetapi tatapannya yang ramah seketika berubah tajam saat aku mencoba mengajak berbicara balita yang sudah didudukan di sepeda roda tiga.

"Iya, bu. Ganteng kan? Idola remaja dia, bu."

"Halah, ganteng darimana? Masih gantengan mantanmu yang udah kawin itu lho."

Aku hanya meringis. Survei yang dilakukan Andi bulan lalu sudah terlihat tidak masuk akal. Pria berumur tiga puluh lima itu selalu bilang bahwa aku adalah idola para wanita di kantor dan dia juga mengatakan bahwa putrinya yang baru masuk SMP berkata bahwa aku adalah pria idamannya dengan kumis tipis, mata yang tajam, tubuh tinggi, bahkan terdapat tattoo bergambar harimau di dadaku yang menambah kesan seksi dan laki banget. Tapi setelah mendengar jawaban polos dan menusuk hati dari wanita itu aku akui ibuku memang yang paling benar, bahwa aku adalah pria paling jelek dengan wajah yang berlagak sok ganteng itu.

"Emang bener, ya, mantanmu itu idola ibu-ibu kompleks," aku baru membuka mulutku setelah pasangan itu pergi.

Ghina malah tertawa keras tepat di depan wajahku. Tinggi kami hampir sama, bahkan keluarganya menjuluki kami pasangan jerapah. Karena memang di keluarga kami hanya aku dan dia yang paling tinggi, "Pesonanya bang Satria kan nggak ada yang nandingi, Gib, wajarlah kemana-mana selalu ada fansnya."

Hanya Kata dari Rasa (One Shot)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang