Kafe kali ini terlihat sepi, hanya ada kami berdua yang saling diam sambil berpandangan dan sesekali tersenyum. Sebelum akhirnya terdengar suara tawa yang nyaring dan melegakan, bahwa kami sama-sama bodoh.
Untuk pertama kalinya kita bertemu dengan status hanya sebagai teman. Dua tahun yang sangat melelahkan dan membuang tenaga.
"Kabar gimana?"
Dia mengangguk, senyum yang masih sama, "Baik. Lucu ya?"
Aku hanya membalasnya dengan senyum terkulum, "Jadi gimana?"
"Gimana kalau kita pesen minum dulu?"
Aku mengangguk setuju, "Kenapa sih, selalu lupa pesen dulu kalau udah duduk gini?"
"Itu kenangan paling seru, Din, bisa aku ceritain ke temen berulang kali. Bahkan kita pernah dua jam duduk tanpa pesen sama sekali."
Aku mengangguk lagi sebagai jawaban, bingung harus merespon seperti apa. Sejak dulu kami tidak pernah berubah selalu menghabiskan waktu dengan duduk santai dan berbicara sepuasnya tanpa memesan makanan atau minuman terlebih dahulu. Dulu terasa menyenangkan, tapi semua sudah berbeda. Aku dan tidak mampuku membuat duniaku berantakan dan terkesan menertawakan diri sendiri.
Hello, it's me
I was wondering
If after all these years
You'd like to meet
To go over
Dua es teh sudah ada dimeja, dengan pikiran berkecambuk dan dada bergemuruh. Aku akui aku bingung berbuat seperti apa. Duduk berdua setelah sekian lama, sangat berbeda saat pertama kali bertemu. Sebelum akhirnya dia menggiringku pergi berkeliling kota saat senja mulai menyapa.
Aku ingat saat semua bintang bertaburan di langit dengan induknya, bulan yang begitu sempurna sebagai pengganti lampu, duduk dengan nyaman di atas rumput sambil memandang kota di bawah sana yang penuh gemerlap lampu. Kota yang luas dan besar dengan suara kendaraan dan jauh dari polusi. Dulu sangat menyenangkan bila diingat.
I'm in California dreaming about who we used to be
When we were younger and free
Dulu saat kita hanya berdua, aku akan bercerita tentang kegiatanku di kantor. Menceritakan Sindi yang gemar bergosip atau pak Arif dengan perut buncitnya yang selalu kalang kabut saat istrinya menelpon menginginkan sebuah mangga atau apapun itu untuk calon bayi pertamanya. Saat itu juga Andhika akan menyimak dengan teliti dan sesekali menimpali dengan humornya yang receh. Sebelum sebuah cincin di depan mataku yang dia berikan, merubah segalanya. Hubungan ini dan keluh kesah kami. Semua terbongkar.
Hello, how are you?
It's so typical of me to talk about myself, I'm sorry
I hope that you're well
"Aku nggak bisa."
"Dinda, kita udah sepuluh tahun."
"Aku nggak bisa, hari ini atau seterusnya. Kita nggak sama."
"Kalau nggak bisa, kenapa kamu terima aku?"
"Ini bukan tentang aku aja, ini tentang keluarga aku juga," tanganku memegang ujung baju dengan erat, "Mereka nggak suka sama kerjaan kamu."
"Dinda, aku bisa keluar darisana. Kita bisa hidup bahagia. Sepuluh tahun, Din."
Aku tahu wajah putus asamu. Memilih mengabaikan dan berpaling.
"Tetap nggak bisa. Keluargaku selalu kenalin aku ke cowok lain padahal mereka tahu aku udah punya pacar."
Aku menatapnya kembali, "Susah, Dik."
Saat itu juga dunia yang kita rencanakan harus terkubur dalam-dalam. Dika memilih pergi dan masuk ke dalam mobilnya. Sedangkan aku hanya duduk diam di atas rumput yang mulai berembun. Jagung dan teh yang telah dingin menjadi kawanku di malam itu. Sebelum akhirnya dua tahun berlalu dan baru kali ini kita bertatapan lagi dan berbicara mengenai masa lalu.
Saat ada dua orang yang saling mengenal sebelum akhirnya memutuskan untuk pergi, dan saat mereka bertemu kembali. Nostalgia. Satu kata yang tidak dapat merubah semua. Walaupun diulang tidak pernah berhasil karena novel itu selalu dibaca sampai selesai.
Aku pertama kali bertemu Dika saat ospek SMA, dia kakak kelas sekaligus ketua OSIS yang sangat terkenal di sekolah kami. Rambutnya yang selalu ditata rapi dan senyum lebarnya saat adik kelas atau temannya menyapa. Cowok ramah yang harus terjebak sepuluh tahun denganku si gadis bodoh tanpa ekspresi dan perasaan.
To tell you I'm sorry, for breaking your heart
But it don't metter, it cleary doesn't you anymore
"Jadi gimana?" tanyanya sambil memberikan kopi sebagai teman kami malam ini.
"Masih sama, sendiri," jawabku sambil menatap pria disamping yang jauh berbeda dari dua tahun lalu, "Ada yang deket, dikenalin temen. Nggak cocok."
"Sesuah itu?"
Aku hanya menunduk dalam, "Pernah main dating apps, nggak lama cuma dua minggu."
"Move on, Din," katanya sambil menatap ke depan dengan senyum tipis.
"Kamu udah nggak ada rasa sama aku?"
Dika bukannya menjawab dia malah kembali ke mobilnya dan memberikan undangan sebagai gantinya, "Aku mau nikah."
Undangan itu sudah berada ditanganku dengan nama sang pengantin yang terlihat jelas Andika dan Alnira. Nama yang sangat cocok, jangan lupakan namaku yang tertulis sangat jelas dibawahnya, Adinda. Sang masa lalu yang mengharapkan kembali.
"Dia yang nemenin aku selama aku susah. Padahal aku nunggu kamu tapi kamu nggak pernah datang. Sesulit itu kah?"
Aku hanya diam membisu. Menatap lurus ke jalanan depan. Tidak ada lagi suara yang keluar dari mulut kami, semua hening dan kaku disaat bersamaan.
"Ini cincin saat aku lamar kamu," katanya memecah keheningan dengan memperlihatkan cicin yang begitu cantik di depan mataku.
"Kenapa masih disimpen?"
"Buat kenangan," jawabnya enteng, "Sekarang, udah selesai. Urusan kita udah nggak ada."
"Dika, nggak usah gitu," balasku mulai panik saat dia mengambil langkah untuk membuang cincin itu tanpa memperdulikanku yang menghadangnya.
"Buat apa? Nggak ada gunanya, Din. Sepuluh tahun, semuanya udah beda."
"Apa pentingnya buat kamu?" lanjutnya.
Aku hanya diam sambil menatap ke arahnya.
"Sepuluh tahunku kalah sama omongan keluargamu," Dika menoleh kesamping sebelum akhirnya menatapku kembali, "Yang jalanin dua orang, Din, kalau nggak suka dari awal kenapa dipertahanin? Buang waktu."
Hello from the outside
At least I can say that I've tired
To tell you I'm sorry, for breaking your heart
-End-
KAMU SEDANG MEMBACA
Hanya Kata dari Rasa (One Shot)
Short StoryPerkenalkan aku DjuangRasa, senang bertemu dengan kalian. "Hanya Kata dari Rasa" adalah kumpulan One Shot.