"Ci, bagus yang ini atau yang ini?"
"Bagus yang putih."
"Iya, sih, ini bagus. Bagus kalau elo yang makai," jawabnya sambil tersenyum ke arahku yang sudah memalingkan wajah, "Tapi gue lebih suka item, Alexa cocok kalau pakai item."
"Kalau udah tahu, kenapa lo tanya gue," jawabku sarkas.
Rizky bukannya langsung menaruh gaun itu ke kasir, dia malah menghampiriku yang sedang mengamati tas berharga fantastis di depanku ini, sambil menarik hidungku dan menjauh sejauh mungkin sambil tertawa nyaring tentunya.
Ada saat-saat dimana momen seperti ini menjadi kesenangan bagiku. Berjalan berdua, masuk ke toko satu ke yang lain dan duduk sambil memakan burger atau es krim. Mengobrol sambil menatap mata satu sama lain dan bercerita tentang kegiatan kami hari ini atau sebelumnya. Tetapi itu dulu, sekarang waktunya bersamaku hanya sebulan sekali, lebih singkat dari biasanya.
Rizky cowok paling kalem dan jahil yang mampu membuka duniaku yang kelam hanya dengan satu ceramahnya saja. Berteman dengannya cukup menyenangkan. Dia yang pintar mencari tempat gaul yang enak dan nyaman selalu bisa menghipnotisku kapan saja. Rizky membuatku tahu bahwa memiliki banyak teman lawan jenis tidak pernah mebosankan. Cewek pendiam ini sudah berubah menjadi sangat cerewet entah kepada yang tidak kenal maupun sahabat terdekat.
"Lo ngajak gue jalan, emang kasus itu udah kelar?"
"Udah, batal di tengah jalan. Padahal gue udah kesana kemari. Namanya juga dijodohin, gue maklum."
"Tapi kalau dipikir-pikir kayak sinetron," lanjutnya.
Aku tertawa, "Batal dong lo beliin gue tas 50juta."
"Mata duitan lo kurangin dikit lah, Ci. Pantes masih jomblo."
"Kalau nggak gini, nggak bakal kaya gue."
"Lo mah udah kaya dari lahir, emang lonya aja yang sok merendah."
Rizky ini seorang pengacara, omongannya dapat dibeli dengan harga fantastis. Jago omong dari dulu memang. Debat dengan siapapun dia selalu yang terdepan. Kecuali jika berhadapan denganku, nyalinya ciut dan aku yang akan menang, entah dia mengalah atau tidak enak karena aku perempuan dan keluarga kami saling mengenal, aku tidak tahu.
Sedangkan aku hanya seorang dosen matakuliah Sejarah di salah satu kampus terbaik di kota. Rizky remaja selalu menginap di rumahku hanya karena rumahnya sepi, entah itu benar atau tidak. Ayahnya seorang tentara yang jarang berada di rumah, sedangkan ibunya lebih suka tinggal di rumah neneknya dengan mengajak kedua adiknya tanpa sepengetahuannya, itu jawabannya saat aku menanyakan perihal itu kepadanya.
"Ngomong-ngomong, mahasiswa yang kemarin lo ceritain itu gimana?"
"Biasa, gue pusing, selalu ada dosen yang bilang ke gue, ini-itu. Mana nilainya dia turun banget lagi."
"Ngulang semua?"
"Semua, bodohnya lagi, yang semester lalu belum diulang sama dia."
"Lo kurang tegas, emang dasar lonya baik banget dari dulu. Suka nggak tegaan sama orang," terangnya namun lima detik setelahnya dia meralat ucapannya, "Tapi lo kan manusia jahat dan tidak berperikemanusiaan, Ci. Nggak mungkinlah, orang gue aja kalau lo ngamuk, pingin buat kuburan sendiri."
Aku memilih mencubit lengannya, mengabaikan matanya yang kecil itu melotot ke arahku. Sebelum tangannya melayang menarik hidungku kembali, ponselnya bergetar sambil berkata, "maaf," dia menjauh dariku. Sepuluh menit kemudian, dia kembali dengan senyum sehangat mentari yang jarang dia perlihatkan.
"Lexa bakal kesini, nggak papa kan, Ci?"
"Nggak papa, lagian juga biar ramai. Nggak lo susul?"
"Dia bilang pesenin makanan aja, sih. Tapi gue mau turun, mau nyusul dia di lobby," jawabnya sambil memasukan ponsel ke saku, "Kalau lo mau pesen lagi, gue yang bayar."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hanya Kata dari Rasa (One Shot)
Short StoryPerkenalkan aku DjuangRasa, senang bertemu dengan kalian. "Hanya Kata dari Rasa" adalah kumpulan One Shot.