Jika diantara kita berkhianat, yang disalahkan adalah aku. Aku yang terlalu percaya diri dan aku yang tidak bisa menjagamu. Seharusnya kamu menolakmu sedari awal. Mencintai wanita sempurna sepertimu sangat tidak masuk akal.
Aku masih di jendela yang sama, menikmati hembusan angin yang menerpa wajah dengan tergesa-gesa. Aku masih memangku gitar pemberianmu sebagai kado ulang tahunku yang lalu. Hari ini, bulan purnama, entah kamu ingat atau tidak. Di bawah sana kita pernah berjanji untuk selalu bersama, Kasih.
Aku ingin bercerita kepada kalian, tentang harapan yang telah sirna.
Namanya Kasih, kasihku yang tidak pernah sampai.
Hari ini tepat satu tahun, hubunganku dengan Kasih kandas. Lucu memang saat kita sama-sama berjanji di bawah bulan purnama sambil berpegang tangan, waktu itu dia seolah memberi harapan kepadaku, tentang mimpi dan cita-citanya yang besar. Tentang angan yang tidak pernah tersampai, tentang hidupnya yang monokrom tapi menjadi berwarna denganku.
Ini tentang dia yang membuatku berani melawan arus takdir Tuhan.
Malam ini ku tak bisa tidur.
Memikirkan kamu yang ada disana.
Apakah kau baik-baik saja?
Tuhan, aku hanya ingin tahu kabarnya.
"Hidup ini singkat, kamu harus punya mimpi yang besar, kalau nggak kamu bakal ditindas."
"Mimpi kalau nggak jadi kenyataan buat apa?"
Dan benar, mimpiku tidak pernah kenyataan.
Dia menunjukku dengan telunjuknya, "Nah ini, mentalmu jelek," katanya sambil mengambil jagung bakarnya yang kedua kali, "Mimpi itu harus dibarengi sama usaha, kalau cuma rebahan aja, pergi sana ke Pluto biar sekalian hilang."
Aku sudah usaha, kamu tahu itu.
"Rebahan itu juga usaha, Kasih, usaha sambil mengapai mimpi."
"Kamu kira mimpi di alam bawah sadar?"
Aku hanya tertawa saat itu, "Kirain. Ngelawak dikit, nggak boleh?"
"Gilang, nggak lucu."
Masa bodoh wajahnya menjadi cemberut, yang penting energy tertawaku masih penuh, "Mimpimu apa? Mau jadi pilot? Dokter? Pramugari?"
"Emang aku Susan?"
Kali ini aku tersenyum lebar, menggandeng tangannya, berjanji bahwa semua akan baik-baik saja, "Aku bakal dengerin."
"Kalau aku jadi guru kamu setuju?" aku mengerutkan dahi, sedangkan dia masih melanjutkan curhatannya, "Gelar S.pd-ku nggak guna kalau aku tetap ngurus restoran papa, walaupun uangnya cukup bahkan lebih."
Ada jeda disana cukup lama, abang bakso sampai harus mengetuk mangkoknya dengan sendok. Mata Kasih saat itu tidak bisa aku baca, bahkan saat kami masih betah bertatap-tatapan. Mengabaikan terikan abang bakso yang super kencang itu, bodo amat, calon pembelinya bukan hanya kami berdua.
"Aku pingin mengabdi di luar daerah, ilmuku harus berguna disana. Biar aku ada manfaat buat orang lain, masa depan bangsa, Gilang."
Aku mengangguk sebagai balasan, "Orang tua kamu setuju? Kemarin kamu bilang, papamu nggak bakal setuju anaknya pergi jauh."
Mendadak suasana menjadi sunyi, abang tukang bakso telah menghilang dan bunyi motor di tong setan juga telah usai. Kami sama-sama terdiam lama, membiarkan bulan purnama sebagai penerang.
"Mas Damar udah setuju, jadi papa bakal setuju," Kasih menggenggam tanganku dengan erat, senyum manisnya tidak pernah hilang diingatan, "Kali ini masalahnya kamu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hanya Kata dari Rasa (One Shot)
Short StoryPerkenalkan aku DjuangRasa, senang bertemu dengan kalian. "Hanya Kata dari Rasa" adalah kumpulan One Shot.