Keadilan dan kegelapan bagian 1

22 1 0
                                    

Sudah dua bulan, sejak Lin dipenjara. Hari ini, tahun ajaran baru telah dimulai. Saatnya bagi siswa-siswi SMA kembali beraktivitas seperti biasanya. Umumnya, siswa-siswi SMA masih ingin libur atau minimal tidak ada pelajaran dalam sepekan.

Seperti itulah manusia, tidak akan pernah merasa puas. Meskipun, mereka hanya tiduran di rumah dan tidak melakukan aktivitas yang berguna. Hidup mereka benar-benar seperti zombie, monster yang bangkit dari kuburnya dan berjalan dengan malas. Seperti itulah gambaran kehidupan anak remaja pada zaman ini.

Tentunya, sangatlah tidak adil jika kita menggeneralisasi remaja zaman sekarang. Faktanya, kita akan menemukan sekelompok minoritas yang diyakini sebagai aset bangsa.
Mereka sangat menyukai belajar, tetapi tidak tertarik untuk mendapatkan ranking. Dalam kasus ini, mereka tidak bersaing. Mereka hanya ingin mendapatkan pengetahuan. Tetapi masalahnya, mereka ini hanya mengacu pada seseorang, yakni S.

“Hei Aji!”

Lantunan suara dengan frekuensi tinggi terdengar dari kejauhan memanggil Aji. Aji ialah detektif kecil yang dikenal sebagai S ketika berada di sekolah. Tetapi, Aji bukanlah nama sebenarnya S. Ia hanya mengarang semua data yang digunakan saat mendaftar SMA. Ya, semuanya. Termasuk nama Aji yang ia gunakan.

Jika latar belakang cerita ini yang terjadi di sekolah maka kita akan memanggilnya Aji. Namun, jika ketika dalam mode detektif, kita akan memanggilnya dengan nama S.

Suara itu menarik perhatian Aji. Ia tampaknya mengenali suara itu. Ya, itu suara San. San merupakan salah satu teman Aji di sekolah ini. Bukan hanya salah satu temannya, tetapi juga teman yang cukup dekat dengannya.

Setelah berhasil mengidentifikasi suara itu, Aji berhenti  dan balik badan untuk memastikan wajah orang itu. Secepatnya orang itu berlari menghampiri Aji.

“Huft… huft… Aku sangat lelah.”

“Ada apa, San?”

San mendatangi Aji dengan nafas yang berat. Ia terengah-engah dan mengangkat tangannya seolah-olah tanda menyerah. Tubuhnya yang bersih, harus terbasahi dengan keringat di punggungnya. Tubuhnya yang harum, menyerah dengan bau keringat yang semerbak.

Penelitian mengatakan bahwa bau badan terjadi akibat dari bakteri yang ada di tubuh. Entah itu benar atau tidak, tetapi banyak orang yang mempercayainya. Jadi, dapat diasumsikan hal itu bernilai benar.

“Apa yang terjadi padamu?”

“Tadi, Bus yang biasa kunaiki agak terlambat.”

“Lalu?”

“Hei, ini hari pertama kita sekolah. Tentu saja, aku tidak mau terlambat di hari istimewa ini. Jadi, aku berlarian menuju tempat ini.”

“Dari rumah?”

“Dasar… tentu saja dari halte seberang sekolah.”

Luar biasa, San memang anak yang tangguh. Sangat jarang siswa SMA berangkat sekolah menggunakan bus. Umumnya, siswa-siswi di kota ini menggunakan sepeda atau motor dan sebagian kecil lainnya memilih untuk diantar jemput orang tuanya atau menaiki bus. 

“Kau sungguh hebat, San.”

“Ahh… tidak juga, itu karena orang tuaku tidak seperti yang lainnya.”

San bukan anak yang kaya, ia adalah anak yang sederhana dan supel. Orang-orang di sekolah sangat ingin berteman dengannya termasuk Aji. Perbedaan latar belakang keluarga yang begitu jauh, tidak membuat Aji merasa tinggi darinya.

Aji merasa semua kekayaan yang dimiliki itu bukan miliknya, tetapi milik orang tuanya. Dengan begitu, Aji tidak pernah ingin terlihat kaya. Ia sangat sederhana dan simpel. Di zaman ini, orang-orang menganggap rumit berbagai hal. Padahal, sesuatu yang rumit terlihat mudah untuk dilakukan.

“Ji, kamu masuk kelas apa?”

“XI-MIA6. Kamu?”

“Waaaa…. Kita sama lagi.”

Ketika kelas X, mereka berada dalam kelas yang sama bahkan hingga saat ini. Seperti biasa, ketika mereka bertemu, maka pembicaraan mereka akan terdengar menarik bahkan San sampai tertawa terbahak-bahak akibat obrolan mereka. Ya, San memang tipikal orang yang enerjik.

Di persimpangan jalan, suasana berubah seketika. Aji mendengar percakapan dua orang di belakangnya. Ya, lebih tepatnya ia berusaha mendapatkan informasi soal isu yang sedang berkembang di hari pertama masuk sekolah.

“Eh… kamu tahu tidak? Dengar-dengar ada anak pindahan di sekolah ini.”

“Iya, aku tahu. Tapi, anaknya sangat aneh. Aku curiga, anak itu adalah detektif S yang diberitakan di media.”

Tampaknya, Aji lebih tertarik percakapan dua orang itu daripada cerita San yang selalu saja sama. Bahkan, beberapa kali pertanyaan yang diajukan San hanya dijawab dengan anggukan kepala. Ia sedang tidak sinkron antara pikiran dan alam sadarnya.

Anak baru? Hmm… Aku penasaran. Siapakah orang itu? Kenapa aku berfirasat aneh seperti ini? Aku harus mencari tahu tentangnya.

“Ji, apakah kamu pernah makan bakso didekat alun-alun?” San bertanya.

Aji hanya terdiam, saat ini ia tidak memperhatikan suara San. Ia fokus pada pikirannya tentang anak baru yang diceritakan oleh dua orang yang berada di belakangnya. Aji masih memikirkan tentang identitas anak baru itu. Menurutnya, cukup aneh jika ada orang yang disangka sebagai S.

“Ji?”

“Eh… maaf, kamu tadi bertanya apa?”

Aji menggaruk-garuk kepala sambil cengengesan. Ia merasa bersalah atas sikapnya kepada San. Sekali lagi, meskipun Aji anak orang kaya, tetapi ia lebih beradab dibandingkan orang kaya yang lain. Ia tidak malu untuk mengakui kesalahannya.

Jarang sekali, ada pemuda yang mau mengakui kesalahannya. Biasanya pemuda zaman sekarang tak ingin kalah meski salah. Selalu saja mencari-cari alasan untuk membenarkan diri.

“Sudahlah… lupakan.”

San agak kesal. Ia menjawab Aji dengan tidak memperdulikannya dan mempercepat langkahnya menuju kelas. Wajahnya cukup kesal kala itu. Tetapi, hal semacam ini sudah biasa bagi mereka. Toh nanti semuanya akan kembali seperti sedia kala.

S : Pertarungan BermulaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang