7. Mulai Terasa

701 116 49
                                    

Haiiiiii
Sebenernya aku cuma pengen tau, kira-kira masih ada yang baca gak ya?? Buat pertimbangan aku lanjutin ff ini atau enggak.
Vote dan komen yaaa!

***

Fika merutuki dirinya sendiri yang tiba-tiba menjadi penakut. Nyalinya seketika menjadi sangat ciut ketika melihat Fajar yang berubah menjadi dingin padanya. Padahal sebelumnya, ia selalu semena-mena dan tidak peduli pada cowok itu. Namun rasanya saat ini, untuk mengingatnya saja Fika tidak berani.

Selama mengantarnya pulang, Fajar tidak berkata apa-apa. Cowok itu hanya diam. Entah fokus pada jalanan, atau tenggelam dalam pikirannya sendiri. Bahkan menoleh pada Fika pun tidak sama sekali dilakukannya.

Terbesit rasa bersalah ketika melihat bibir Fajar yang menjadi merah. Memang karena bekas lipstik, juga ditambah dengan Fika yang tanpa berpikir panjang menghapusnya dengan tisu. Padahal Fika tahu betul, tisu bukanlah sesuatu yang bagus untuk menghapus lipstik dari bibir.

Apalagi ketika melihat Fajar yang hanya diam ketika bibirnya diusap kasar. Fika yakin betul, itu terasa sangat panas dan pedih. Namun cowok itu tidak merintih sama sekali. Padahal biasanya jatuh sedikit saja dia sudah teriak-teriak seperti orang gila. Diamnya Fajar membuat Fika menjadi takut.

Takut? Tunggu-tunggu, ia takut Fajar marah padanya?

"Hadoooh, pusing gue." Fika menutup wajahnya dengan bantal. Perasaannya berkecamuk. Terlebih lagi ia menjadi semakin bingung dengan hatinya. Terasa aneh dan asing. Apa yang sebenarnya terjadi?

"Kayaknya karena gue terlalu benci sama Thalia. Makanya pas liat dia ganjen sama Fajar tadi jadi geregetan."

Fika mengangguk-angguk mantap dengan teorinya sendiri. Teori yang ia buat dengan sengaja untuk menyangkal segala fakta yang tidak mau diakuinya.

Cewek itu lalu meraih ponselnya. Ia harus memperbaiki hubungannya dengan Fajar. Ia harus segera menjelaskan semuanya. Mengeluarkan Fajar dari kemarahan dan kesalahpahamannya sendiri.

"Halo?" Suara Fajar langsung menyahut begitu telpon tersambung.

Fika menggigit bibirnya, bingung mau bilang apa. Namun kemudian yang terucap hanyalah kalimat-kalimat tidak jelas seperti, "Hai Bambang. Lagi apa?"

"Ada apa nelpon malem-malem?"

Sangat dingin. Fika sampai bergidik ngeri. "Jar, lo marah?"

"Nggak."

"Bohong."

"Emangnya kenapa gue marah?"

Nada yang sangat datar tanpa ekspresi. Namun tentu saja Fika tahu, itu bukan Fajar yang biasanya. Cowok itu tidak pernah bersikap sedingin ini.

"Mungkin karena tadi siang?" tanya Fika takut-takut.

"Oh, sadar?" sarkas Fajar.

Fika mendesah dalam hati. Merasa takut. "Jar, gue bener-bener minta maaf. Gue bukannya gak menghargai usaha lo. Gue-"

"Lo memang gak menghargai-"

"Enggak!" sanggah Fika cepat. "Gue gak pernah bermaksud begitu. Lo harus dengerin gue dulu."

Lama Fajar terdiam hingga akhirnya terdengar suara hembusan napas kasar. "Gue lagi di luar sekarang. Lagi rame. Lain kali aja ya."

Kalimat itu sontak membuat Fika bungkam. Tak lama dari itu suara Fajar terdengar lagi. "Mending sekarang lo tidur. Gue tutup dulu ya."

"Sebentar!" Fika menyanggah cepat. "Oke gue tau mungkin lo lagi sibuk. Tapi, gue cuman butuh waktu sebentar buat bilang ini."

"Fajar, gue minta maaf. Gue gak tau apa yang bikin gue bersikap kayak tadi. Semuanya di luar nalar. Intinya yang gue tau, gue cuman gak suka liat dia ganjen ke lo. Gue gak mau lo kepincut sama dia. Gue tau ini aneh, tapi gue bener-bener jujur. Maaf kalo lo ngerasa gak dihargain. Gue selalu menghargai lo kok, Jar. Makasih ya karena selalu bantu gue."

Nerv | Fajar AlfianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang