Pujangga Kecil 💖 (Prolog)

174 12 20
                                    

بسم الله الرحمن الرحم

"Ibu, aku ingin sekali menjadi pujangga seperti ibu," ucapnya, mata gadis kecil berusia delapan tahun itu dipenuhi pelangi.

"Masya Allah." Sang ibu pun tersenyum, sedikit terkejut. Tak menyangka gadis kecil itu akan mengungkapkan hal demikian.

"Ayolah, Bu! Rin benar-benar ingin menjadi pujangga seperti ibu. Gimana caranya, Bu?" Gadis kecil itu merengek, dan bersikeras ingin cepat-cepat bisa membuat sebuah puisi yang indah seperti ibunya.

"Harus banyak belajar, Sayang!"

"Belajar? Rin sudah belajar loh, Bu."

"Baiklah kalau gitu, coba buatkan Ibu sebuah puisi pendek tentang ayah dan ibu!"

Gadis kecil itu pun mulai berpikir, angannya menembus masa lalu, dan memutar kembali momen indahnya bersama Sang ayah dan ibu.

Beberapa menit kemudian....

"Ayah, Seperti merpati putih yang patuh pada tuannya

Ibu, pemilik lisan ajaib yang mengeluarkan berjuta kalimat indah,"

"Horeee, akhirnya Rin bisa berpuisi." Hanum bersorak. Ada sinar kebahagiaan terpancar dari matanya.

***

Rin nama panggilannya. setelah sekian purnama berlalu, dari umurnya masih enam tahun hingga menginjak umur delapan tahun, ia selalu mendengarkan sang ibu melantunkan puisi, hingga ia jatuh hati dan ingin menjadi seorang pujangga seperti ibunya.

Berawal dari hadiah KBBI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Rin kecil mulai belajar memahami makna beberapa kata asing. Kegigihan telah mengantarkan pada keberhasilannya membuat sajak perdana. Meski demikian, semua tak lepas dari pengajaran puisi yang ibunya berikan.

Hanum, nama ibunya, adalah seorang ibu rumah tangga lulusan D3 sastra di universitas ternama. Semenjak muda ia memang jatuh hati pada puisi, hingga ia memilih jurusan sastra. Kerap kali, saat ia kuliah, selalu mengikuti kegiatan-kegiatan di dunia literasi bersama komunitasnya di kampus.

Bukan fiksi memang kalau Hanum adalah jawaranya puisi. Beragam karyanya dalam bentuk antologi puisi telah terbit di penerbit-penerbit ternama. Bahkan, puisinya sering mendapat penghargaan dari banyak kalangan sastrawan, seperti Sajak Hujan Tak Perlu Ditangisi.

Setelah Hanum lulus kuliah, ia sudah tak aktif lagi di dunia literasi. Apalagi setelah ia menikah dengan Maulana, hampir-hampir ia melupakan cintanya pada puisi.

Namun, setelah Ia melahirkan Rindu, sebuah pemikiran cemerlang lahir dalam benaknya. Sudah lama aku tak berpuisi, bagaimana kalau nanti aku mengajari dan mendidik bidadari kecilku dengan puisi, gumamnya dalam hati. Dan akhirnya semua itu terlaksana dan membuahkan hasil.

Sementara Maulana, adalah seorang ayah yang A'lim dan taat pada ajaran agama. Ia mendapat predikat manusia salju oleh istrinya, karena ia benar-benar laki-laki pendiam yang pernah Hanum kenal. Saking pendiamnya, bercanda dengannya adalah sesuatu yang sangat mahal bagi Hanum dan Rindu. Meski begitu dia adalah orang paling penyayang, dan Hanum sangat bersyukur bisa memilikinya.

Dari dua orang tua itulah Rindu dididik dan dibesarkan. Dan ini Bukanlah kisah tentang mereka berdua, tapi tentang Rindu, pujangga kecil yang kelak -bila ia dewasa- ia akan menjadi seorang pujangga seperti ibunya.

●_●

Masih prolog kan? ☺

Dan ini masih tahap pengenalan, Belum pada pokok cerita.

Masih mau lanjut nggak nih? ^_^

Nah sebelum lanjut, silakan beri vote, dan kasih masukan, kritikkan, saran, dan kesan, biar aku tambah semangat nulisnya 😘

Oke, sekali lagi aku ucapkan syukron katsir ^.^

Sajak RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang