Pagi sekali usai mengerjakan sembahyang subuh, Rindu menenteng sebuah tas besar ke teras rumah. Ia terpaku dengan wajah sendu di antara ayah dan ibunya.
"Travel tiba pukul lima pagi," kata Maulana. Mata Rindu seperti ruang kosong. Hatinya seperti ruangan yang dengan barang-barang kumuh sehingga tidak ada ruang kosong.
"Sebentar lagi, jangan khawatir, semua pasti akan berlalu dengan indah," ucap Hanum berusaha menenangkan Rindu.
Rindu masih terdiam dengan perasaan takut. Ini adalah kali pertama ia pergi jauh untuk menuntut ilmu di pondok pesantren. Gambar-gambar tentang pondok pun ia tidak tahu.
Suara sebuah mobil sudah terdengar masuk ke dalam gang kecil di depan rumahnya, membuat perasaan takut itu kian menjadi. Hingga wujud mobil itu mulai terlihat diantara sela-sela pagar rumah.
"Tin!" Mobil itu berhenti tepat di depan rumah. Lalu seorang sopir dan pria tua keluar dari pintu depan.
"Pak Fuad!" Sapa Maulana, ia bersalaman.
"Bagaimana, anakmu sudah siap?"
"Siap, Pak!"
"Baiklah ayo berangkat!"
Tas, cover, plastik berisikan perabot mulai dimasukkan kedalam bagasi oleh sopir. Maulana dan Pak Fuad pun masuk ke dalam mobil. Sementara itu Rindu memeluk sang ibu.
"Jaga dirimu baik-baik ya, sayang. Ingatlah, jangan pernah merasa tidak ada ibu di sana. Doa ibu selalu menyertaimu," bisik Hanum. Air mata Rindu meleleh.
"Hiks, Rindu tak mau pergi, Bu!"
"Kamu harus pergi sayang!
"Rindu! Cepat masuk, pak sopir mau menjemput penumpan yang lain!" seru Maulana.
"Ayo, Sayang!"
Dengan berat hati rindu melangkahkan kakinya dan masuk ke dalam mobil. Mobil pun berjalan meninggalkan Sang Ibu yang melambaikan tangan.
***
Keterpaksaan bagi rindu adalah sesuatu yang tidak indah. Bagi Hanum, Sang ibu, keterpaksaan adalah sesuatu yang akan berbuah indah.
Rindu merenung selama perjalanan. Kepalanya ia sandarkan ke kaca jendela sembari menatap kosong pepohonan yang seolah-oleh bergerak ke belakang. Rasa takutnya sudah mulai hilang. Lenyap bersama lamunannya yang dingin. Di sampingnya: Sang Ayah, dan Pak Fuad tertidur, penumpang yang lain juga.
Sesekali pemandangan sawah nan hijau, perkotaan nan serba kumuh, pegunungan yang terlihat dari jauh menjadi pelipur dukanya.
Lima jam sudah mobil melaju dari Jakarta menuju Surabaya. Parjalanan masih jauh. Bahkan Rindu tidak tahu ia sampai di mana.
Rindu hanya menikmati setiap rasa terselip di hati. Badannya yang terkadang terasa nyaman, terkadang terasa pegal. Sementara hatinya tak pernah merasa nyaman. Tidak bahagia, tidak pula berduka terlalu dalam. Hampa lebih tepatnya.
Meski dalam perjalanan ada beberapa kali singgah, akhirnya mereka sampai juga di depan pintu gerbang bertuliskan 'Pondok Pesantren Nurul Rahmah' tepat pukul sembilan malam. Seorang wanita bergamis dan berjilbab abu-abu menyambut mereka, di susul tiga gadis berlari keluar dari asrama dan mengangkatkan barang-barang. Sembil berjalan wanita itu berbincang-bincang dengan Pak Fuad, Maulana dan Rindu yang tampak malu.
"Baiklah ini Asrama Rindu, asrama dua. Di sini ada sebelas santriwati yang akan menjadi teman asramanya Rindu. Untuk perkenalannya besok ya mungkin. Tampaknya mereka sebagian tertidur pulas dan yang masih bangun ini kelihatan ngantuk sekali. Mungkin Rindu lelah juga, bisa langsung istirahat. Dan ini lemari sekaligus tempat Rindu berisitirahat. Ada kasur di bawah kolong lemari."
"Iya, mbak," jawab Maulana.
"Ya sudah kalau gitu, Pak. Saya pamit dulu. Saya pergi dulu ya, Rindu." Rindu dan Maulana mengangguk.
"Bagaimana Maulana, sebaiknya kau istirahat dulu di pondok, besok baru kembali ke Tangerang. Kau bisa tidur dengan bapak di tempat bapak."
"Baiklah Pak. bapak tinggal dulu ya, Rindu. Kamu kenalan sama temannya, yang akur. Semangat menuntut ilmu!"
Rindu mengangguk. Wajahnya muram. Selepas kepergian sang ayah, Rindu diam mematung.
"Hai, ayo tidur sudah malam!" Seorang gadis cantik mendekat, dan memegang pundaknya.
Akhirnya Rindu pun menuju tempat lemarinya, dan mengeluarkan kasur. Sementara gadis tadi mengunci pintu dan mematikan lampu kamar.
Dalam kegelapan, ketika yang lain sudah terlelap, mata Rindu tak mau terpejam. Ia masih bersedih atas keputusan ayahnya yang tak sesuai dengan keinginannya. Tempat barunya kini adalah tempat asing. Ia merasa sendirian malam itu. Teman yang di sampingnya juga masih asing. Ia takut. Namun rasa lelahnya memaksa ia untuk memejamkan mata. Ia berserah kepada Allah untuk menghadirkan mimpi indah untuk menata hatinya yang berantakan ke sedia kala.
_________
Hai, terimakasih sudah membaca. Boleh minta kritik sarannya agar tulisan ini berkembang menjadi lebih baik lagi?
(Nanti masih ada perbaikan di Prolog-Bab tiga ini. Saya masih merasa kurang bagus. Mungkin akan ada banyak perubahan. Doakan ya semoga cerita ini menjadi cerita yang menarik dan bermanfaat. Saya masih memaksakan untuk menulis walau jalan ceritanya sendiri masih bingung 🤭)
KAMU SEDANG MEMBACA
Sajak Rindu
Teen FictionNovel ini mengisahkan tentang seorang gadis jelita yang jatuh hati pada puisi. Rindu, begitulah namanya. Semenjak kecil, ia bercita-cita menjadi seorang pujangga. Namun, ketika sang ayah menyekolahkannya ke pondok pesantren, Harapannya untuk menjadi...