Hujan sore hari, langit terlihat gelap saat kafilah awan hitam berembus ke barat. Kota Tangerang yang tadinya ramai—sekonyong-konyong menjadi hening. Penduduk kota telah pulang. Sebagian yang tak sempat pulang—karena rumahnya jauh—memilih berteduh di warung-warung, atau di teras gedung, dan lain sebagainya.
Sama halnya mereka, Pak Fuad yang kala itu baru datang dari Surabaya terpaksa berteduh di kedai kopi, beberapa ratus meter tak jauh dari rumahnya. Ia tak sanggup menerjang derasnya hujan. Bisa-bisa basah kuyup dan esoknya meriang, gumamnya, bila ia melanjutkan perjalanan.
"Bu, kopi satu ya!" Lalu seperti biasa, Pak Fuad memesan sebuah kopi hangat, kopi khotok, kopi tradisional yang biasa ia pesan sama pemilik kedai, Bu Jum.
Selepas memesan ia menyibak-nyibak baju, celana, dan rambutnya. Butiran air beterbangan kemana-mana, mengenai orang-orang, termasuk Maulana yang kala itu duduk tepat di sebelah kanannya. Tanpa perasaan bersalah, ia pun tersenyum melihat Maulana yang mendongak ke wajahnya.
"Ai, ada Maulana tenyata," ucapnya.
"Lama tak jumpa, macam mana kabar kau, Lan?" Pak Fuad duduk di bangku panjang tepat di samping Maulana.
"Alhamdulillah, Pak, kabar baik. Kalau bapak sendiri bagaimana?"
"Yah beginilah, Lan, kabar bapak. Hidup jauh dari istri, bila rindu pulang. Nanti tak lama pergi lagi."
"Yang penting selalu sehat ya pak."
"Ya, Lan, semoga saja ... O, iya, bagaimana kabar anakmu?"
"Saya bingung pak."
"Bingung kenapa?"
"Istri saya itu sudah mengajarinya main cinta-cintaan. Baru juga SMP sudah berani mengirim surat ke lawan jenis."
Maulana mengacak-acak rambutnya sambil menghela napas dalam. Beban kehidupan terlihat jelas pada rambutnya yang beruban. Wajahnya bukan main, dia tidak sedang berkata omong kosong. Saking beratnya tanggung jawab mendidik anak perempuan di era modern sekarang ini, siapa pun orangnya pasti cemas, tak terkecuali Maulana.
"Aku paham, Lan, bagaimana rasanya punya anak perempuan yang beranjak remaja. Seperti anakku Uus. Dulu dia hampir pacaran. Tapi setelah aku tahu, dia kunasihati dan nurut.
"Tapi, Usah kau pikirkan! Sebentar lagi dia akan menemui jalan yang terang." Pak Fuad mengusap-usap punggung Maulana, isyarat baginya agar tetap tabah.
Rintik hujan masih membasahi bumi Tangerang. Dingin, tapi hangat bagi Maulana dan Pak Fuad bercengkrama sambil menyeruput kopi panas buatan Bu Jum yang rasanya aduhai.
***
Hujan sore hari tak kunjung reda. Di rumah tak terdengar suara, kecuali suara genting yang bertubi-tubi dijatuhi bulir hujan.
Seperti kebiasaannya ketika hujan turun, Rindu ingin menuliskan sebuah puisi. Namun, sejak awal hujan hingga menjelang Maghrib, ia tak dapat menuliskannya. Entah kenapa? Dalam dirinya seperti ada yang hilang.
Sementara di luar sana, pemandangan rintik hujan yang jatuh pada kubangan air telah menggodanya. Tatapannya kosong pada titik-titik air dari langit yang jatuh ke kubangan. Wajahnya sendu, begitulah hatinya, macam langit saat itu.
Lalu tiba-tiba saja ibunya muncul dari pintu kamarnya yang terbuka, dan membangunkannya dari lamunan.
"duh, Juita kecil ibu,
ada apa dengan hujan
mengapa kau memandanginya macam kekasih pujaan.""Tidak ada apa-apa, Bu," jawab Rindu dengan kelopak mata yang masih melengkung.
Sang ibu pun tersenyum. Entah sesuatu apa yang dapat menarik mulutnya hingga merekah. Sudah sejak dulu bila memandang wajah juita kecilnya, bunga-bunga dalam hatinya bermekaran. Dia amat mengenali Rindu, dan dia paham.
"Sudahkah sedia, untuk hari esok?" tanya sang ibu, mengejutkannya untuk kedua kali. Dahi anak remaja putri itu mengerut, tak paham maksud ibunya.
Lagi-lagi ibunya tersenyum, dan berkata, "Katanya mau jadi pujangga hebat, kok, nggak paham kalimat sederhana ibu. Maksud ibu tuuu ... sudah siap belum untuk hari besok. Kan kamu mau berangkat ke pondoknya besok."
Rupanya, pemandangan rintik hujan yang jatuh pada kubangan air, telah menghipnotis Rindu sedari tadi. Sekarang ia benar-benar lupa bahwa esok adalah hari dimana ia akan pergi jauh meninggalkan ibu, ayah, dan rumah. Tiba-tiba saja rasa sedih yang amat menyusup ke dalam hatinya.
Rindu diam tak menjawab pertanyaan ibunya, dan ia mendongak, menatap awan hitam di langit. Sekarang, ia benar-benar merasakan apa yang dirasakan langit saat ini.
"Yasudah, nikmatilah hujanmu itu. Setelahnya nikmatilah pelangi." Sang Ibu pun pergi.
***
Malam. Rindu bolak-balik dari pintu ke kasur dengan perasaan cemas. Sesekali ia mengintip sang ayah yang sedang duduk membaca kitab di ruang tengah dari balik celah pintu yang terbuka. Kali ini ada yang ingin ia sampaikan untuk kedua kalinya pada Sang Ayah. Sesuatu yang sudah ia ketahui jawabannya.
"Ayah!" Rindu memberanikan diri keluar kamarnya dan duduk di samping sang ayah.
"Hem." Sang ayah tak menoleh, dan masih fokus membaca rangkaian huruf arab tak berbaris.
Rindu diam, tak dapat mengungkapkan kata-kata yang sudah ia rangkai sedari tadi. Ia memintal jemari di depan dada, dan kepalanya menunduk. Matanya sayu, ada sorot ketakutan yang terpancar dari raut wajahnya.
"A-ayah!" Untuk kedua kalinya, Rindu memanggil sang ayah. Kali ini sedkit terbata.
"Iya, ada apa?" Akhirnya sang ayah bersuara, walau wajahnya masih menatap kitab kuning yang digenggam.
"Hemmm... Ayah!" ucap Rindu dengan suara rendah.
Sang ayah pun menoleh, dan wajah mereka beradu pandang.
"Bolehkah.... Rin, memohon satu permohonan saja pada ayah?"
"Apa?"
"Hemmmm... Ayah, Rin tak mau masuk ponodok pesantren, Rin maunya masuk SMA atau MAN aja ayah," rengek Rindu, yang tiba-tiba menitikkan air mata.
Setelah mendengar rengekan anaknya, Maulana malah melanjutkan membaca kitab. Entah hati apa yang ia miliki, tapi ia tahu bagaimana cara untuk mendidik sang anak.
"Ayah...." tangisan Rindu semakin nyaring terdengar, "aku mohon ayah, batalkan rencana kita ke pondok besok, Rin tak mau pergi.... tak mau jauh dari ibu."
"Nggak bisa, pokoknya besok ayah akan tetap mengantar kamu ke pondok pesantren."
"Kalau sampai besok ayah memasukkan Rin ke pondok, Rin akan membenci ayah selamanya, ingat itu ayah!" teriak Rindu, lalu berlari menuju kamarnya. Ia hempaskan badannya ke kasur dan ia tenggelamkan wajahnya pada bantal. Tangisnya yang nyaring jadi hampir tak terdengar.
Sang ayah tak menghiraukannya. Sementara di mulut pintu antara ruang dapur dan ruang tengah, Hanum menyaksikan kejadian itu. Ia pun menyusul Rindu, dan membelai rambutnya dengan pelan.
"Jangan bersedih, Juita kecil ibu! Yakinlah apa yang ayahmu kehendaki pasti ada kebaikan untukmu!"
"Nggak!"
"Ya ibu tahu, kamu pengen masuk SMA. Tapi ibu tak bisa membantumu, sebab ayahmu adalah imam ibu, dan ibu tak boleh membantah sama beliau. Pun kamu, sayang. Seharusnya kamu patuh dan tak boleh melawan beliau, karena beliau adalah orang tuamu, tanpanya kamu tak akan lahir ke dunia ini."
Tangisan rindu meredam, hanya tersisa sedu sedan. Ia tampak setengah mendengarkan dan setengah mengacuhkan perkataan sang ibu. Lalu, tak lama dari itu matanya mulai memejam dan ia terlelap dalam belaian.
"Duh kebiasaan, setiap sedih, tiba-tiba langsung terlelap." Sang ibu tersenyum. Kemudian ia menyelimuti Rindu dan mengecup keningnya, "selamat tidur sayang, La tahzan, ibu selalu mendoakanmu yang terbaik."
●_●
Terimakasih, sudah mau membaca sampai bagian 2 ini, jangan lupa kasih vote dan komentarnya ya ☺
Bagaimana menurut kalian, masih setiakan sama aku. eh, maksudnya masih setiakan sama cerita Sajak Rindu?
KAMU SEDANG MEMBACA
Sajak Rindu
Teen FictionNovel ini mengisahkan tentang seorang gadis jelita yang jatuh hati pada puisi. Rindu, begitulah namanya. Semenjak kecil, ia bercita-cita menjadi seorang pujangga. Namun, ketika sang ayah menyekolahkannya ke pondok pesantren, Harapannya untuk menjadi...