Pradito Anggara POV
Hari ini aku mulai packing. Papa, Mama, aku dan Adelia -adik perempuanku- akan pulang kampung. Satu minggu lagi menjelang lebaran. Dan seperti biasa keluarga kami akan pulang ke rumah Oma. Aku sudah menyelesaikan sebagian besar tugasku sebagai dosen. Aku sudah menyelesaikan laporan dan memberi nilai untuk beberapa mata kuliah yang aku ampu. Aku memang mengajar di sebuah universitas swasta sebagai dosen tetap disana. Di umurku yang menginjak 28 tahun, aku bersyukur karena keadaaku yang sudah mapan dan adanya keluarga yang selalu mendukungku.
Walaupun aku merasa senang karena akan pulang kampung dan merasakan enaknya masakan Oma, tetapi sebagian kecil hatiku terasa kecut jika membayangkan Paman, Bude, dan Bule, bahkan Oma sendiri yang akan bertanya 'kapan aku menikah?'. Itu pertanyaan yang sangat sering aku dengar hampir lima tahun belakangan ini. Bukannya aku tak ingin menikah. Tapi sejak aku putus dengan Andin, pacarku enam tahun yang lalu, aku memutuskan untuk fokus pada pendidikan dan karirku. Jika di bilang aku trauma? Sebenarnya tidak juga. Aku tidak benar-benar tipe lelaki melankonis. Memang putusnya aku dengan Andin membuatku terluka selama beberapa waktu, tetapi seiring berjalannya waktu, luka itu perlahan sembuh sendiri dengan kesibukanku belajar di luar negeri, dan ketika pulang ke tanah air, aku mendapat kabar bahwa Andin sudah menikah, sudah punya seorang anak malahan. Aku turut senang mendengar kabar itu. Aku berharap dia bahagia bersama suaminya.
Nah, sekarang ini hampir tidak ada alasan untukku, untuk tidak menikah secepatnya. Umurku sudah mendekati kepala tiga, aku sudah bekerja, sudah mapan, jadi tidak ada lagi alasanku untuk menunda-nunda pernikahan. Papa tidak terlalu mendesakku dalam masalah ini. Hanya saja terkadang Mama rewel meminta menantu, dan Adelia yang juga rewel meminta kakak ipar. Masalahnya adalah, aku sama sekali tidak mempunyai calon. Hampir rata-rata rekan kerjaku adalah bapak-bapak yang sudah tua, mulai beruban, malah ada yang kepalanya setengah botak. Ataupun ibu-ibu dosen yang pastinya sudah mempunyai suami dan beberapa anak. Memang ada beberapa wanita muda staff di prodi maupun jurusan, tetapi aku hanya menganggap mereka sebagai rekan kerja atau bahkan kenalan biasa. Hanya sekedar kenal nama, kenal wajah, tidak lebih dari itu.
Ada juga puluhan mahasiswi yang cantik juga menarik dari kelas-kelas yang aku ajar, tetapi tentu saja aku tidak punya pikiran untuk menikahi salah seorang mahasiswiku. Rasanya hal itu tidak terlalu etis. Sedangkan teman-teman SMA ku sudah hampir menikah semua. Ada juga beberapa teman-teman masa kuliah yang terkadang menghubungi, tetapi mereka benar-benar hanya sebatas teman saja bagiku. Apakah aku tipe lelaki yang sulit jatuh cinta? Rasanya tidak. Mungkin aku hanya belum menemukan orang yang special. Itu saja.
'Tok tok tok..'
Suara ketukan di pintu membuyarkan lamunanku. Aku bergegas membukanya dan mendapati Mama yang setengah tersenyum. Wajah Mama masih tetap cantik meskipun umur Mama sudah menginjak angka 48 tahun ini. Dahulu, Mama menikah muda. Mama masih semester 6 saat Papa melamar. Walaupun begitu keduanya sama-sama saling membantu dalam berumah tangga. Mama tetap bisa menyelesaikan kuliahnya tepat waktu. Mama juga mensupport Papa yang tengah merintis usaha toko peralatan bangunan kala itu. Umur Papa berada 10 tahun di atas Mama. Tetapi keduanya saling mencintai, bahkan hingga kini saat umur pernikahan mereka sudah seperempat abad lebih. Aku dan Adelia sering merasakan betapa keduanya saling menyayangi. Kasih sayang Mama dan Papa juga membuat kami tumbuh menjadi anak-anak yang baik. Tidak ada kenakalan remaja seperti narkoba, rokok, minuman keras maupun seks bebas di keluarga kami.
"Sudah siap packingnya, Dit?' Mama setengah tersenyum
"Sudah ma..." aku ikut tersenyum menatap Mama.
"Ya sudah, ayo turun.. yang lainnya sudah menunggu di bawah."
Aku mengangguk pasti. Dan mulai membawa barang-barangku, mengikuti mama yang turun ke lantai satu.
***
Hampir lima jam menyetir mobil membuat badanku terasa pegal. Tetapi hal itu terbayar ketika aku melihat senyum Oma yang menyambut kami. Oma tinggal bersama bude Lian – Kakak perempuan Mama-. Wajah Oma nampak ceria ketika menyambut kami. Umur Oma sudah menginjak 77 tahun, tetapi badannya belum ringkih sama sekali.
"Omaaaa....." Adelia – adik perempuanku yang berumur 15 tahun- berhambur memeluk Oma.
Oma hanya tertawa.. "Oh Adel, cucu cantik Oma..."
Papa dan Mama pun mengucap salam dan menyalami Oma kemudian Bude. Setelah mengeluarkan barang-barang dari bagasi, aku berjalan ke arah Oma dengan senyum yang lebar. Oma merentangkan kedua tangannya dan memeluk tubuhku dengan erat. "Dito... cucu Oma yang ganteng.." ucap Oma di telingaku. Senyumku makin lebar. Oma melepaskan pelukannya dan aku pun menatap wajahnya yang sumringah. Ku cium pipinya.. "Assalamualaikum, Oma.." kataku.
"Waalaikumsalam. Ayo masuk. Kamu pasti capek.. kamu bisa istirahat di dalam..."
Aku tersenyum dan mengangguk, mengikuti langkah yang lainnya yang sudah dahulu masuk ke rumah Oma. Tetapi sepertinya aku terlupa sesuatu? Oh ya, barang-barang... hmmm.. beginilah nasib menjadi anak laki-laki. Aku kembali ke mobil dan membawa barang-barang ke dalam rumah. Tidak lupa pula beberapa oleh-oleh untuk Oma dan beberapa sanak famili yang lainnya.
Ketika aku akhirnya masuk ke sebuah kamar tamu yang bersih, yang Oma siapkan untukku, aku memutuskan untuk mandi. Rasanya badanku sudah lengket karena keringat. Aku mengeluarkan baju-bajuku, dan menyimpannya dengan rapi di sebuah lemari kecil, kemudian menyambar handuk dan mandi. Lima belas menit kemudian setelah mandi dan sholat ashar, aku leyeh-leyeh di kasur sambil memainkan ponselku. Ada beberapa pesan dari teman dan rekan kerjaku yang mengajak buka puasa bersama. Ku balas dengan singkat bahwa aku sudah di kampung. Ada juga beberapa mahasiswa yang meminta bimbingan. Aku menarik napas kasar. Rasanya anak-anak ini begitu bersemangat ingin cepat-cepat seminar proposal, hasil dan cepat-cepat lulus. Sebenarnya aku suka jika ada mahasiswaku yang semangat bimbingan seperti ini. Itu tandanya mereka benar-benar serius ingin cepat lulus dan tidak ingin menjadi mahasiswa abadi. Tetapi tentu saja tidak sekarang waktunya. Karena aku sudah pulang kampung dan ingin menikmati waktu bersama keluarga. Ku balas dengan singkat pesan para mahasiswa itu bahwa aku sudah berada di kampung halaman.
Ku letakkan ponsel di sebelah bantalku. Aku merebahkan diri dan tatapanku ke arah langit-langit kamar. Masih ku dengar suara gelak dan pembicaraan di ruang tengah. Papa, Mama, Oma, Adelia, Bude dan Pakde dan Lisa- anak perempuan mereka yang baru tamat kuliah sedang asyik mengobrol. Sebenarnya sudah dari tadi mereka mengobrol yang tidak sudah-sudah entah kapan habisnya. Tadi aku memang pamit untuk istirahat lebih dulu. Menjadi sopir keluarga bukanlah hal yang enak. Badanku masih terasa pegal, terutama tangan dan bahuku, walaupun aku sudah mandi. Masih ada waktu dua jam sebelum berbuka puasa.
Sebenarnya aku juga ingin ngobrol di ruang tengah, tetapi rasa pegal dan juga rasa enggan jika ada yang tanya 'kapan nikah?' membuatku memilih menyendiri di kamar. Berpikir tentang menikah? Tentu saja aku sudah memikirkan ini ratusan kali bahkan mungkin ribuan kali dalam hidupku. Jika aku menilik keadaan hatiku sekarang, semuanya baik-baik saja kecuali sedikit rasa 'sendiri' yang terkadang muncul. Hidupku terasa hampir monoton dengan pekerjaan. Mempunyai keluarga yang baik tentunya berbeda dengan mempunyai hidup yang berwarna. Yah, begitulah jika di pikir-pikir. Hidupku terasa tenang dan baik-baik saja, tetapi kurang berwarna. Jika aku tuangkan kedalam sebuah kanvas putih, maka warnanya adalah arakan abu-abu. Tidak hitam, putih, merah maupun biru. Hanya abu-abu.
Tentu saja aku lelaki normal dengan kebutuhan. Tidak terlalu meluap-luap, tetapi aku tetap tahu mana wanita cantik, mana yang menarik, mana yang body-nya bagus dan sebagainnya. Terkadang beberapa teman-teman pria-ku yang sudah menikah, memanas-manasiku tentang kehidupan berumah tangga. Katanya enak punya istri. Ada yang masakin, ada yang ngurusin, tidur ada yang nemenin.. ehhh.
Tapi di balik itu semua, aku cukup tahu bahwa tidak ada pernikahan yang sempurna, yang tanpa cela maupun tanpa pertengkaran. Ketika kita bisa melihat sisi enak dari sesuatu, seharusnya kita sadar akan sisi tidak enak-nya. Hidup selalu seperti itu. Aku berpikir seperti ini bukan berarti aku takut menikah karena sisi tidak enak. Sama sekali bukan seperti itu. Aku bukanlah pengecut. Tetapi seperti kataku tadi, mungkin aku hanya belum menemukan seseorang yang special. Memikirkan sosok seorang istri, aku ingin istri yang baik dan manis, yang bisa mengurusiku.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Oh, My Little Wife
RomanceSeperti liburan lebaran sebelum-sebelumnnya, Dito (28 tahun) pulang kampung bersama keluarganya. Sesampainya di kampung, ia dikejutkan tingkah budenya yang dengan tiba-tiba memintanya menikahi seorang gadis bernama Sita.