Bagian 5-Lebaran dan Rencana Pernikahan

3.2K 91 0
                                    


Pradito Anggara POV

Selama beberapa hari ini aku berkonsultasi pada Papa dan Pak de tentang rencana menikahi Sita. Keduanya tampak sangat senang dan mendukungku. Sebenarnya bisa ku katakana bahwa seluruh keluargaku sangat senang. Oma, Mama dan bude tak hentinya berseri-seri. Lisa dan Adelia pun semakin sering menggodaku.

Beberapa kali aku, Papa, Pak de dan Pak Herman terlibat pembicaraan serius. Pada awalnya Pak Herman nampak sangat terkejut dengan niatku. Tapi Papa dan Pak de tidak henti-hentinya menerangkan bahwa niatku benar-benar tulus menikahi Sita. Pak Herman bertanya apa alasanku. Aku tidak bisa menjawab saat itu. Tetapi untunglah Papa buru-buru menjelaskan bahwa umurku sudah matang, dan aku dalam keadaan mapan. Sita juga gadis yang baik. Pernikahan kami berdua akan mempererat tali persaudaraan.

Pak Herman mengangguk kala itu. Dari wajahnya aku tahu bahwa dia punya banyak pertimbangan. Memang tidak mudah bagi orangtua melepas anak gadisnya untuk menikah. Walaupun Sita bukan anak kandungnya, tapi nampak jelas bahwa ia menyayangi Sita seperti anak sendiri. Akhirnya Pak Herman berkata bahwa ia akan menyerahkan keputusan pada Sita. Jika Sita setuju maka dengan senang hati ia akan menikahkan kami berdua.

Sehari berlalu dan ternyata Sita menyetujui menikah denganku. Pak Herman langsung yang menyampaikan hal itu pada kami. Aku juga tidak tahu apa penyebab Sita menurut semudah ini. Padahal berbicara denganku pun ia belum pernah. Pertemuan kami hanyalah saat ia mengantar kue beberapa hari yang lalu kemari.

Sebenarnya hatiku merasakan keanehan. Kenapa bisa ia menurut padahal kami hampir tidak mengenal sama sekali. Bukannya untuk seorang gadis, hal ini lebih sulit. Sebenarnya terkadang Mama dan Bude menyuruhku main ke rumah pak Herman dan mengajak Sita keluar sekedar jalan-jalan atau buka puasa di luar. Tapi aku menolak. Karena pasti canggung rasanya. Aku ingin menghadapinya nanti saja. Setelah ia menjadi isteriku.

***

Hari lebaran di rumah Oma sangat ramai. Ada keluarga bu lek Ratni, anak terakhir Oma yang datang dari luar kota. Pak lek Wiro, istri dari bu lek Ratni, adalah seorang yang hangat dan banyak bercerita.

"Jadi pak lek denger siap lebaran ini kamu man nikah To?"

Hari sudah menjelang siang. Tadi pagi kami sudah sungkem-sungkeman sesama anggota keluarga. Pak lek Wiro menemaniku yang duduk di teras.

Aku tersenyum sedikit malu dan mengangguk. Rasa canggung mulai merayapiku. Sebenarnya aku juga tidak terlalu yakin, tapi entah mengapa aku tetap melanjutkan rencana pernikahan ini.

"Pak lek turut seneng. Pak lek juga kenal pak Herman. Dia orang yang baik. Cuma sayangnya kedua anak lelakinya itu sangat bandel."

Alisku naik mendengar kabar ini. Papa dan Pak de tidak pernah cerita masalah ini.

"Oh ya? Kok pak lek tahu? Kan pak lek tidak tinggal di daerah sini."

Pak lek Wiro tersenyum kecil. "Bu lek mu pernah cerita. Bude mu yang ngasih tahu semuanya."

Oh Bude lagi. Sepertinya bude memang narasumber di keluarga ini.

"Tapi wajahmu tidak terlalu bersemangat. Kamu tidak bahagia dengan rencana ini?"

Aku menatap lurus ke depan. Melihat orang-orang yang lewat di depan rumah dan sesekali membalas sapaan ramah mereka. Hidup di perdesaan seperti ini sangatlah tenang. Penduduknya pun ramah-ramah.

"Bukannya tidak bahagia pak lek. Dito hanya ragu."

"Kalau kamu ragu, kenapa kamu setuju?" Pak lek bertanya dengan senyum menyelidik. Aku hanya diam. Tidak tahu harus berkata apa.

Pak lek mengeluarkan desah berat. Kata-katanya kemudian menasehatiku.

"Kamu juga sudah bukan remaja labil yang mencari cinta. Pak lek yakin kamu akan mengerti. Jika yang kamu khawatirkan adalah masalah perasaan, memangnya cinta itu apa sih? Seiring berjalannya waktu, ketika kita beranjak tua, kita akan sadar bahwa kita membutuhkan seseorang yang mendampingi kita. Seseorang yang padanya kita bisa bercerita masalah kita, termasuk masalah-masalah yang tidak bisa kita ceritakan pada pada orang tua. Pada akhirnya kita butuh seseorang yang tetap bersama kita meskipun ia tahu beberapa keburukan dan kekurangan kita. Orang yang seperti itu le."

Aku terpaku mendengar perkataan pak lek Wiro. Rasa yang aneh menyusup dalam hatiku.

"Jika perbedaan umur kalian, pak lek kira itu tidak masalah. Pak lek hanya sedikit menasehatkan, karena calon isteri-mu masih muda, maka kamu harus lebih banyak bersabar jika suatu saat dia bersifat labil. Lagipula para wanita memang lebih susah menentukan keinginan dan perasaan sendiri. Tapi jika kita sudah berada dalam hati mereka, kasih sayang mereka pada kita, para lelaki, adalah hal yang paling menghangatkan hati."

Aku tersenyum lebar mendengar penjelasan pak lek Wiro. Pada dirinya ku temukan sosok orangtua yang bijaksana.

"Ngomong-ngomong, berhubung calon isteri-mu masih sangat muda, kamu harus lebih sabar ya. Jangan terlalu kasar di malam pertama kalian." Pak lek Wiro tergelak.

Wajahku merah padam.

***

Sore ini Papa dan aku berkunjung ke rumah pak Herman. Ia dan Istrinya, bu Lasmi, menyambut kami dengan sumringah. Aku tidak melihat kehadiran dua anak lelakinya. Hanya ada anak perempuannya bernama Windy, yang tengah bermain bersama Sita. Sita menunduk malu ketika melihatku.

"Sita.. siapkan teh untuk Pak Dinar dan Dito." Bu Lasmi berkata pada Sita. Gadis itu menurut dan menuju dapur sambil menunduk malu.

Papa dan Pak Herman berbincang. Aku mengajak Windy berkenalan dan ternyata gadis kecil itu menurut. Dengan anteng ia duduk di pangkuanku sambil memainkan boneka Barbie-nya.

Beberapa menit kemudian Sita berjalan pelan dengan membawa nampan. Hati-hati ia menyuguhkan minuman kepada kami. Aku memperhatikan wajahnya lebih seksama ketika dengan tangan bergetar ia menyuguhkan teh di hadapanku. Wajahnya memang manis dan cantik alami.

"Silahkan di minum, Pak.." katanya pelan.

Rasa tidak enak menggerogoti hatiku. Apa wajahku nampak setua itu? Sekarang aku merasa seperti pedofil yang memandangi wajahnya.

"Sssh.. kok Pak sih..." bisik bu Lasmi. Sita menatapnya dengan bingung. Tapi bu Lasmi tidak melanjutkan bicara dan malahan tersenyum minta maaf kepadaku. Aku hanya mengangguk maklum sambil tersenyum kecil.

"Jadi rencananya..." suara Papa terdengar. "Lebih baik jika Sita dan Dito kita nikahkan secepatnya. Bagaimana jika satu minggu setelah lebaran?"

Sita nampak terkejut. Tapi dengan cepat ia menguasai wajahnya dan menunduk kembali. Ia beringsut duduk di dekat bu lek nya.

"Menurut pendapat nak Dito bagaimana?" pak Herman menatapku.

Aku sedikit berdehem mencoba mendapatkan suara. "Lebih baik begitu Pak. Karena Dito juga masih punya pekerjaan di kota yang tidak bisa di tinggal terlalu lama. Setelah pernikahan kami, Dito akan membawa Sita."

Pak Herman, Bu Lasmi dan Papa nampak mengangguk setuju. Setelah pernikahan kami, aku memang berencana pulang secepatnya ke kota untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan disana dan mencari rumah baru untukku dan Sita.

"Menurut nak Sita sendiri bagaimana?" Papa bertanya pada Sita dengan lembut.

Gadis itu nampak nervous dan mengangguk cepat. "Terserah bu lek dan Bapak saja..."

Pak Herman nampak lega. Begitupula dengan isterinya. Tetapi aku belum merasakan kebahagiaan merayapi hatiku. Sita adalah gadis yang terlalu menurut pada pak lek nya. Dan hatiku bertanya-tanya apa itu alasan ia menerima semuanya semudah ini. Entah mengapa tiba-tiba moodku menjadi buruk. Aku tidak menatapnya dan kembali memperhatikan Windy yang duduk di pangkuanku.

"Jika begitu maka sudah kita putuskan. Mulai hari ini kita perlu menyiapkan segala sesuatunya." Papa bekata dengan senyum puas.

Oh, My Little WifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang