Bagian 7-Memulai Kehidupan Baru

4.3K 112 0
                                    


Pagi tadi setelah mengepak semua barang-barang dan pamit pada Oma dan keluarga besar, akhirnya aku dan keluarga balik ke kota. Perjalanan memakan waktu beberapa jam hingga kami sampai di rumah. Sepanjang jalan aku memikirkan betapa cepatnya kehidupanku berubah. Saat ke rumah Oma beberapa hari yang lalu, statusku masih bujangan dan sekarang aku sudah memiliki istri yang sangat muda belia.

Mama memperlakukan Sita dengan sangat baik, begitu pula Adelia yang senang karena punya kakak ipar. Sepanjang perjalanan mereka bercerita. Walaupun masih ku lihat Sita yang malu-malu dan canggung. Setelah sampai, aku mengajak Sita menuju kamarku, yang sekarang akan menjadi kamar kami untuk sementara waktu, sebelum kami menemukan tempat tinggal baru.

"Ini kamar kita..." aku membukakan pintu. Mataku mengamati ekspresi wajah Sita. Dia mengedarkan pandangan matanya sebentar, kemudian kembali menunduk. Aku tidak bisa menebak apa yang ada dipikirannya. Aku menghela napas.

"Ayo masuk.." kataku akhirnya. Sita mengangguk, bergumam pelan "Assalamualaikum.." membuatku ingin tertawa kecil.

"Waalaikumsalam.." dengan pelan aku menuntun tangannya. "Ini lemari kita.." aku menunjuk lemari besar dua pintu. "Sebelah kanan untuk baju-bajuku, dan masih ada ruang disebelah kiri untuk baju-bajumu."

Sita mengangguk. "Terimakasih mas..." gumamnya. Aku mengangguk. "kamar mandi di sebelah situ.." aku menunjuk pintu kamar mandi, dan Sita kembali mengangguk. Aku jadi gemas dibuatnya.

"Itu ranjang kita berdua.." kataku akhirnya, memperjelas situasi.

Wajah Sita sedikit bersemu. Tapi lagi-lagi dia hanya mengangguk. Aku tidak tahu harus bagaimana menghadapi istri kecilku yang sangat pemalu ini.

Aku memegang bahunya dengan kedua tanganku, memaksanya melihat ke arahku.

"Sita lihat Mas..."

Ia menghadapku dengan gugup dan malu. "Apa kamu memang sependiam ini? Mas tidak tahu bagaimana harus memulai hubungan ini jika kamu sependiam ini. Apa kamu tidak nyaman?" aku sedikit kesal dengan tingkahnya yang pasif. Hal ini juga tidak mudah untukku. Tiba-tiba punya istri kecil seperti ini. Pengalamanku berhadapan dengan wanita sangatlah minim. Aku takut jika salah memperlakukannya.

Wajahnya sedikit panik dan takut. "Bu... bukan begitu Mas. Sita hanya belum terbiasa. Maaf mas..." ia menggigit bibir bawahnya dan menunduk. Aku menghela napas panjang.

Ku amati wajahnya yang manis beberapa saat. Perasaan sayang kepadanya mulai merayapi hatiku. Aku cukup yakin bahwa aku mulai sayang padanya, entah karena apa. Yang jelas perasaan ingin melindunginya jelas ku rasakan setiap aku melihat sosok kecilnya. Aku mengulurkan tanganku, tak dapat menahan hasrat untuk tidak memeluknya saat ini. Tubuhnya mendadak kaku. Aku memeluknya pelan, merasakan kelembutan dan kehangatannya.

"M..mas?" panggilnya gemetar.

"Jangan takut begitu. Sudah aku bilang aku tidak ingin melihatmu ketakutan atau merasa tidak nyaman." Aku melepaskan dirinya sedikit, tetap memegang bahunya. Ia memberanikan diri menatap mataku.

"M..mas... S..sita akan belajar menjadi istri yang baik untuk mas. Terimakasih karena mau menikahi Sita." Katanya, seperti wanita yang beranjak dewasa. Aku tersenyum dan mengangguk.

"Sekarang kita beres-beres kamar dulu..." ajakku. Ia mengangguk dan tersenyum ceria.

***

Aku menatap Sita yang tengah membantu Mama menyiapkan makan malam. Adelia juga ikut membantu, sambil banyak bercerita dengan Sita. Aku tersenyum.

"Jadi bagaimana....?" Tanya Papa padaku. Aku mengangkat alis, tidak mengerti maksud pertanyaannya.

"Rasanya punya istri?"

Aku tertawa kecil dan mengangkat bahu.

"Tidak ada bedanya?" Alis Papa mengkerut kecewa.

"Dito merasa sedikit lebih tenang, Pa.." jawabku akhirnya.

Papa tersenyum puas karena jawabanku. "Jaga Sita baik-baik ya..."

Aku mengangguk mantap.

"Jadi bagaimana? Sudah dapat rumah yang kamu cari?"

"Aku sudah menelepon kenalanku Pa. Sudah dapat dengan DP yang sesuai, cicilannya juga tidak terlalu berat. Besok rencananya aku mau mengajak Sita melihat rumahnya secara langsung. Tempatnya sekitar duapuluh menit jika menuju kampus tempatku mengajar. Tidak terlalu jauh juga dari sini. Di Aster City Garden."

"Oh.. Papa tahu perumahan itu.." Papa menggangguk. "Apa uang tabunganmu cukup untuk membayar DP nya, jika tidak, maka Papa bisa membantu.?"

Aku tersenyum menatap Papa. "Cukup Pa.. aku sudah memperhitungkan semuanya. Juga termasuk uang pendaftaran kuliah Sita dan kebutuhan awal rumah tangga kami. Lagipula rumahnya tidak terlalu besar, dua kamar tidur."

Papa mengangguk. "Kamu akan mengurus pendaftaran Sita kan?"

"Iya Pa, secepatnya."

"Papa lega mendengarnya."

Mama memanggil kami untuk makan malam bersama. Di meja makan, aku memperhatikan Sita yang mendengarkan cerita Adelia. Sesekali senyum dan gurat tawa menghiasi wajahnya. Terkadang matanya melirik ke arahku. Aku menatapnya dengan penasaran. Tetapi kemudian ia menunduk. Malam ini aku perlu bicara kepadanya.

***

Aku fokus menghadap laptop, membaca bermacam-macam jurnal untuk ide penelitianku ketika pintu kamar di ketuk pelan. Aku menoleh dan mendapati Sita yang masuk pintu kamar dengan pelan pula.

"Dari mana?"

"Kamar Adelia, mas..."

Aku mengangguk dan melanjutkan membaca. Kemudian aku teringat sesuatu.

"Besok pagi ikut mas ke kampus. Kita urus pendaftaran kamu. Siangnya kita survey rumah baru kita."

Wajah Sita tampak sumringah.

"Baik mas."

Dalam pandanganku Sita masih pasif. Tetapi mungkin ini semua karena ia belum terbiasa dengan keadaan yang sekarang.

"Kamu pernah punya pacar?" celetukku tiba-tiba.

Sita tampak kaget. Tetapi kemudian ia menggeleng pelan.

"Punya perasaan sama seseorang sekarang?"

Sita menggeleng pelan lagi.

"Sama Mas juga tidak punya perasaan?"

Sita kaget lagi mendengar perkataanku. Ia membuka suaranya.

"Memangnya mas punya perasaan sama Sita?"

Aku mengangguk. Sita kaget lagi.

"Kan kita tidak saling mengenal?"

"Memang." Kataku akhirnya di iringi desahan. "Mas juga tidak tahu alasannya. Tapi mas sudah berjanji pada Papa dan Pak Lek-mu."

"Jadi, hanya karena janji?"

Aku menggeleng. "Bukan hanya janji. Ini juga keinginan mas sendiri."

Sita hanya diam.

"Kamu masih takut sama, Mas?"

Sita mengangguk jujur. "Sedikit."

"Kenapa? Kan Mas tidak gigit kamu?" aku nyengir jahil.

"Bu.. bukan begitu. Hanya masih belum terbiasa."

Aku mengangguk maklum. "Lama-lama juga terbiasa."

Oh, My Little WifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang