Dewi Sita POV
Aku sampai di rumah pak lek Herman menjelang magrib. Aku sudah selesai mengantar pesanan kue kepada lima keluarga yang berbeda. Suara benda keras yang jatuh menghentikan langkahku. Kemudian bersusul suara teriakan.
"Jangan bohong buk. Aku tahu ibuk punya uang simpanan. Ya kan?" Suara Joko menjerit pada bu lek ku. Aku mengelus dada. Tidak sepantasnya seorang anak meninggikan suara dihadapan orang tua. Tetapi aku tidak terlalu heran. Diantara anak pak lek dan buk lek, Joko lah yang paling kasar dan paling tidak bisa mengendalikan emosi. Dia sudah memasuki semester 11 di salah satu perguruan tinggi. Tetapi belum lulus-lulus juga.
"Beneran ibuk nggak ada uang simpanan lagi ko. Udah ibu bayar kan SPP adikmu. Kemana saja uang 700 ribu yang ibu berikan beberapa hari yang lalu?" Suara bu lek terdengar bergetar. Walaupun aku belum masuk rumah dan melihatnya, aku bisa membayangkan wajah bu lek yang menahan tangis. Menghadapi anak lelaki yang kasar adalah hal yang sangat menyakitkan untuk seorang ibu. Terkadang aku benci pada diriku sendiri, karena tidak bisa mencegah Joko berbicara kasar pada bu lek. Aku pernah mencoba beberapa kali menasehatinya, tetapi Joko malah membentakku dan berkata bahwa aku bukanlah siapa-siapa di keluarga ini dan tidak usah ikut campur. Tidak terhingga rasanya sakit di hatiku kala itu, karena aku menyadari bahwa kata-kata Joko adalah benar. Walaupun aku sudah tinggal bersama keluarga ini sejak aku kecil, dan Pak lek dan bu lek sangat menyayangiku, tapi aku sadar bahwa sampai kapanpun aku bukanlah bagian inti keluarga ini. Aku hanyalah gadis yatim piatu. Yang dengan belas kasih Pak lek dan bu lek, aku bisa bertahan hidup hingga menyelesaikan SMA. Aku tahu bahwa ekonomi pak lek dan buk lek sedang-sedang saja. Sepeninggalan orangtuaku pun tidak meninggalkan harta yang banyak. Hanya sebidang tanah yang pak lek urus. Membiayai dua anak lelaki yang sedang kuliah, Windy yang baru masuk SD, dan membiayaiku hingga tamat SMA, bukanlah hal yang mudah bagi pak lek dan bu lek. Keduanya bekerja keras. Aku tahu itu.
Joko adalah anak yang boros. Bukannya aku tidak tahu bahwa ia sering menghabiskan uangnya untuk main game seharian di warnet. Pak lek dan bu lek sudah sering menasehatinya. Tapi sepertinya ia sudah candu game online yang menghabiskan banyak uang. Dia juga perokok yang hebat. Aku tidak betah berlama-lama berada di dekatnya, karena bau rokok yang menguar di seluruh tubuhnya. Terkadang aku merasa kasian pada pak lek dan bu lek yang baik hati, harus di uji dengan anak yang tidak berbakti.
Joni, anak kedua Pak lek, sekarang sudah duduk di semester lima. Dia memang tidak seboros abangnya, tapi dia adalah seorang playboy. Sebenarnya semejak aku tumbuh lebih dewasa, aku sudah tidak nyaman tinggal di rumah ini. Apalagi jika pak lek dan bu lek sedang pergi. Terkadang Joni menatapku dengan pandangan lain. Aku jadi risih sendiri. Untunglah terkadang ada Windy yang bisa aku ajak bermain, sehingga aku mengabaikan tatapan mata itu.
"Yaelah buk.. itu kan udah beberapa hari yang lalu. Ya udah habis lah uangnya. Makanya sekarang Joko minta lagi. Ngasih Sita uang aja ibu bisa, masak ngasih Joko yang anak ibu sendiri ibuk nggak mau sih? Jangan pilih kasih lah buk.." suara Joko belum memelan sama sekali.
Rasa perih mulai merayapi hatiku. Dua hari yang lalu bu lek memang memberiku uang tiga ratus ribu. Untuk beli baju lebaran katanya.
"Kamu juga tahu ibuk jarang memberi Sita uang. Semuanya sudah habis untuk semesteranmu dan Joni, Sita bantu-bantu ibuk buat kue lebaran buat di jual, ibuk cuma kasih dia uang untuk beli baju lebaran. Karena itu yang sepantasnya, yang setidaknya harus ibuk lakukan."
Geraman Joko terdengar gusar. "Bilang aja lah ibuk nggak mau ngasih Joko uang. Selalu Sita, Sita terus. Bagusnya anak itu nggak pernah ada di keluarga ini..." Joko menendang kursi plastik dengan gusar kemudian berjalan keluar rumah. Saat ia melihatku, ia melotot tidak suka. Ia mengendarai motornya dengan gusar dan melesat meninggalkan rumah. Dari dalam aku mendengar isakan pelan bu lek. Saat itu juga aku sadar ada cairan bening yang menetes di pipiku.
***
Dahulu saat aku masih kecil, aku sangat suka membaca cerita. Terutama fantasi. Aku juga seperti gadis-gadis kecil lain yang menyukai dongeng Cinderella. Jika bu lek atau pak lek memberiku uang saku, maka akan aku kumpulkan untuk membeli berbagai macam buku cerita. Mulai dari buku si kancil dan buaya, dongeng nusantara, dongeng pengantar tidur, bawang putih bawang merah, timun mas, roro jonggrang, dan bermacam-macam buku cerita lainnya. Buku-buku cerita itu menjadi obat yang sedikit menghilangkan kesepianku. Juga kerinduanku pada ayah dan ibu. Walaupun aku tidak pernah menangis merindukan ayah dan ibu dihadapan keluarga pak lek, tetapi saat aku melihat teman-teman sekolahku yang di antar jemput, di bawakan bekal oleh orang tuanya, mau tak mau perasaan iri dan sedih menyusup hatiku.
Pak lek dan bu lek adalah orang yang sangat baik. Mereka merawat, mengurusiku sejak kecil seperti anak sendiri. Aku tahu, jika orang lain, belum tentu akan memperlakukanku sebaik pak lek dan bu lek. Aku bersyukur karena memiliki mereka dalam hidupku, tapi itu bukan berarti aku merasa bahwa aku tidak rindu pada ayah dan ibu dan mendamba keluarga sendiri. Karena walau bagaimanapun baiknya pak lek dan bu lek, terkadang aku merasa bahwa aku adalah orang luar yang tidak seharusnya membebani keluarga ini. Tidak seharusnya pak lek dan bu lek terlalu menyayangiku sehingga menyebabkan anak-anaknya iri kepadaku. Karena aku memang bukan anak kandung mereka.
Setelah aku mulai dewasa, aku sadar bahwa Cinderella adalah Cinderella yang berada dalam cerita. Sayangnya kehidupan nyata mempunyai realita yang harus di hadapi sepahit apapun realita itu. Aku sangat ingin melanjutkan kuliah. Tetapi aku tidak pernah membicarakan hal ini pada pak lek dan bu lek. Mereka saja sudah sangat berat membiayai kuliah kedua anaknya. Joko bahkan belum lulus-lulus juga. Tidak mungkin aku menambah beban mereka.
"Ngelamun aja ndok?" Suara pak lek Herman mengagetkanku. "Mikirin opo tho?"
Aku tersenyum dan menggeleng pada pak lek. Dinginnya angin malam mulai menerpa kulitku. Mungkin dari tadi aku terlalu banyak mengelamun. Pak lek ikut duduk bersamaku di bangku teras. Juara jangkrik mulai terdengar memecah malam yang sunyi. Ku perhatikan rambut pak lek yang mulai beruban. Wajahnya juga lelah karena seharian tadi bekerja di ladang.
"Pak lek... apa baiknya Sita menikah saja secepatnya?"
Pak lek nampak sangat terkejut mendengar kalimatku. Aku juga terkejut pada diriku sendiri yang tiba-tiba berbicara seperti ini. Mungkin setelah sekian lama, akhirnya aku memutuskan untuk pergi dari keluarga ini dan tidak membebani mereka lagi. Seharusnya dari awal aku memang tidak berada di keluarga ini.
"Kamu serius ndok?"
Aku mengangguk yakin. Entah apa yang merasukiku malam ini.
"Memangnya kamu sudah punya pacar atau ada pemuda yang kamu cintai? Kok tiba-tiba minta nikah?" Pak lek setengah tersenyum. Tetapi ku lihat sinar matanya menampakkan kekhawatiran.
"Tidak ada sih pak lek. Tapi kalau ada lelaki baik yang pak lek setujui, insyaAllah Sita siap."
"Memangnya kamu nggak mau kuliah dulu ndok?"
Aku menggeleng dan menundukkan wajahku. Tidak ingin menatap pak lek.
Pak lek mendesah berat. Kemudian hening beberapa saat. Aku masih menunduk. Rasanya susah menahan air mataku, tapi aku harus menahannya. Aku benar-benar ingin kuliah. Ingin sekali. Tapi aku tahu keadaan ekonomi tidak memungkinkan.
"Pak lek sudah menganggapmu seperti anak sendiri. Kamu juga mengingatkan pak lek pada mendiang ayah dan ibumu. Warna kulitmu persis seperti kulit ibumu. Sedangkan alis mu sangat mirip seperti ayahmu. Pak lek sangat kehilangan saat ayah ibumu meninggal dalam kecelakaan. Meninggalkanmu yang masih kecil. Tapi pak lek yakin jika kedua orangtuamu masih hidup, pasti mereka sangat bangga punya anak sebaik dirimu, ndok."
Aku mendengar isakanku sendiri. Aku masih tidak berani menatap pak lek.
"Jangan terburu-buru menikah karena tidak ingin membebani pak lek. Menikah itu bukan perkara remeh ndok. Pak lek tidak ingin menyerahkanmu kecuali pada lelaki yang bertanggung jawab."
Aku meremas rok dipangkuanku. Aku memang tidak ingin membebani keluarga ini lagi. Tapi aku juga tidak punya pemuda yang aku cintai. Malahan aku tidak tahu apa itu cinta. Entah hatiku benar-benar ingin menikah atau tidak. Jika saja aku punya pilihan, aku ingin melanjutkan pendidikanku dulu dan menjadi guru bahasa inggris seperti yang aku impikan.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Oh, My Little Wife
RomanceSeperti liburan lebaran sebelum-sebelumnnya, Dito (28 tahun) pulang kampung bersama keluarganya. Sesampainya di kampung, ia dikejutkan tingkah budenya yang dengan tiba-tiba memintanya menikahi seorang gadis bernama Sita.