Bagian 3-Dewi Sita

3.7K 91 0
                                    

Saat sholat subuh di masjid tadi pagi, aku bertemu dengan yang namanya Pak Herman, teman Papa dan Pak de. Kami mengobrol selama beberapa lama. Penilaian pertamaku pada Pak Herman, bahwa lelaki ini sangat tenang dan sederhana. Saat Papa bertanya tentang Sita padanya, Pak Herman berkata bahwa kabar Sita baik dan kesibukannya selepas SMA ini adalah membantu istrinya membuat kue. Ia bercerita bahwa ia sangat ingin menguliahkan Sita, tetapi sepertinya ia harus mengumpulkan biaya dulu dan akan menguliahkan Sita tahun depan saja. Papa, aku dan Pak de hanya terdiam mendengar ceritanya.

Sore ini aku menunggu dengan harap. Bude bilang nanti Sita akan kesini mengantar beberapa pesanan kue lebaran. Kata bude, saat itu aku bisa berkenalan dengannya. Tentu saja aku tidak mau. Mungkin aku hanya akan melihatnya diam-diam saja.

Aku menatap keluar jendela kamar. Angin sore meniup dengan lembut. Ada beberapa anak yang sedang bermain di tanah lapang. Warna langit masih biru cerah. Belum berarak-arak senja. Kapan gadis itu akan datang? Sore ini atau tidak? Kenapa aku jadi menunggu kedatangannya? Mungkin aku hanya penasaran saja.

"Mas... di panggil Mama tuh..." Aku menoleh ke arah sumber suara dan mendapati Adelia berdiri di depan pintu kamar. Bajunya tampak rapi.

"Mau kemana kamu, del?"

"Adel di ajak mbak Lisa main ke rumah temennya hehe..."

"Oh..." aku hanya manggut-manggut. "Ada apa Mama manggil?"

"Nggak tahu, coba aja ke ruang tamu. Tapi ganti sarung Mas dulu tuh, tadi di ruang tengah ada tamu.."

"Tamu siapa?"

"Bukan tamu penting banget sih... Cuma gadis yang ngantar kue lebaran pesanan Bude.... Ya udah ya mas.... Aku hanya capcus dulu. Udah di tungguin mbak Lisa.. hehe." Adel nyengir riang dan berlalu.

Aku terpaku. Gadis itu sudah datang? Buru-buru aku mengganti sarung yang sejak sholat ashar tadi ku pakai dengan celana panjang polos yang lebih pantas. Ku patut bayangan diriku dicermin. Ku rapikan rambutku yang sedikit berantakan. Duh, kok malah kayak remaja yang lagi cinta monyet aja sih aku ini. Aku melangkah keruang tengah dan melihat Oma, Mama, dan Bude yang tengah berbincang ria dengan seorang gadis.

Gadis itu bertubuh mungil. Kulitnya kunging langsat. Alisnya sangat bagus. Ada lesung di pipi kirinya ketika ia tersenyum. Jilbab merah tua yang ia kenakan menambah kemanisan parasnya. Ia masih sangat muda.

"Eh... Dito, kenapa berdiri mematung saja di situ. Duduk sini." Mama menyuruhku duduk di sofa di sampingnya. Sebenarnya tadi aku hanya ingin melihat gadis ini diam-diam saja, tetapi panggilan Mama tidak mungkin aku abaikan.Dengan langkah berat, aku menuruti permintaan Mama.

"Sita, kenalkan.. ini anak pertama tante, namanya Dito."

Gadis itu memperhatikanku dan tersenyum sedikit.

"Dito.. ini Dewi Sita, keponakan Pak Herman."

Aku mengangguk dan menggaruk rambut belakangku yang tidak gatal. Rasanya canggung luar biasa. Padahal umurku bukan belia lagi, tapi aku lumayan gugup sekarang.

"Tadi kenapa Mama manggil, Dito?"

Mama mendelik dan mengkode ke arahku. "Ya ampun... kan Mama mau ngenalin kamu sama Sita. Kok pakai nanya segala sih..." bisik Mama padaku.

Aku hanya tersenyum canggung.

"Jadi sudah lengkap kue pesanan bude ya?" Bude berbicara dengan tersenyum kepada Sita.

"Sudah bude, ini ada kue nastar, kue kering cokelat dan kue kacang."

"Sita sendiri yang buat ya?" kali ini Oma yang bertanya.

"Nggak kok, Oma. Ini yang buat bu lek. Sita Cuma bantu-bantu aja kok."

"Sita sudah tamat SMA kan. Ada rencana lanjut perguruan tinggi?" Bude bertanya lagi.

Gadis itu terdiam sejenak. Wajahnya murung beberapa detik, tapi kemudian ia mendongak dan tersenyum. "Pengennya sih gitu Bude. Tapi belum tahu hehe..."

"Dito ini seorang dosen loh, Sita. Kalau kamu bingung karena persyaratan masuk perguruan tinggi. Tanya saja, manatau Dito bisa bantu." Mama ikut nimbrung.

Sita hanya tersenyum malu. Lesung pipinya nampak. "Iya makasih tante. Sita pamit dulu ya Bude, Tante, Oma, Pak Dito. Soalnya masih ada beberapa pesanan yang perlu Sita antar.."

"Ya sudah. Hati-hati ya Sita. Oh ya, ini bayaran kue nya..." Bude memberikan sejumlah uang pada gadis itu. Senyum gadis itu mengembang. Ia mengucapkan terimakasih dan pamit dengan sopan sekali lagi. Aku hanya menatap kepergiannya.

***

"Bagaimana Dito? Anaknya manis kan?" Oma, Mama dan Bude mulai mengerubungiku setelah Sita pergi. Aku merasa jengah dan terpojok. Manis sih manis, tapi dia kan masih terlalu muda. Tadi saja manggil aku "Pak Dito."

"Manis sih, tapi masih terlalu muda."

"Memang muda, le. Tapi perbedaan umur nggak jadi masalah kok. Paling-paling cuma sepuluh tahun di bawah kamu."

Sepuluh tahun kok cuma sih.. desisku dalam hati. Itu bukanlah angka yang sedikit. Sita lebih pantas menjadi adikku daripada menjadi istri. Mungkin Sita hanya lebih tua sekitar dua atau tiga tahun dari Adelia.

"Iya Dito. Kamu juga tahu Mama dan Papa juga beda umur sepuluh tahun. Tapi kami bahagia kok. Mama harap bukan masalah umur yang membuat pikiran kamu ragu. Jangan berpikiran picik begitu ah..." Mama menimpali.

"Tapi kami tidak memaksa kamu. Oma harap jika kamu menikahi Sita, kamu bisa menjaganya. Orangtua gadis itu sudah lama tidak ada. Ia juga gadis yang baik dan rajin. Tidak ada ruginya kamu menikah dengan dia. Ini semua adalah harapan kami. Lagipula kamu sudah tidak muda lagi. Di antara cucu-cucu Oma, kamulah yang paling Oma harapkan untuk segera menikah." Tatapan Oma lembut, tetapi juga ada ketegasan yang terpancar disana.

"Oke.. oke." Kataku akhirnya. "Bakalan Dito pertimbangin. Tapi kalau Sita-nya sendiri yang nggak mau, Oma, Mama dan Bude jangan bicarain hal ini lagi dan jangan desak-desak Dito lagi. Sepakat?"

Ketiga wanita dalam hidupku inipun tersenyum lebar dan mengangguk.

Oh, My Little WifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang