"Memangnya apa sih yang kamu tunggu, Dito? Kamu tampan, sudah mapan, umur juga hampir kematangan... sudah saatnya kamu menikah, le..." Bude kembali menceramahiku. Kami sudah selesai berbuka puasa bersama. Papa dan Pak Le sedang keluar karena suatu urusan. Tadi Adelia beranjak ke kamar, mau ngrumpi (percakapan diantara perempuan) di kamar Lisa. Aku menatap Mama dengan tatapan minta tolong. Tetapi Mama hanya tersenyum.
"Bude-mu benar, Dito. Oma juga ingin kamu cepat menikah." Oma tersenyum dan menyentuh tanganku. Oh.. tidak.. masak Oma juga ikut-ikutan sih. Jangan bilang sebentar lagi giliran Mama.
"Aku juga sudah hampir bosan menyuruh Dito cepat-cepat menikah, mbak.." Mama setengah tertawa kepada Bude Lian. Nah kan? Bagaimana caraku menghadapi tiga desakan wanita sekaligus?
Bude Lian tersenyum lebar. Kemudian kembali menatapku dengan serius. "Kamu sudah punya pacar atau calon, belum?"
Hatiku mencelos mendengar pertanyaan Bude. Sebenarnya aku benci berkali-kali mendapatkan pertanyaan ini.
Aku memaksakan senyum di bibirku.. "Tenang saja Bude, Oma, Mama.. kalau sudah waktunya pasti Dito menikah kok."
Bude menggeleng-geleng. "Bude bukan bertanya tentang waktu, bude bertanya kamu sudah punya calon atau belum? Pasti belum kan? Bude cuma ingin membantu kamu, Dito. Karena, jika menunggu 'waktu yang tepat' menurut kamu, bisa-bisa kamu jadi bujang lapuk.."
Oma dan Mama terkekeh. Aku hanya diam. Tidak sopan rasanya jika protes di hadapan orang tua.
"Bulan syawal itu bulan yang di anjurkan untuk menikah loh... jadi selesai lebaran, kamu bisa menikah disini.. Bude akan mengurus semuanya."
Loh.. loh... kok tiba-tiba menikah?
Alisku naik karena bingung. Mama dan Oma hanya tersenyum. Apa hanya aku saja yang kebingungan di ruangan ini.
"Maksud Bude apa ya? Dito memang belum punya calon, Bude. Dito tidak akan menikah dalam waktu dekat. Apalagi bulan syawal depan."
"Eit.. eit.. jangan pernah katakan 'tidak akan'. Bude sudah punya calon untuk kamu. Oma dan Mama-mu juga sudah setuju. Papamu juga tidak keberatan. Bahkan Adelia sangat senang dengan calon yang Bude pilih untuk kamu.." Bude tersenyum lebar.
Loh...loh.... Kok tiba-tiba ada calon?
Aku menatap Mama dengan bingung. Meminta penjelasan.
"Tadi sore, waktu kamu tidur, gadis itu juga sudah mampir kemari. Ada perlu dengan Bude-mu. Mama sudah kenalan dengannya. Papa dan Adelia juga tahu. Namanya Sita. Dewi Sita nama panjangnya. Anaknya baik dan manis. Mama yakin kamu pasti suka."
Loh...loh... gadis mana? Sita siapa? Aku semakin bingung. Tadi sore, setelah membayang-bayangkan tentang sosok istri, aku memang ketiduran. Baru terbangun ketika azan magrib. Apa saja yang terjadi selama aku tidur tadi? Kok tiba-tiba aku punya calon istri?
"Umurnya memang lumayan beda jauh sama kamu.. tetapi nggak apa-apa, dia gadis yang baik dan manis. Bude sudah mengenalnya sejak dia masih bayi. Memang dia seorang yatim-piatu. Pamannya adalah teman Papa dan Pak De-mu semasa SMA dulu." Bude melanjutkan dengan tersenyum. Aku yakin sekali tidak ada senyum di wajahku sekarang. Yang ada sepasang mata yang kebingungan.
Oma memegang tanganku dengan erat, membuatku menatap wajahnya yang tersenyum. "Beda umur itu bukan masalah besar, Dito. Malah Oma yakin kamu bisa mengayomi-nya. Sita benar-benar gadis yang baik. Malah dia beberapa kali pernah kemari memijit kaki Oma yang sakit. Oma sudah menganggapnya seperti cucu sendiri." Oma ikut meyakinkan.
Aku menggeleng-geleng kepala. Di desak tiga wanita yang sangat penting dalam hidup, bukanlah hal yang mudah. Aku juga tahu bahwa umurku sudah tidak terlalu muda, walaupun tidak pula terlalu kematangan seperti yang Bude katakan tadi, tetapi bukan berarti aku harus menikah sembarangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Oh, My Little Wife
RomanceSeperti liburan lebaran sebelum-sebelumnnya, Dito (28 tahun) pulang kampung bersama keluarganya. Sesampainya di kampung, ia dikejutkan tingkah budenya yang dengan tiba-tiba memintanya menikahi seorang gadis bernama Sita.