03

21.4K 2.3K 153
                                    

Di hari berikutnya, Sena menjalani kehidupannya seperti biasa. Sekolah, bekerja, dan membuat orang-orang menyukainya. Terus seperti itu, hingga hari dimana ia resmi memasuki umur 17 tahun akhirnya tiba.

Pagi itu, Sena terbangun dengan lemah. Sekujur tubuhnya menggigil kuat. Ia melihat jam di kamarnya yang baru menunjukkan pukul 3 dini hari, terlalu pagi untuk menelpon seseorang, tetapi ia tidak punya pilihan lain selain meminta bantuan. Akhirnya, dengan terpaksa, Sena meraih teleponnya dengan susah payah dan memutuskan untuk menghubungi Rei.

Telepon menyambungkan beberapa kali sebelum akhirnya diangkat. Hening beberapa saat sebelum suara serak milik Rei menyambut indra pendengaran Sena.

"Ah.. Ada apa Sena?" Yang ditanya berusaha menjawab, tetapi suaranya sulit dikeluarkan. Dia berusaha keras dan akhirnya berhasil bersuara walaupun tidak terdengar begitu jelas, tenggorokannya pun terasa sakit. Ia hanya bisa berharap Rei mendengar perkataannya karena ia rasa ia tidak dapat berbicara lebih banyak lagi setelahnya.

"Kak Rei.. Bisa.. Kemari?"

Jeda sesaat sebelum pihak lain bersuara dengan nada terkejut dan cemas.

"Tunggulah sebentar, aku akan segera datang." Terdengar suara benda jatuh dan langkah kaki terburu-buru sebelum telepon dimatikan. Sena hanya bisa menatap layar teleponnya dengan raut bersalah sebelum menaruhnya di sisi ranjang. Ia terlalu merepotkan orang lain karena meminta datang di pagi buta hanya untuk merawatnya. Ia benar-benar harus meminta maaf pada Rei setelah ini.

Merasakan kepalanya bertambah pusing, Sena mencoba untuk kembali tidur, sayang sekali matanya sulit untuk dipejamkan, jadi dia hanya berbaring dengan lemah di tempat tidurnya selama beberapa saat.
.
.
.
.
Waktu terus berlalu. Sena merasakan tubuhnya sangat panas, terutama pada bagian perpotongan leher kirinya. Disana benar-benar terasa seperti terbakar. Pemuda manis itu terus bergerak gelisah hingga bunyi ketukan yang tergesa-gesa kembali menyadarkannya.

"Sena, ini kak Rei, buka pintunya." Sena benar-benar kaget. Kak Rei katanya? Jarak antara rumah lelaki itu dengan rumahnya ini bisa dibilang agak jauh. Sena juga merasa bahwa ia baru saja menelpon lelaki itu dan sekarang dia sudah berada di depan rumahnya? Dengan sekuat tenaga, pemuda manis itu turun dari ranjang dan berjalan kearah pintu depan untuk membiarkan Rei memasuki rumahnya.

"Sena-"

Bruukk!!

Pintu dibuka, menunjukkan seorang lelaki dengan raut terkejut dengan mulut terbuka dan tertutup, menggunakan piayama berwarna abu-abu dan kantung plastik putih di kedua tangannya yang kini telah terjatuh tepat di pintu masuk.

"Kau memiliki mark?!!"

.
.
.
.
.
.

"Sudah kuduga"

Kini Sena kembali terbaring di atas tempat tidurnya, sedangkan Rei duduk di kursi yang ada di kamar itu.

"Coba lihat ini" Rei mebawa cermin kecil kehadapan Sena dan mengarahkannya pada perpotongan leher milik pemuda itu.

"A..aku.." Sena menatap tidak percaya pada pantulan cermin yang menunjukkan daerah lehernya. Di sana sudah terdapat tanda berwarna biru tua yang bisa dikenali sebagai tanda mate. Tanda itu terlihat jelas dan terukir dengan indah. Pantas saja daerah itu memang terasa sangat sakit dan panas.

"Hah... Berarti aku tidak perlu terlalu cemas mengenai pasanganmu nanti. Kau sudah memiliki mate. Aku cukup tenang sekarang" Rei tersenyum lega sambil mengusap pelan surai milik Sena. Siapapun yang menjadi mate pemuda cantik ini pasti sangat beruntung.

"Ah, bisa kau duduk? Aku akan membantumu meminum obatmu" Sena menurut dan mengubah posisinya menjadi duduk. Rei mengambil cangkir berisi air putih dan memberi obat kepada Sena. Setelah selesai, Rei kembali membantu Sena untuk berbaring.

"Beristirahatlah. Aku akan menelpon dokter kenalanku untuk memeriksamu"

Rei keluar dari kamar milik Sena dengan pikiran rumit. Bagaimana bentuk mate milik seseorang yang telah ia anggap adiknya ini? Ia sekarang jadi ragu mengenai mate.

Yah.. Itu sebenarnya kabar bagus, lagipula itu adalah keinginannya supaya Sena dapat dijaga dengan lebih baik. Tetapi... Bagaimana jika mate nya adalah seseorang yang brengsek? Bagaimana jika adiknya itu terluka?

Rei menghela nafas kasar. Dia berjanji akan menjaga Sena semampu yang dia bisa. Dia sudah terlanjur menyayangi lelaki cantik itu.
.
.
.
.

Sena POV

Jadi, aku akan memiliki mate?

Entah kenapa aku jadi sedikit bersemangat sekaligus takut akan hal ini. Bagaimana jika mate ku seseorang yang memiliki derajat jauh diatasku? Bagaimana jika dia berasal dari kalangan atas yang jauh berbeda denganku? Aku rasa aku tidak cocok untuk memiliki mate, aku tidak spesial sama sekali. Orang yang menjadi mate ku itu pasti merasa sangat sial dan dirugikan dengan memiliki mate sepertiku.

Aku yatim-piatu, miskin, tidak punya apa-apa, dan hanya bisa merepotkan orang lain. Lihat saja kak Rei. Aku telah merepotkannya dengan meminta bantuan tidak penting seperti ini di pagi buta. Seharusnya kak Rei masih beristirahat di rumahnya, bukan berada di sini dan mengurusku. Aku benar-benar merasa bersalah. Aku tidak dapat diandalkan dan hanya bisa membebani orang lain.

Haahh...

Sebaiknya aku mempersiapkan diriku untuk ditolak oleh mate ku sendiri.


.
.
.
.
.
.
.
.

Hai hai.. Pyo balik lagi. Maaf banget kalo bagian ini pendek banget. Pyo nulis di waktu luang, dan akhir-akhir ini lagi ga ada waktu luang 😂

Pyo juga agak ngestuck karena mikirin banyak hal. Yang harus adaptasi, ngerjain tugas hampir tiap malem, nyari temen di lingkungan baru (susah bat saalloh🙂), belom les dan laen² #Curhat

Jadi maaaaaf banget karena cuman bisa update setelah sekian lama, dikit, sampah pula 😂. Dan makasih banget buat yang udah mampir, kasih voment di cerita Pyo yang abal ini. ❤❤❤

Three MatesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang