(4) Hubungan adalah Relationship

12 1 0
                                    

Orang kaya biasanya punya kelompok kecil mereka sendiri, kompleks perumahan tersendiri, sekolah tersendiri, gaya hidup tersendiri. Mereka hidup di kelompok kecil eksklusif tersebut. Darren adalah bagian dari kelompok itu. Dia tau benar setiap hubungan yang ia jalin semua hanya bisnis semata, semua berdasarkan perhitungan untung rugi, dalam hubungan seperti itu mudah bagi orang-orang untuk berbalik meninggalkan orang lainnya ketika nilai hubungan itu sudah tidak menguntungkan lagi. Orang dinilai berdasarkan seberapa baik koneksinya, seberapa besar keluarganya, seberapa banyak uangnya. Everything is so fake. Dia membencinya.

Dia baru kembali dari perjalanan bisnis panjangnya, perjalanan bisnis yang sangat panjang. Mungkin sudah lebih dari sepuluh tahun ia meninggalkan Indonesia. Terlalu banyak yang berubah. Saat dulu dia masih sekolah, dia sering ingin pulang, kadang-kadang dia merindukan tempat yang ia sebut rumah itu, tetapi sekarang ia sudah tidak banyak berharap. Kehangatan yang ada dalam pikirannya mungkin bukan memori masa kecilnya tapi hanya ilusi semata. Tempat yang ia anggap rumahnya itu tidak benar benar ada.

Satu-satunya suara yang terdengar hanyalah suara piring dan sendok yang bersentuhan satu sama lain, keluarga ini tidak suka basa basi. Lama dalam kediaman Nyonya besar rumah tersebut buka suara,

"Kapan kamu mulai masuk kerja disini?"

"Besok," jawab Darren singkat

Perempuan itu hanya mengangguk, dia meletakkan sendok dan garpunya di atas piring, mengelap bibirnya dengan serbet,

Darren mengamati wanita paruh baya itu, dia tidak banyak berubah dari terakhir ia melihatnya, mungkin tujuh tahun yang lalu, Darren mengelus keningnya, tangannya berpangku di meja.

"Kalau begitu saya pulang duluan," katanya

Wanita itu mengangguk saja

Darren kembali ke apartemennya dengan mengemudikan mobilnya sendiri, dia tiba di apartemennya dan langsung merebahkan dirinya di sofa ruang tamunya. Tempat itu luas dengan desain minimalis, furniturnya adalah variasi warna monokrom dan coklat pastel, ada jendela besar yg menghadap ke barat dengan pemandangan gerlap gerlip kota, penthouse itu ia beli tahun lalu, tapi baru kemarin ia menginjakkan kakinya di tempat itu. Ia menatap langit-langit rumahnya, akan butuh waktu yang lama baginya untuk familier dengan rumah barunya. Matanya perlahan-lahan terpejam, dan dirinya terbawa ke alam mimpi.

***

Sebulan berlalu dalam kejapan mata, darren sedang berada di ruang kantornya yang sudah ia tempati selama sebulan ini, dia masuk kerja jam 7 dan pulang tepat jam 8 malam, dia tidak pernah mengingkari jadwalnya itu, selama waktu belum menunjukkan pukul 8 malam dia tidak akan meninggalkan kantor,dia meminta sekertarisnya supaya semua urusan pekerjaan di kerjakan di kantor, pertemuan baik itu dengan klien maupun mitra kerja harus dijadwalkan pada jam kerja dan bertempat di gedung perusahaannya.
"Tina, tolong bawakan saya dokumen proyek Jendkin," kata Darren kepada sekertarisnya melalui interkom
Tak berapa lama, seorang wanita usia pertengahan 30 tahunan muncul dari balik pintu membawa segepok dokumen di tanggannya, ia meletakkan dokumen dokumen itu di atas meja bosnya, dan mundur dua langkah.
"Apa schedule saya siang ini?" tanya Darren pada perempuan di hadapannya
Perempuan itu mengangkat ipadnya dan memeriksanya selama beberapa detik sebelum menjawab, "Ada pertemuan dengan Pak Ruben dari Kahula Group," jawabnya
"Jam berapa?"
" Setengah 3, dan saya minta maaf pak, pak Ruben ingin supaya pertemuannya di dekat kantornya,"
Darren menyentuh keningnya, "Bukannya sudah saya bilang ke kamu saya tidak suka meeting di luar kantor," kata Darren,
Wanita dihadapannya tidak bergeming, Darren menyerah, dia menghembuskan nafasnya keras dan berkata, "Okey, terserah,"
Tina menganggukkan kepalanya, Darren mengibaskan tangannya, mengerti maksudnya, tina undur diri dari ruang kantor bosnya dan kembali ke tempatnya semula.
Dengan begitu Darren dengan berat hati meninggalkan kantornya sore itu, ia berdiri di depan lobi kantornya, menunggu sopirnya mengambil mobil di parkiran, saat mobil itu sudah tiba di depannya matanya menangkap pemandangan yang membuatnya mengurungkan niatnya untuk naik ke kursi penumpang mobil sedan hitam milik perusahaan itu, seorang wanita berdiri di hadapannya menatap lurus ke arahnya, wanita itu tampak sama terkejutnya dengan dirinya, mereka berdiri lama dalam keheningan, mereka berdiri lama tanpa melakukan apa apa seperti video yang dijeda. Yang perempuan yang duluan bergerak, perempuan itu bersungut sungut mengambil langkah mundur pelan, membuat Darren tersenyum karena teringat masa lalu. Perempuan itu balik tersenyum, dan rasanya seperti film-film, musik romantis berputar di kepalanya, tiba tiba perasaan hangat menyeruak di dadanya. Sekertarisnya menepuk punggungnya membuat ia berpaling,
"Mari pak," katanya
"Tunggu," Darren berbicara pada sekertarisnya dan berjalan mendekati teman lamanya,
Rachel kebingungan harus melakukan apa, ia tersenyum canggung saat teman lamanya itu berdiri tepat dihadapannya,
"Hai," kata Darren dengan senyum paling memesona yang pernah ia lihat selama 10 tahun terakhir,
"Hai," jawab Rachel pendek
Lalu hening lagi.
"Apa kabar?" Ucap Darren tidak tau harus bilang apalagi, ini bukan saatnya obrolan kecil dengan teman lama, ia ada meeting setengah jam lagi,
"Baik,"
Di sudut matanya, Darren bisa melihat sekertarisnya  menatapnya tajam sambil menunjuk arlojinya,
"Maaf aku ada urusan pekerjaan," kata Darren
"Iya, ya, aku..." Rachel terbata-bata, "mau ke situ," dia menunjuk sembarang tempat, dan menggaruk lehernya yang tidak gatal
"Okey, nanti kita bicara lagi," Darren merogoh kantong dalam jasnya, mengeluarkan secarik kertas segi empat, "ini kartu namaku," katanya menyodorkannya pada Rachel, sebelum ia berbalik dan naik ke atas mobil.
Tak berapa lama mobil itu sudah hilang dari pandangan Rachel, ia berdiri disana memandangi kertas segi empat berwarna hitam di tangannya bertuliskan Darren Harrison, ia menarik nafas dalam dalam dan melihat kembali ke arah mobil hitam itu menghilang. Setelah semua waktu dan uang yang ia habiskan di cafe di seberang, akhirnya ia bertemu dengan Darren, dan dia mengenalinya. Betapa senangnya Rachel sampai ia lupa dengan sakit hatinya melihat Kiran dan Panji berpelukan tadi. Tadi sewaktu duduk di cafe, pikirannya terus menerus memutar adegan saat Panji menarik Kiran kepelukannya, matanya terpaku ke luar jendela malas berbalik melihat Kiran di balik kasir, saat itulah dia melihatnya, Darren keluar dari gedung tinggi di seberang jalan bersama seorang wanita bersetelan, ia langsung buru buru beranjak dari tempat duduknya mendekati gedung itu.
Kiran menatap kopi yg ditinggalkan Rachel, hari ini perempuan itu pergi lebih awal, sejak tadi ia menatap keluar jendela dengan sendu, lalu tiba-tiba air mukanya berubah cerah, dan ia tergesa gesa meninggalkan tempat itu. Kiran tidak terlalu lama berandai-andai tentang Rachel merasa penasaran, hatinya sedang dilanda gundah karena belum mendapat kabar dari adiknya. Baru saat matahari tenggelam ia mendapat telepon dari adiknya, Kiran sudah sampai di depan pagar rumahnya saat ponselnya berdering,
Dengan cepat Kiran mengangkatnya, "Halo, kamu nggak papa?" kata Kiran dengan nada khawatir yang kentara
"Aku tidak habis pikir dengan Kak Kiran," kata orang diujung telepon dengan nada kesal,
"Maksudnya?" rasa khawatir Kiran kini berubah jadi kebingungan,
"Kenapa kak Kiran membayar orang itu?" Adik Kiran berdecak kesal
Hening cukup lama lalu Kiran bersuara, "Maaf," katanya singkat dengan suara bergetar
"Jangan menangis, aku tidak apa-apa. Seharusnya orang itu yang membayar ganti rugi," jeda sebentar, "Aku tidak salah, aku yang korban disini,"
"Kamu nggak papa kan?" Kiran sudah mulai menangis,
"Tidak apa-apa, berhentilah menangis,"
"Lalu, kenapa baru menelepon?" kiran terisak
"Aku baru siuman,"
"Kalau baru siuman sekarang, berarti kau luka parah, dasar bodoh!!!"kata Kiran setengah berteriak diantara tangisnya,
Samudra tertawa kecil, "Kamu yang bodoh!!, aku tidak apa-apa, hanya geger otak ringan, lagipula sekarang semuanya baik baik saja, yang jadi masalah sekarang adalah soal uangmu yang dibawa oleh orang sial itu,"
"Sudahlah, lagipula mau bagaimana lagi, yang penting kau baik baik saja,"
"Sudahlah, jangan menangis lagi, jangan khawatir juga, dan jangan bilang ke Ibu soal ini,"
Kiran mengangguk meskipun Samudra tidak bisa melihatnya,
"Aku tutup ya, takut pulsaku habis," lalu telepon terputus.
Kiran berjongkok di depan pagar rumahnya, kakinya tiba-tiba merasa lemas, air matanya tidak mau berhenti mengalir, Natasha yang melihatnya dari balik jendela sudah akan keluar, tetapi membatalkan niatnya saat ia melihat Panji berlari kecil mendekati Kiran,
"Hei, kenapa?" Kata Panji khawatir, ia ikut berjongkok disamping Kiran
Kiran mengubur wajahnya di antara lututnya, ia memeluk lutunya erat.
Panji memanjangkan tangannya, dan menepuk-nepuk pundak Kiran, "Sudah..., sudah...,"
Api cemburu di hati Rachel yang sudah mereda, membuncak kembali melihat adegan di hadapannya, ia berjalan melewati keduanya yang sedang berjongkok dan membuka pagar rumahnya dengan suara keras, Panji baru menyadari keberadaannya saat itu, ia berbalik menatap Rachel yang mengirimkannya tatapan kesal, tapi ia tidak peka dan mengalihkan kembali pandangannya kepada Kiran yang sedang memeluk erat lututnya dan menunduk dalam sehingga wajahnya tak terlihat. Rachel membanting pintu rumahnya, membuat Panji balik menoleh lagi. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya, melihat tingkah Rachel yang emosian begitu. Setiap hari tingkahnya memang sudah begitu sejak keluarganya jatuh miskin, ia sudah tidak heran lagi.
Kiran mengangkat kepalanya, meskipun matanya sembab, ia memasang wajah datar dan sok dinginnya, ia saling bertatapan dengan Panji yang menatapnya heran. Lalu, Kiran membuang muka, berdiri dan masuk ke dalam rumahnya. Di dalam rumahnya Natasha berdiri di balik pintu, menatapnya dengan wajah penasarannya, Kiran tersenyum tipis.
"Aku juga tidak tau kenapa aku malah menangis," ia menarik nafasnya, dan memaksakan seutas senyum di bibirnya, "Samudra tidak apa-apa, dia sudah siuman,"
Natasha tersenyum canggung, dan mengangguk-anggukkan kepalanya, dengan hati-hati ia menarik Kiran dalam pelukannya.
Di rumah tetangganya, pemilik rumah sedang duduk di ruang tengah uring-uringan, melihat kedekatan suaminya dengan mantan kekasihnya barusan, adegan tadi terus berulang seperti kaset rusak di kepalanya, Panji keluar dari toilet dengan rambut basahnya, ia menatap ke arah Rachel seperti orang tak bersalah,
"APA!!!??!!" Rachel menggertak,
Panji melebarkan matanya, ia hanya menggeleng-geleng dan berlalu menuju kamar tidurnya.
Rachel memainkan ponselnya, lalu ia membuka case ponselnya, dan mengeluarkan kartu nama Darren, ia menatapnya lama lalu mengetikkan nomor Darren di ponselnya,
Telepon, tidak, telepon, tidak
Jari jempolnya melayang layang di atas gambar telepon hijau di layar touchscreen ponselnya. Ia menghela nafas.
Apa gunanya merasa malu sekarang?
Orang-orang seperti dirinya tidak diperbolehkan merasa angkuh?
Ia lalu menekan tombol hijau itu, ia panik sendiri dan mau memutuskannya, tapi telepon itu langsung di angkat pada dering pertama,
"Halo," suara di ujung telepon yang membuat jantung Rachel berdebar
"Halo," rachel menempelkan ponsel di telinganya,
"Untunglah kamu menelepon," nada suaranya menenangkan, "Saat aku pergi tadi, aku baru ingat seharusnya aku meminta nomor mu, aku tidak tau lagi bagaimana kalau kamu tidak menelepon,"
Rachel tertawa renyah, "Apa kabar?" kata Rachel
"Baik, kamu?"
"Aku juga," rachel menggeleng, "sebenarnya.., tidak juga," ia tertawa ironis,
Tidak ada jawaban
"Aku rasa, aku tidak pernah baik-baik saja semenjak kamu pergi," kata Rachel
"Maaf," ada penyesalan yang kentara di suara penerima telepon,
Rachel diam, Panji keluar dari kamar, ia menatap Rachel yang sedang menelepon, "Siapa?" Panji hanya basa basi saat menanyakannya, tidak berharap akan dijawab, ia membuka laptop milik Rachel dan duduk di depannya membelakangi Rachel,
Orang di ujung telepon, menanyakan hal yang sama, "Siapa?"
"Mmmm.." Rachel menatap belakang kepala Panji, rambutnya masih sedikit basah dan berantakan, Rachel memanjangkan tangannya dan mengusap pucuk kepala Panji,
"Suamiku," kata Rachel, berat sebenarnya mengucapkannya, orang yang ditelepon adalah cinta pertamanya, tidak pernah ia bayangkan akan ada di situasi seperti ini,
Tidak seperti yang dibayangkannya, Darren bereaksi biasa saja,
"Oh, ngapain kamu tadi siang di kantor ku?" Darren mengalihkan pembicaraan, ia sudah tau Rachel sudah menikah, tahun lalu ia bahkan menerima undangan, sayang saat itu dia masih di luar negeri dan sedang sibuk-sibuknya dengan perusahaannya.
"Aku.." Rachel memainkan rambut Panji, yang punya rambut fokus saja dengan laptop di hadapannya, "Cari kerja," Rachel tertawa kecil,
"Oh begitu,"
"Iya,"
"Oh ya,"
"Iya,"
"Iya,"
Rachel mengerutkan keningnya, jadi bagaimana ini, apa dia mau membantu atau tidak, apa dia harus menanyakannya secara langsung.
Tidak ada jawaban dari Rachel membuat Darren merasa geli, sepertinya ia tau maksud Rachel, Darren tertawa kecil.
"Datang saja besok ke kantor," katanya
Dalam hati Rachel sudah berteriak senang, syukurlah dia menelepon, memang benar kata orang rasa malu itu perlu dibuang jauh-jauh.

Aku Layak Menjadi Protagonis Roman PicisanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang