DEAN
Oh.
Aku hanya ingin tidur.
***
Aku ingin tidur lebih lama.
***
Aku butuh tidur lebih lama lagi.
***
Aku ingin tidur, tanpa harus bangun lagi.
***
Aku belum ingin bangun.
***
Biarkan aku tidur sebentar lagi saja.
***
Dari tirai yang sedikit terbuka, bisa terlihat sepotong langit berwarna abu. Jarum pendek jam dinding mendekati angka enam, sementara jarum panjangnya masih di angka empat. Duapuluh menit setelah pukul lima.
Mata menolak terpejam kembali. Nyalang menatap langit-langit kamar, memperhatikan satu garis keemasan cahaya matahari yang lolos dari celah tirai. Lalu, perutku berbunyi keras.
Astaga, lapar sekali.
Kusibakkan selimut dalam satu gerakan, kemudian bangkit perlahan. Kepala terasa pusing, tapi ini biasa terjadi. Sedikit terhuyung, aku mulai berjalan keluar kamar.
Wangi nasi goreng menyambut indera penciumanku saat tiba di ruang makan. Ibu sedang duduk di meja makan, menyesap teh pagi. Matanya melebar saat melihatku. Perlahan senyum merekah di bibir perempuan terkasih itu.
"Bagaimana perasaanmu pagi ini, Sayang? Lapar?"
Aku mengangguk perlahan sambil menjatuhkan bokong di kursi makan terdekat. Tak memakan waktu lama, sepiring nasi goreng dan segelas teh manis hangat terhidang di hadapan.
Ibu duduk mengawasi selama aku makan. Tanpa perlu melihat, aku bisa menebak serupa apa sorot matanya. Hati ini terasa sakit lagi. Merasa bodoh dan tak berguna.
"Kau ingin tambah, Dean?" Suara Ibu memecah keheningan, matanya memandangi piring yang telah kosong. Aku berpikir sejenak sebelum menggelengkan kepala. Ibu mengulurkan tangan, mengusap rambutku penuh rasa sayang. Aku diam saja, merasa canggung menerima gestur seperti ini.
"Boleh aku bolos satu hari lagi? Rasanya belum siap masuk sekolah," kataku parau. Aku merasa kacau.
"Tentu saja. Hanya kau yang tahu kapan kau siap, Sayang."
Sementara Ibu bersiap pergi ke kantor, kuputuskan untuk mandi. Sungguh luar biasa bahwa kegiatan sederhana ini mengembalikan mood dengan cepat. Selesai mandi, kemudian membereskan kamar. Setelah beberapa hari ini tak kubiarkan seorangpun membuka tirai, sekarang melihat ruangan ini dibanjiri sinar matahari, terasa seperti dunia lain.
"Dean, kau akan baik-baik saja, Sayang?" Ibu muncul di pintu kamar.
"Ya, Bu. Aku akan baik-baik saja."
Aku tahu dia masih merasa khawatir. Maka kuberikan senyum paling lebar, lalu menghampiri untuk memeluknya. Perempuan yang melahirkanku itu terasa rapuh dan mungil dalam dekapan.
"Kau tumbuh besar dengan cepat," bisiknya saat berjinjit mencium keningku.
***
Sepertinya aku datang terlalu pagi. Sekolah masih sangat sepi. Bahkan kelasku kosong. Setelah menyimpan tas, kuputuskan untuk pergi ke lapang basket. Tadi saat menuju kelas, terlihat ada dua orang murid tengah bermain basket di sana.
"Yo!" teriakku saat masuk lapangan. Salah seorang murid, yang bertubuh tinggi atletis, menoleh dan langsung memberi umpan bola. Dalam sekejap kami bertiga bermain seru. Cukup untuk menghangatkan tubuh di pagi yang dingin ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Apocalypse
ChickLit"I wrote our story with more than words." When love hurts but also heals. Just embrace every moments of our lives. Kisah tentang dua remaja yang memandang kematian dengan cara yang berbeda. Satu orang merindukan mati untuk pembebasan dirinya dari ra...