part 6: Blue Mood

84 9 9
                                    

DEAN

Kupandangi cermin. Menatap seraut wajah yang tengah balik menatap. Matanya tajam, seolah tengah berusaha mengulitiku. Mengebor dalam ke otakku. Mengorek kenangan-kenangan buruk yang satu jam lalu berusaha kuhilangkan dalam sebuah sesi bersama Dokter Rasyid.

"Kau menyedihkan." Aku bisa mendengar pikirannya. Atau mungkin itu pikiranku? Perasaan beracun itu mulai membuatku kesulitan bernafas. Perlahan, aku merasa tenggelam.

Ya, Tuhan!

Kunyalakan keran lalu membasuh wajah dan rambut. Kegelisahan agak berkurang. Apakah sebaiknya kurendam saja kepala ini? Siapa tahu semua ini menghilang.

Aku sudah lelah menanggung rasa kehilangan. Aku ingin pulang ke tempat di mana diriku tak dapat ditemukan.

Ponsel bergetar. Aku hampir tidak akan menjawabnya andai tidak melihat nama yang muncul di layar.

Nadia.

Nadia?

Ragu, kusapu tombol hijau dengan jempol.

"Halo?"

"Dean!" Suaranya renyah penuh energi yang menyenangkan. "Aku sedang di kota ini. Kau di mana?"

***

Saat melewati kantin rumah sakit, ujung mataku melihat dia duduk sendirian. Kai. Aku teringat kembali pada perban di pergelangan tangan kirinya. Tadi ketika bertabrakan juga dia masih memakainya. Sebuah pertanyaan yang tercipta sejak pertemuan pertama kami muncul kembali di benakku. Apakah dia terluka? Luka karena apa? Kenapa letaknya di sana? Kenapa tadi dia berada di lorong psikiatri?

Hampir aku berbelok ke kantin untuk menyapanya. Namun, getaran di ponsel yang menandakan ada pesan masuk membuatku mengurungkan niat. Pesan dari Nadia, mengabarkan bahwa sudah dekat ke rumah sakit. Ketika menelepon tadi, dia berkata akan menjemputku ke sini.

Akhirnya aku memilih berjalan lurus menuju lobi, keluar melalui pintu utama, lalu duduk di bangku luar. Angin cukup kencang sore ini. Suhu mulai dingin karena malam sebentar lagi turun.

Nadia adalah--yah--agak sulit melabeli hubungan kami sekarang selain sebagai teman baik. Pada suatu masa, aku pernah sangat menyukainya lebih dari sekedar teman dan dia juga merasakan hal yang sama. Lalu kami mulai sering menghabiskan waktu bersama. Namun, entahlah, mungkin karena kami masih sama-sama terlalu muda, mungkin aku salah menerjemahkan apa yang dirasakan. Sayangnya, hingga kini, aku belum bisa menjelaskannya pada Nadia. Mengenai--yah kau tahu--aku menyayangi dia tapi bukan secara romantis.

Bagaimana pun, Nadia sudah menemani dalam masa-masa gelap dalam kehidupanku kemarin. Dia patut mendapatkan yang terbaik, bukan? Saat ini, aku yakin memberi tahu Nadia bahwa aku menyayangi dia bagai saudara sendiri, pasti akan menyakiti hatinya. Karena itu, biarkan saja dulu, sambil menunggu momen yang tepat.

Ah, entahlah! Aku tidak tahu saat ini. Ada hal lain yang memenuhi pikiranku. Biarkan saja.

"Aku sudah memasuki gerbang." Sebuah pesan lagi dari Nadia masuk. Aku bangkit berdiri supaya dia lebih mudah melihatku nanti.

Sebuah SUV masuk ke pelataran lobi dan berhenti di depanku. Kaca jendela belakangnya turun perlahan.

"Dean!" Nadia tersenyum lebar. Dia bertambah cantik. Tidak, sebenarnya dia memang selalu cantik. Mungkin itulah yang membuatku dulu berpikir bahwa aku jatuh cinta padanya.

"Hai. Ini luar biasa. Ada angin apa yang membawamu kemari?" Aku ikut tersenyum sambil membuka pintu, lalu menyapa Pak Yaya, sopir keluarga Nadia sejak lama. Nadia bergeser memberi tempat. Langsung menyerocos menceritakan perihal kedatangannya setelah satu pertanyaan dariku itu. Aku kurang menangkap apa isi cerita dia. Semacam pernikahan anak dari sepupu ibunya.

Saat kaca jendela tertutup perlahan, sekilas mataku melihat Kai di dalam lobi. Berdiri canggung, menunduk memandangi ponselnya. Ada sesuatu dalam gesture Kai yang membuatku tak lepas menatapnya sampai jendela tertutup sempurna dan mobil berjalan meninggalkan pelataran lobi. Aku tidak paham apa.

"Siapa itu?"

Suara Nadia mengagetkanku. Aku menoleh ke arahnya dengan agak bingung.

"Siapa?"

"Cewek berjaket biru muda tadi."

Dia menangkap basah aku memandangi Kai. Memalukan!

"Entahlah, bukan siapa-siapa."

Nadia masih memandangku dengan tatapan menyelidik. Setelah dua menit berlalu tanpa aku bereaksi, dia menyerah dan melanjutkan ceritanya.

Aku berusaha mengikuti percakapan. Namun, batin dipenuhi tanda tanya, kenapa aku berbohong seperti ini? Apa sulitnya memberitahu Nadia bahwa Kai adalah teman sekelasku?

"--Dean? Kau mendengarku?"

"Ya?"

Dia memutar mata.

"Pom bensin terdekat di mana?"

Aku melongok ke luar jendela, melihat di mana kami berada.

"Ada di depan, sekitar limaratus meter lagi, Pak." Aku langsung memberitahu pada Pak Yaya. Lelaki paruh baya itu mengangkat jempol.

Ternyata di pom bensin cukup banyak mobil yang mengantri. Nadia menerima telepon dan kemudian asyik dengan ponselnya. Kusandarkan kepala ke kaca jendela, memandangi antrian motor di lajur sebelah.

Sebuah motor sport berhenti di sisi mobil yang kami tumpangi. Aku melirik dan mataku melebar. Mengenali jaket perempuan yang duduk di jok belakang.

Kai.

Siapa laki-laki yang bersamanya? Mereka tampak akrab. Setidaknya terlihat dari cara Kai duduk yang terkesan santai, juga karena mereka bercakap-cakap. Cowok itu berkali-kali mencondongkan tubuh ke belakang untuk berbicara pada Kai. Sayang, karena helm full face, tak bisa terlihat wajahnya.

"--Dean?" Suara Nadia mengembalikan kesadaranku. Saat menoleh ke arahnya, kutemukan dia tengah menatapku dengan tajam. Dari sudut mata, terlihat motor yang ditumpangi Kai maju. Antrian motor lebih cepat bergerak dibanding mobil.

"Ya, Nad?"

"Kau kenapa? Baik-baik saja?" tanyanya, tanpa melepas pandangan.

Aku mengerutkan kening. "Kenapa aku harus tidak baik-baik saja?"

Nadia tertawa kecil, tapi aku yakin mendengar dengkusan kesal sebelumnya.

"Kau tampak kesal, Dean. Apakah kau tidak senang bertemu denganku?" dia menegakkan tubuh, pandangannya lurus ke depan.

Aku beradu pandang sekilas dengan Pak Yaya melalui kaca spion. Perasaan malu merambat naik. Astaga, tidak sadarkah Nadia bahwa kami tidak hanya berdua di sini?

"Aku tidak kesal, Nad. Kenapa kau berpikir aku kesal?"

Dia mendecak tak sabar. Lalu diam memandang keluar jendela. Suasana makin tak enak saat Pak Yaya keluar dari mobil untuk membuka tangki bensin, karena ternyata giliran mobil kami sudah tiba. Meninggalkan aku dan Nadia dalam kecanggungan.

Aku tahu betul, bila dia marah, sebaiknya didiamkan saja. Maka keheningan bertahan lebih lama di dalam mobil. Sampai kulihat Nadia mencuri pandang. Segera kuraih tangannya yang langsing dengan jemari lentik.

"Aku senang bertemu denganmu, Nad. Maaf kalau aku sedikit bertingkah aneh. Kau tahu kan, bagaimana aku ini?"

Nadia diam saja, hanya memajukan bibirnya dengan tampang kesal. Namun dia tidak menarik tangannya dari genggamanku. Itu pertanda baik.

"Kau tadi terlihat marah dan kesal, Dean. Harusnya kau lihat wajahmu di cermin," katanya perlahan, mempertahankan nada judes di suaranya. Perkataannya meninggalkan sebuah pemikiran baru untukku: kenapa aku marah dan kesal?

Kemudian kusadari, perasaan itu muncul saat melihat Kai berboncengan dengan cowok bermotor sport tadi. Dengan gusar aku menggelengkan kepala, sementara benak dipenuhi pertanyaan baru: tapi kenapa aku harus merasa kesal dan marah karena itu?

***TBC***

#Bandung20082019
#vaniafianti




Sweet ApocalypseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang