Part 5: Sad Eyes

56 8 2
                                    

KAI

Aku memperhatikan dengan seksama saat jarum-jarum besar itu dicabut. Rasa ngeri sudah hilang sejak terapi ketiga. Aku hanya tidak menyukai sensasi kosong yang kadang terasa ngilu saat benda itu meninggalkan tubuhku

"Jangan langsung bangun. Tunggu sekitar sepuluh menit, ya." Perawat dengan rambut berpotongan pixie cut yang imut itu melipat selimut yang semula menutupi tubuhku. Tika, begitu yang tertulis di papan namanya. Aku tidak tahan dengan dinginnya penyejuk ruangan di sini, terasa lebih dingin menusuk dibanding dengan di kamarku walau dipasang pada suhu yang sama.

Aku mengangguk saja sambil meraih telepon seluler yang tergolek di nakas. Mengecek beberapa pesan lalu membuka media sosial. Dengan segera aku menjadi bosan dengan tampilan timeline yang begitu-begitu saja. Namun, menunggu sepuluh menit sambil menatap langit-langit juga sama membosankannya. Jadi aku kembali membuka telepon seluler. Tepat pada saat itu sebuah pesan masuk dari Ibu.

"Sudah selesai? Ibu belum selesai di sekolah. Kau tidak keberatan menunggu?"

Ibu adalah seorang guru SMP di sebuah sekolah negeri yang terletak di ujung lain kota ini. Dari rumah kami mungkin tidak terlalu sulit dicapai, tapi dari rumah sakit ini cukup memakan waktu.

"Sudah selesai. Tak masalah, Bu. Aku bisa pulang sendiri dengan taksi online. Love you." Kirim.

Balasan Ibu masuk dalam hitungan detik. Permintaan maaf dan berpesan agar aku berhati-hati dalam perjalanan pulang.

Perawat dengan rambut pixie cut tadi kembali. Sambil tersenyum dia bertanya apakah aku bisa mencoba duduk yang kurespon dengan bangkit perlahan.

Dia meraih tangan kiriku, meneliti pergelangan sebentar lalu berkata, "Kau ingin ini ditutup perban lagi?"

"Ya, tolong. Aku merasa lebih aman begitu."

"Jangan lupa dilatih, semoga terapi selanjutnya sudah bisa dipakai, jadi kita tidak perlu lagi melakukan prosedur yang menyakitimu dengan langsung menusuk nadi," katanya saat membebatkan perban. Kujawab dengan anggukan lemah.

Setelah perban terpasang dan merapikan baju, aku berjalan keluar. Melambaikan tangan pada beberapa pasien yang tersisa sambil mengatakan sampai jumpa. Ya, sepertinya kami memang akan sering berjumpa. Setidaknya dua kali dalam seminggu. Entah untuk berapa lama.

Begitu keluar dari lift, lantai dasar masih cukup ramai. Beberapa poli masih buka. Teringat dokter anak yang biasa menangani Aime, adikku, juga praktek sore hingga malam di sini.

Perutku berbunyi, membangkitkan hasrat untuk berbelok ke arah kantin rumah sakit. Sepotong roti mungkin bisa membantuku bertahan hingga sampai rumah. Namun, desakan lain mendadak muncul, butuh ke kamar mandi. Dengan cepat aku memindai sekitar. Ah, toilet terdekat ada di ujung lorong psikiatri.

Setelah menuntaskan hajat, aku mencuci tangan sambil memandangi bayangan di cermin. Di bawah mataku muncul lingkaran hitam sekarang. Wajah pucat, bibir terkadang tampak membiru.

Ya Tuhan! Aku tampak seperti orang sakit.

Tapi kau memang sakit, Kai. Sebuah suara di dalam kepala mengingatkan. Masygul, aku mencuci muka, berharap kesegaran air menular ke wajah ini. Perban di tangan kiriku basah terciprat air. Ah, biarkan saja. Aku ingin sekali bersikap tidak peduli sesekali.

Keluar dari toilet, aku berjalan menunduk. Menyibukkan diri berpikir mengenai berbagai macam hal. Lalu teringat bahwa sebelum ke toilet, aku berniat menuju kantin.

Saat itulah, satu pintu terbuka mendadak dan seseorang menabrakku dengan keras. Terjajar kaget ke belakang, ranselku jatuh.

"Maaf."

Sweet ApocalypseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang