KAI
Kami dibawa ke satu ruangan yang kuduga merupakan ruangan keluarga, terlihat dari keberadaan televisi layar lebar--maksudku, benar-benar lebar--di salah satu dinding. Ada dua sofa besar, two seater dan three seater, serta satu sofa reclining seat. Aku yakin semuanya sangat nyaman. Di sofa panjang, ada selimut dan bantal tergeletak sembarangan. Mungkin tadi Dean tiduran di sana?
"Rumahmu besar sekali, Dean." Sesil mewakili apa yang berkecamuk di benakku.
"Ini rumah peninggalan Nenekku. Ibu merupakan anak satu-satunya, jadi--yah--begitulah," kata Dean sambil mengangkat bahu. Lalu menunjuk ke arah sofa. "Duduklah dulu. Aku akan mengambil minum."
Jodi melempar selimut ke lengan sofa secara sembarangan, memberi ruang baginya untuk duduk. Dia menoleh pada Sesil dan berkata tanpa suara, "Lihat, itu!". Tangannya menunjuk lemari konsol di bawah televisi. Mata Jodi berbinar. Sesil tertawa kecil, lalu duduk di dekatnya.
Aku tidak paham apa yang membuatnya kegirangan seperti itu. Di keluargaku, konsol game tidak pernah menjadi suatu hal yang menarik. Aku memilih duduk di sofa two seater, berpikir bahwa bila duduk bersama Sesil dan Jodi akan terlalu sesak.
Oke, keluargaku bukan orang kaya dan aku pun tidak pernah merasa miskin. Orangtuaku, walau hanya pegawai negeri golongan menengah, tetap dapat memenuhi kebutuhanku dan Aime. Namun, berada di rumah ini, sedikit menciutkan nyaliku.
'Kenapa harus ciut? Kau tidak pernah bermasalah datang bermain ke rumah Jodi sejak dulu? Padahal rumah dia sama besarnya dengan ini.' Sebuah suara bergema di kepala. Menjadikanku berpikir: ya, kenapa?
Dean datang membawa beberapa kaleng soda dan jus.
"Kuharap sudah cukup dingin. Aku baru memasukkan ke kulkas begitu mengetahui kalian akan datang," katanya sambil meletakan kaleng-kaleng tersebut di meja rendah yang terletak di depan kami.
"Dean, bolehkah?" Jodi mengacungkan sebuah joystick.
"Tentu saja. Anggap saja rumah sendiri," Dean memberi isyarat oke.
Aku menatap minuman tersebut dengan nanar. Ya Tuhan, sungguh menggoda! Di siang hari sepanas ini, tentu sangat segar meminum itu, bukan? Tak sadar, aku menelan ludah. Tidak, Kai! Kau tidak boleh!
Saat Dean kembali lagi dari membawa cemilan, dengan berat hati aku terpaksa bertanya.
"Dean, kalau tidak merepotkan, bolehkah aku meminta air putih saja?"
Perhatian kami teralih sebentar saat televisi menyala dan melihat Jodi sibuk memilih game. Dean mengangguk padaku lalu menghilang ke belakang.
"Belum dingin. Tidak apa-apa?" tanya Dean saat kembali, menyodorkan botol air putih. Aku mengangguk dan berterimakasih. Saat membawa mulut botol ke bibir, tiba-tiba Dean duduk di sampingku. Hampir saja aku tersedak karena kaget.
Aku melirik Sesil dan Jodi, berusaha mengurangi rasa gugup yang mendadak melanda. Namun, mereka sedang asyik menatap layar karena Jodi mulai bermain. Sesil berteriak-teriak dengan ribut menyemangati Jodi yang tengah menghabisi sesuatu monster.
"Aku pasti banyak tertinggal, ya?" Dean meraih bundelan tugas yang tadi kuletakkan di meja.
"Lumayan." Dalam hati aku mengutuk gaya Dean yang tetap tenang, sementara aku sibuk meredakan debaran jantung. Dari sudut mata, aku memperhatikan dia membuka-buka bundelan. Sesekali keningnya berkerut. Oh, Aku akan senang saja berlama-lama memperhatikannya, tapi mendadak alam memanggil.
"Aku sepertinya perlu ke kamar mandi. Di mana letaknya?"
Dean memiringkan kepalanya, menatapku tanpa berkedip.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Apocalypse
ChickLit"I wrote our story with more than words." When love hurts but also heals. Just embrace every moments of our lives. Kisah tentang dua remaja yang memandang kematian dengan cara yang berbeda. Satu orang merindukan mati untuk pembebasan dirinya dari ra...