DEAN
Kubiarkan air mengguyur kepala dan tubuh. Hangat, cenderung panas. Perlahan, penat mulai berkurang. Aku mulai merasa lebih baik. Mulai terasa seperti diriku sendiri.
Ibu sudah menunggu di meja makan. Tersenyum cerah saat aku menghampiri.
"Syukurlah kau sudah bangun, Sayang."
Kucium pipinya, lalu duduk di seberang Ibu. Mengamati dengan hikmad saat perempuan terkasih itu menyiapkan sarapan untukku. Menyendok nasi goreng, telur mata sapi, kerupuk. Kemudian menuang jus jeruk dan menyodorkan semua itu ke hadapanku. Aku segera menyendok dan menyuap. Baru menyadari bahwa lapar sekali.
"Ibu bisa mengambil cuti hari ini, kalau kau mau," katanya setelah beberapa lama hanya bunyi sendok beradu piring yang terdengar. Aku berhenti mengunyah sebentar. Menatap Ibu sambil berpikir.
"Ah, tidak usah, Bu. Aku baik-baik saja. Lagipula tidak mungkin kan setiap kali aku mengalami fase ini, Ibu selalu bolos bekerja?"
Ibu tersenyum kecil. Menatapku melalui matanya yang indah--mata yang konon diwariskan padaku--dengan sorot sulit diterjemahkan. Hatiku mencelus, tahu benar apa yang dia pikirkan saat menatapku demikian. Kesedihan di antara kami tidak pernah akan bisa benar-benar hilang.
"Kalian begitu mirip. Kau tumbuh besar, semakin hari semakin luar biasa mirip dengannya. Orang akan menyangka kalian kembar, apalagi sekarang kau sudah setinggi ini, Dean." Kalimat itu meluncur dari bibirnya, dalam suara rendah, lebih menyerupai bisikan.
Aku memejamkan mata sambil menarik napas sekuat mungkin hingga paru-paru ini mencapai volume maksimal. Ada sesuatu yang tajam menggores dada, pelan dan dalam. Ketika membuka mata, aku menemukan Ibu masih menatapku. Namun, kali ini matanya lebih menyiratkan perasaan khawatir.
"Maafkan Ibu, Dean. Terkadang sulit menahan perasaan rindu ini."
Kugelengkan kepala, masygul. "Tidak apa, Bu. Aku sangat memahami itu. Aku juga merindukan dia."
Lalu hening menyelimuti kami. Entah berapa lama.
***
Setelah sarapan, aku kembali ke kamar yang ternyata sudah dirapikan Bi Ina. Bi Ina adalah asisten rumah tangga mendiang Nenek. Dia lanjut bekerja di sini, begitu mengetahui bahwa aku dan Ibu akan mengisi rumah ini sepeninggal Nenek. Dia bekerja bersama suaminya yang menjadi supir keluarga, Mang Ato.
Kusibakkan vitrage, sehingga sinar matahari benar-benar membanjiri kamar tanpa ada halangan. Sejenak merasa kebingungan hendak melakukan apa sampai akhirnya kuputuskan untuk mendengarkan musik di iPod sambil membaca saja.
Sebuah tepukan di pundak membuatku terperanjat. Ibu tersenyum, memberi isyarat agar aku mencopot earphone.
"Ya, Bu?"
"Ibu akan pergi ke kantor sekarang."
"Oke. Hati-hati, Bu. Love you."
Namun, Ibu bergeming. Aku mengurungkan niat untuk memasang kembali earphone.
"Bu?" Aku duduk tegak, merasa khawatir ada sesuatu yang serius yang akan Ibu katakan.
"Dean, Nadia selalu datang setiap hari selama kau--yah--tertidur beberapa hari ini. Ibu tahu kau mungkin merasa belum ingin bertemu orang lain, tapi Nadia akan pulang ke Jakarta besok malam. Dia menelepon Ibu, bertanya apakah kau bisa ditemui. Mungkin nanti sore atau besok?"
Oh, ternyata hanya masalah Nadia. Aku memang belum ingin bertemu siapa-siapa, tapi Nadia mengetahui kondisiku sejak lama. Dan selama kunjungannya di sini, kami hanya bertemu satu kali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Apocalypse
ChickLit"I wrote our story with more than words." When love hurts but also heals. Just embrace every moments of our lives. Kisah tentang dua remaja yang memandang kematian dengan cara yang berbeda. Satu orang merindukan mati untuk pembebasan dirinya dari ra...