Part 7 : We're Officially Hang Out With Him?

83 10 17
                                    

KAI

Sesil dan Jodi sudah nongkrong di depan kelasku saat aku tiba. Aku masuk ke kelas untuk menyimpan tas terlebih dahulu sebelum bergabung dengan mereka. Dalam perjalanan keluar, aku melirik bangku Dean. Bertanya-tanya apakah penghuninya akan datang hari ini. Tiga hari berlalu sejak bertemu di rumah sakit tempo hari dan dia belum masuk sekolah lagi. Kemarin, tak sengaja kudengar percakapan guru piket dengan Heru--ketua kelas kami--bahwa Dean sedang sakit.

Dia sangat sering tidak masuk sekolah dengan alasan sakit. Apa yang terjadi sebenarnya?

"Dean belum datang?" tanya Jodi begitu aku tiba di hadapannya. Kuangkat bahu.

"Entahlah apa dia akan datang hari ini."

"Tapi ini sudah tiga hari." Jodi merengut, Aku dan Sesil berpandangan bingung.

"Kau kangen? Ewh!" Sesil bergidik dengan ekspresi jijik, yang membuat Jodi mendorong jidat cewek itu kesal.

"Maaf, aku masih normal, Lobak! Lagipula, orang yang selalu meneteskan air liur setiap kali melihat Dean adalah dirimu sendiri, bukan?"

Aku tertawa keras sementara Sesil dan Jodi melanjutkan pertengkaran mereka. Setelah agak reda, aku mencolek Jodi.

"Ada perlu apa kau dengan dia?"

Jodi menerangkan bahwa Dean sudah berjanji untuk mengajari dia suatu jurus atau apalah di suatu game yang saat ini tengah mereka mainkan. Aku mengangguk-angguk saja agar tidak terlihat bodoh. Dan aku yakin Sesil juga melakukan hal yang sama demi alasan yang tak jauh berbeda.

"Aku sudah mengirim pesan tapi belum ada balasan," kata Jodi di ujung ceritanya. Mata Sesil hampir keluar dari rongganya.

"Kau punya nomor dia? Astaga, Jodi! Bagaimana bisa kau menyembunyikan hal sepenting ini?"

"Kau tidak bertanya, jadi tidak bisa dikatakan bahwa aku menyembunyikannya, Lobak!" Jodi mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Seperti juga aku, Sesil mengira Jodi akan memberikan nomor Dean. Namun, cowok itu malah asyik sendiri. Kami kembali berpandangan.

"Woy!"

Jodi mengangkat wajah dan menatap Sesil, kebingungan.

"Apa?"

"Nomor Dean! Astaga!"

"Oh iya." Lalu Jodi menyebutkan sederet angka yang dengan cepat disalin Sesil ke ponselnya. Aku hanya berdiri memperhatikan, sebagian hatiku ingin meniru Sesil, tapi sebagian lagi merasa malu melakukan itu. Lalu, aku memilih mengikuti perasaan malu.

"Dia tidak aktif," kata Sesil sambil memandangi layar ponselnya. Dia sudah mengirim pesan pada Dean. Aku menjulurkan leher, mengintip ponsel Sesil. Hanya centang satu.

"Sudah kubilang tadi, Dean tidak bisa dihubungi." Jodi menendang sepatu Sesil perlahan. Cewek itu merengut.

"Ya, sudah lah!" Akhirnya dia mengunci layar dan memasukkan ponsel ke saku rok seragam. Namun, tiba-tiba dia terlonjak seperti terkena setrum. Matanya yang sipit melebar semampunya, penuh gairah.

"Kau kenapa?" Aku mundur sedikit.

"Bagaimana kalau kita masukan Dean ke grup?"

"Grup?"

"Grup chat. Oke, sebentar!"

Sebelum sempat aku dan Jodi cegah, ponsel kami sudah bergetar dalam waktu bersamaan. Sebuah pemberitahuan, Sesil memasukkan seseorang.

"Sesil!" Jodi mengerang kesal. "Kau harus minta izin dulu pada Dean. Jangan sembarangan memasukkan dia tanpa persetujuannya!"

"Nah, sekarang Dean resmi menjadi geng kita." Sesil tersenyum cerah, mengabaikan Jodi sepenuhnya.

Sweet ApocalypseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang