✧ DEJA VU

225 53 23
                                    

Tubuhnya diguncang oleh seseorang, dan terdengar lengkingan suara khas milik Yozar yang membuat Sangkara terbangun dari tidurnya.

"Kenapa, Zar?" Tanya Sangkara bingung.

"Pake nanya, lo ketiduran tau! Gue pusing nih ngerjain soal matematika sendirian." Gerundel Yozar.

Sangkara mengernyit bingung.

Tunggu sebentar, kenapa gue bisa ada di sini? Jadi, tadi itu cuma mimpi? Batin Sangkara sambil menghela napas lega.

"Kenapa hela napas gitu? Seneng lu ya lihat gue tersiksa sama soal-soal ini?" Yozar masih menggerutu.

"Bukan gitu, Zar. Oh iya, kita cukupkan belajarnya hari ini."

"Oh, baguslah kalo gitu. Gue juga udah capek."

Sangkara membereskan semua alat tulis dan buku yang ada di meja ke dalam tasnya. Setelah selesai ia pun bergegas untuk pulang.

"Woi!"

Sangkara menghentikan langkahnya saat Yozar memanggil. "Kenapa lagi, Zar?"

"Hape lu tuh ketinggalan."

"Hape? Oh iya, makasih udah diingetin."

Sangkara meraih ponsel tersebut dan tanpa sengaja mengaktifkan layar ponsel itu. Ia terkejut melihat tanggal dan waktu yang ditunjukkan di layar ponselnya. Itu adalah tanggal di mana rumahnya mengalami kebakaran.

"Jangan-jangan, ini memang bukan mimpi."

"Kenapa?" Bingung Yozar melihat ekspresi Sangkara.

Sangkara tak menjawab pertanyaan Yozar dan langsung berlari sekencang mungkin menuju rumahnya.

Gawat, gue harus cepat-cepat sampe rumah. Gue inget, ini misi untuk menyelamatkan Bumi! Monolognya sambil terus berlari.

Sangkara berlari dengan napas terengah-engah menuju rumahnya yang terletak di pinggiran kota. Di belakangnya, bayangan hitam asap tebal menggambarkan malapetaka yang akan terjadi dalam lima menit ke depan.

Dengan adrenalin yang memuncak, Sangkara tiba di rumahnya dalam satu menit terakhir, menemukan bahwa rumahnya masih utuh, belum tersentuh oleh api yang ganas. Namun, kelegaan itu segera berganti dengan kecemasan saat ia masuk ke dalam rumah dan menemukan ayahnya yang sedang mabuk.

"Woi, ini rumah nggak ada makanan apa? Gue laper nih!" Erang ayahnya masih dalam keadaan mabuk berat.

Sangkara menghela napas lega karena Bumi belum sampai di rumahnya.

"Sangkara nggak punya uang untuk beli bahan makanan," ucap Sangkara dengan nada rendah.

"Apa? Nggak usah bohong, berani ngelawan orangtua lu?!" Seru ayahnya dengan nada melengking, wajahnya merah karena kemabukan.

"Ayah terlalu mabuk, Sangkara ambilkan air putih ya ...," Balas Sangkara dengan lembut, berusaha menenangkan situasi.

"Hah? Nggak usah! Gue laper bukan haus!" Teriak ayahnya lagi, semakin memperkeruh suasana.

"Tapi--"

"Aarrghhh! Berisik lu!"

Ayahnya yang terlalu mabuk tidak dapat lagi mengendalikan kemarahannya dan dengan kasar mendorong tubuh Sangkara hingga tersungkur di lantai.

Sangkara berusaha menjaga ketenangan, tetapi sikap keras ayahnya membuatnya semakin terpojok. Pria itu memperlihatkan bahwa ia tidak peduli dengan keadaan anaknya.

Sangkara terkejut saat tiba-tiba melihat ayahnya yang sedang di dekat kompor sambil membawa minuman beralkohol.

"AYAH!!"

LINGKAR BINTANG [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang