2

15.7K 786 118
                                    

2

Reana menikmati sarapannya dengan tenang, gadis itu sesekali menghafal dalam hati dialog drama yang akan ia perankan satu minggu lagi. Reana sangat menyukai bermain drama, biola, dan juga melukis.

Rean turun dari tangga dengan setelan formalnya, lelaki dewasa itu terlihat sangat tampan dan sempurna seolah tanpa cacat sedikitpun padanya. Dirasa akan terlambat ke sekolah, Reana segera bangkit dari tempatnya duduk, ia tidak sadar bahwa Rean ada di sana memperhatikannya. Ia tengah terburu-buru sekarang sehingga tak memperhatikan keadaan sekitar.

Merasa tak dihargai oleh Reana, Rean tersulut emosi dan menarik kasar rambut Adiknya hingga gadis itu tertarik ke belakang. Reana tersentak kaget kala punggungnya menubruk dada bidang sang Kakak.

Reana mendongak ke atas dan melihat Rean tengah menatapnya dengan kilatan emosi yang terpancar jelas pada netra tajam lelaki tersebut. Reana merasa kedua kakinya lemas seketika, ia tidak tahu lagi kesalahan apa yang ia buat hingga memancing kemarahan Kakaknya.

"Am-pun, Kak," lirih Reana. Ia begitu takut pada Rean yang sepertinya akan melahapnya hidup-hidup sekarang. Tatapan tajam Rean menusuk relung hati Reana, meninggalkan bekas pedih di dalam dadanya.

"Tidak tahu sopan santun! Berani benar kau meninggalkan meja makan ketika aku datang! Bocah sialan!" maki Rean kejam pada Reana.

PLAK!

Reana memegangi pipinya yang terasa panas akibat tamparan dari Rean, kuatnya tamparan lelaki itu hingga membuat Reana jatuh ke lantai yang dingin. Ia bersimpuh di depan Rean yang berdiri angkuh di hadapannya.

"A-ku tidak bermaksud un-tuk kurang ajar k-kak." Reana berusaha menjelaskan pada Rean yang terlihat semakin emosi padanya. Ia tidak ingin dihajar oleh Rean lagi dan tidak bisa masuk ke sekolah untuk yang ke sekian kalinya.

"Tidak bermaksud katamu? Cih! Gadis bodoh!" Rean menjambak Adiknya dan meyeret gadis itu untuk menaiki tangga menuju lantai tiga. Sebuah kamar kedap suara yang selalu Rean gunakan untuk menyiksa Reana sepuas hati.

Rean yang awalnya memang kesal pada Ayah Lilian yang memutuskan untuk mempercepat pertunangannya dengan Lilian, melampiaskan kekesalah itu pada Reana yang tidak tahu menahu perihal masalah itu.

Rean memang mencintai Lilian, hanya saja ia masih belum mau terikat dalam hubungan pernikahan. Rean masih ingin bebas dan  masih ingin terus mengembangkan bisnisnya tanpa aturan dari si tua Benjamin.

Ben adalah tipe orangtua pengatur yang selalu ingin semua orang menuruti kamauannya, ia juga ingin semua orang tunduk atas perintah dari Ben. Bukan tidak mungkin sifat itu juga menurun pada Lilian, maka dari itu Rean selalu mengulur waktu yang telah mereka tentukan untuk hari pernikahan yang bagi Rean sama saja dengan menyerahkan harga dirinya pada Ben begitu saja.

***

Ruangan itu penuh dengan berbagai macam senjata api, busur dan anak panah, pisau lipat yang begitu tajam, serta cambuk yang selalu Rean gunakan untuk menghukum Reana.

Lelaki itu ingin menyalurkan emosinya pada Ben, ia benar-benar kesal pada orang tua itu dan ingin menghabisinya jika ia tak ingat bahwa Ben adalah orangtua dari kekasihnya.

Sejahat-jahatnya Rean, ia sangat menyayangi Lilian sehingga tak ingin melihat wanita itu menangis karena kehilangan sang ayah. Maka apapun akan ia lakukan untuk membahagiakan Lilian, tapi menikah secepat kemauan mereka adalah pengecualian bagi Rean.

Rean menatap Adiknya yang kini berdiri dengan gemetar sembari memeluk tas ransel sekolahnya. Rean segera mengunci pintu ruangan itu hingga membuat Reana diserang rasa panik dan ketakutan yang teramat sangat.

Sadistic Brother (Revisi) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang