Reana tengah mengganti perban di tangannya dengan hati-hati, rasa pedih membuatnya sedikit mendesis. Namun, ia yang sudah kebal dengan semua luka yang disebabkan Rean selama ini membuat ia menganggap goresan pada telapak tangan itu hanyalah sebuah luka kecil dengan sakit yang tak seberapa.
Ia membersihkan lukanya dengan cairan khusus dan membalutnya dengan perban lagi, luka pada tangannya membuat aktifitas belajarnya terganggu. Ia tak bisa menulis di sekolah, beruntung ada seorang gadis culun yang mau membantunya mencatat. Meski terlihat takut pada Reana, si culun itu masih mau menuliskan untuknya.
Reana yang jarang berinteraksi dengan murid lain, membuat mereka segan meski hanya sekedar menyapa Reana di kelas. Wajahnya yang datar tanpa ekspresi terkadang membuat Vanesha frustasi memahami perasaan sahabatnya tersebut.
Bahkan Reana tak mengingat nama teman-teman di kelasnya dan tak memperhatikan wajah mereka satu persatu, padahal seluruh murid di sekolahnya sudah mengenal gadis itu dengan cukup baik.
"Kau belum tidur?" tanya Rean yang tak tahu kapan sudah duduk di sofa tepat di samping Reana, padahal seingat Reana, kakaknya itu sudah tertidur tadi ketika ia meninggalkannya. Gadis itu menggeleng pelan, ia menunduk dan berusaha berkonsentrasi pada pekerjaannya membalutkan perban di tangan.
"Sini." Rean menarik tangan Reana yang terluka, kemudian dengan hati-hati ia membalutkan perban pada tangan Adiknya. Pria itu refleks ikut mendesis ketika Reana mendesis kesakitan, seolah ia juga turut merasakan pedihnya luka Reana.
"Kau tak melakukan kesalahan apapun kan di sekolah?" tanya Rean datar. Reana menggeleng dan hanya bergumam pelan.
"Apa kau berdekatan dengan laki-laki lain di luar sana?" tanya Rean lagi, kali ini dengan nada yang sedikit terlihat ragu. Ntah mengapa Rean tak siap dengan jawaban yang akan Reana keluarkan.
"Tidak, Kak." jawab Reana pelan. Ia terlalu takut pada pada Rean, sebisa mungkin dirinya tak akan melakukan kesalahan.
"Bagus! Jangan membuatku menghajarmu dan menghabisi lelaki itu jika kau berani mendekati atau berinteraksi dengan mereka. Kau mengerti?" Reana mengangguk paham, ia menggigit bibirnya agar tak menangis kali ini.
Hatinya terlalu sakit dan dadanya terasa sesak kala saudara yang sangat disayanginya berlaku sedemikian buruk padanya, bahkan hanya dalam berkata-kata saja sama sekali tak ada yang enak untuk didengar.
"Kenapa Kakak melakukan semua itu padaku? Seharusnya Kakak senang jika ada yang mengambilku darimu, kan? Bukankah kau sangat membenciku?" Reana bertanya pelan, sejujurnya ia sangat takut bertanya demikian. Tapi rasa penasaran mengalahkan rasa takutnya.
Kejanggalan akan sikap Kakaknya itulah yang mendorongnya melontarkan pertanyaan yang bisa saja membuat Rean mengamuk seperti yang sudah-sudah. Rean paling benci jika Reana membahas atau sekedar bertanya tentang pria lain.
"Karena kau hanya milikku, hanya aku yang akan bersama denganmu seumur hidupmu. Tak ada orang lain, tak ada pria lain, dan bahkan aku tak akan pernah mengijinkan mereka untuk menatapmu, meski hanya dari kejauhan." Rean menarik Adiknya untuk duduk ke pangkuannya. Reana kaget dengan sikap aneh Rean akhir-akhir ini, tak pernah sekalipun Kakaknya bersikap sedemikian 'baik' padanya.
"Tapi, kenapa?" Reana bertanya dengan ragu, sikap Rean yang berubah drastis membuat wajah Reana memanas.
"Kau terlalu banyak bertanya!" geram Rean sebelum melumat bibir Reana dengan panas. Rean memejamkan mata, berbeda dengan Reana yang justru membulatkan matanya karena terkejut.
Kakaknya kembali mencium bibirnya lagi. Rasa takut mulai merayap dalam dirinya, hal ini lebih menakutkan daripada disiksa oleh Rean. Matanya sudah berkaca-kaca siap menumpahkan air matanya lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sadistic Brother (Revisi)
Storie d'amoreBerawal dari sikap pilih kasih yang dilakukan orangtuanya pada Rean dan Reana, menjadi awal mula kebencian Rean terhadap Adiknya. Adiknya yang selau dihujani kasih sayang oleh orangtuanya, dan Reana yang ia anggap menjadi penyebab utama kecelakaan y...