Singto's POV
Aku memperhatikannya selama selama makan malam itu dengan perasaan bertanya-tanya. Ada sesuatu dalam hatiku yang merasakan bahwa aku pernah bertemu pemuda itu jauh sebelum aku bertemu dengannya di bandara dan di tempat ini. Entah kenapa aroma tubuh dan senyum itu terasa tak asing bagiku.
Tapi di mana?
Aku lalu bangkit dari tidurku dan keluar menuju balkon untuk menghisap rokokku. Aku tersenyum ketika membayangkan dirinya dalam otakku. Pemuda itu tampak sangat cerdas ketika ia mendengarkan pembicaraan kami dan berinteraksi dengan beberapa dari kami. Kurasa pemuda itu seorang kupu-kupu sosial yang dapat membaur ke lingkungan mana saja. Bahkan intonasi suaranya terdengar stabil tanpa ada keminderan sedikitpun di dalamnya. Satu lagi yang kutangkap darinya, dia adalah seseorang yang begitu percaya diri. Sebenarnya wajar saja untuk orang semuda dirinya.
Aku lalu mematikan rokokku dan kembali ke kamar dan memutar piringan hitam Enrico Caruso dengan gramofon yang ada di kamarku lalu berbaring di ranjangku.
🐬🍷🍷🍷🍷🍷🐚🐚🐚🐚🐚🐬
Pagi itu aku turun ke restoran hotel itu dan menikmati sarapan pagiku sembari mengecek agendaku. Pagi ini aku akan menemui tuan Messina dan mengunjungi Castello Brown kemudian makan malam di salah satu restoran dekat dermaga.
"Apa aku boleh duduk di sini?" tanya sebuah suara yang kukenali. Aku menoleh dan tersenyum.
"Silakan!"
Krist duduk di hadapanku disambut dengan kekehanku. "Wow! Porsimu tergolong banyak untuk sarapan pagi."
Ia terkekeh. "Aku perlu banyak tenaga hari ini setelah semalam dibuat gila dengan istilah-istilah bisnis dan ekonomi yang sama sekali tak kumengerti dan lain sebagainya. Jadi, tolong izinkan aku makan banyak pagi ini."
Aku terkekeh dan menyesap Cappucinoku. Ia lalu menelan makanannya sebelum melanjutkan. "Lagipula, kapan lagi kau menginap di hotel semewah ini gratis? Selagi gratis, ga dimanfaatkan saja. Aku benar-benar harus berterima kasih pada P'Danai untuk ini!"
"Kau ikut ke Castello Brown nanti setelah makan siang di tempat tuan Messina?"
Ia mengangguk. "Bukankah katamu Castello Brown adalah kunjungan wajib saat ke Portofino? Tentu saja aku tak akan melewatkannya!"
"Kau tidak ikut bermain golf bersama yang lainnya?"
Ia menggeleng. "Yang seperti itu bukan untukku. Lebih baik menikmati makanan di sini hingga kenyang saja."
Aku terkekeh. Ia mengerutkan dahinya. "Ada apa? Ada yang lucu?"
Aku menggeleng. "Tidak. Maksudku kukira orang yang senang membaur dengan orang banyak sepertimu akan mengikuti kemana rombongan teramai pergi."
Ia berdecak. "Bermain golf itu membosankan! Aku tak mengerti apa serunya memukul bola kecil untuk memasukkannya ke sebuah lubang yang tak kalah kecilnya."
"Sama! Aku juga lebih suka main ski, bowling, atau basket. Aku selalu tertidur ketika ayah memintaku menemaninya bermain golf bersama teman-temannya."
"Wow, untuk ukuran orang kaya dan hebat ternyata seleramu sungguh biasa."
"Biasa bagaimana?"
"Biasanya orang-orang kaya suka bermain permainan orang-orang kaya seperti golf, kriket, berkuda, atau polo. Kadang-kadang juga bermain tenis."
Aku terbahak. Ia mengerutkan dahi kebingungan sementara aku berusaha menahan tawaku. "Astaga, Krist! Kau ini terlalu polos atau terlalu banyak menonton opera sabun? Maksudku, itu berlebihan sekali. Tidak semua orang kaya seperti itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
I Found My Love in Portofino
FanfictionAku bertemu dengannya malam itu di pesta dansa musim gugur di sebuah bar tepi pantai di Portofino. Dia dengan setelan kuningnya tampak begitu menyilaukan di antara tamu yang lainnya. Matanya yang berbinar indah bagaikan mentari musim panas seolah me...