PROLOG

125 12 3
                                    

Majimakcheoreom mamamajimakcheoreom
Majimak bamin geotcheoreom love
Majimakcheoreom mamamajimakcheoreom
Naeil ttawin eopsneun geotcheoreom

Dengan lihai, tanpa takut akan jatuh, ia gerakkan badan lenturnya mengikuti irama musik. Bibir tipisnya melontarkan lirik - lirik rap bersamaan dengan suara Lisa BLACKPINK yang licin lidahnya, tak takut terpelintir.

Jaco, yang belum melakukan apa - apa sedari tadi, hanya menonton performa dadakan sahabatnya. Dengan bermodalkan mata mengantuk, kepala bertumpu sebelah tangan dan badan lebarnya yang telungkup di atas ranjang single bed sahabatnya, sudah cukup membuat matanya jengah menyaksikan pemandangan tak mengenakkan mata untuk mereka pe-tak-nyuka girlband asal Korea Selatan yang namanya sudah melambung tinggi itu.

"Lo gak cape apa ya Mas, muter - muterlah, lompat - lompatlah, lempar kepalalah, baling tanganlah, segala macemlah?" Jaco akhirnya berkomentar setelah tak kuasa menahan rasa ingin menghujat di relung jiwa ini.

"Hubungannya sama lo apa? Gue aja santuy, kok. Lagipula, ngedance bikin badan sehat." Dimas menyahut ucapan Jaco, tanpa menghentikan gerakan tarinya.

"Tapi, kok tiap gue ikut ngedance, gak ada keringet netes, minimal di leher gue. Kenapa?" Jaco membayangkan dirinya yang beberapa kali mengikuti Dimas melakukan dance di kamar Dimas yang terbilang luas itu. Namun, anehnya, ia tak pernah berkeringat, padahal itu semua cukup menguras tenaga.

"Ya, nggak neteslah. Lonya aja mageran. Dan, bodohnya, lo berpijaknya di atas kasur. Gimana mau ngetat dah tuh pembuluh darah." Dimas menjeda sebentar musik yang mengalun, kelelahan. Ia memutuskan untuk menyudahi latihan tari menari modern dance favoritnya, dengan lagu AS IF IT'S YOUR LAST kepunyaan BLACKPINK itu.

"Gue juga ngasumsi ya, nih. Lo males gerak karena apa? Karena badan lo yang isinya lemak semua." Lanjut Dimas, lalu duduk di kursi meja belajarnya, beralih ke botol mineralnya. Kemudian menenggaknya.

"Ye, si - Sialan!" Umpat Jaco dengan satu timpukan bantal hias berbentuk kepala Spider-Man favorit Dimas.

Sedangkan yang ditimpuk hanya tertawa keras setelah selesai dengan minumnya. Dimas baru akan membalas perbuatan Jaco, namun suara bariton dengan nada tinggi dari luar pintu, tepatnya di lantai bawah menginterupsi gerakan tangannya yang terarah akan mendaratkan bantal itu tepat di wajah lonjong Jaco.

"Dimas!"

"Iya, pa?" Balas Dimas tak kalah tinggi oktafnya. Dimas beranjak dari duduknya, berjalan ke arah pintu kamar.

Dimas membuka pintu kamarnya, menuruni tangga. Dari pertengahan anak tangga, bisa ia lihat sang ayah, Benni, tengah menanti kehadiran dirinya di depannya.

"Kenapa, pa?" Tanya Dimas setelah berhasil hinggap di depan papanya. Sesekali ia menyeka keringat yang menetes dari dahinya.

"Tadi pagi, papa suruh apa?" Ujar Benni langsung.

Dimas pun berusaha mengingat apa perintah papanya tadi pagi. Sebelum melakukan dance tadi, ia mencuci piring. Sesudah itu, menyapu dapur, ruang keluarga, dan...

Oh, iya. Membereskan tempat tidur papanya.

Setelah berhasil mendapat ingatannya kembali, Dimas malah cengar cengir. Sedangkan Benni, menatapnya jenuh.

"Sebentar ya, pa. Dimas ke kamar papa dulu. Awokwokwokwok."

Dimas langsung mengacir ke kamar papanya di lantai bawah. Benni hanya bisa geleng - geleng kepala melihat putranya masih berkelakuan seperti bocah, padahal umur Dimas sudah menginjak 16 tahun. Ah, kenapa tiba - tiba ia rindu Dimas kecilnya dulu? Sudahlah, lupakan.

Keluarga Dimas memang memiliki banyak asisten rumah tangga. Mulai dari asisten, seperti yang menyiapkan makanan, mencuci dan menyetrika pakaian, mengepel lantai rumah dan pekerjaan rumah lainnya, tukang kebun, sopir pribadi, dan juga satpam. Akan tetapi, Benni tak pernah memanjakan Dimas secara berlebihan. Ia juga selalu mendidik anaknya agar menjadi anak yang mandiri dalam menyelesaikan masalah walau sepele. Seperti misalnya meletakkan sendiri peralatan makan ketika sudah selesai dipakai, lalu dicuci, membereskan tempat tidur sehabis bangun tidur, membersihkan kamar mandi, juga hal - hal lainnya yang bisa diselesaikan secara mandiri. Bahkan, walau sudah menginjak umur ke 16, Dimas tetap menjalankan semua pekerjaan rumah ini dengan usaha sendiri. Juga, karena Dimas sudah dibiasakan oleh papanya untuk mandiri sejak kecil.

"Fiuh, selesai." Dimas menyeka lagi keringatnya yang sedikit tumpah di dahi. Rupanya, melipat selimut dan memasang seprei ranjang kasur yang sedikit terlepas menguras energi cukup banyak juga.

"Sudah?" Tanya sang papa ketika Dimas bergegas menuju kamarnya lagi di lantai atas.

Dimas mengacungkan jempolnya, tanda pekerjaan telah usai. Lalu, kakinya tergerak melangkahi satu per satu anak tangga.

Lain halnya di kamar Dimas. Jaco, tengah asyik menyamai gerakkan badannya dengan musik. Sesekali tangannya juga terangkat ke udara, saking menikmatinya lagu itu.

"Bichi, naneun, solo!"

Dan, di detik itulah, tawa Dimas pecah.

TBC

Yoi. Blk lg dengan gua. Awkwwokwowk.
Cerita baru dlu, yg satunya bisa dilanjut kpn².

Up crita ini tiap Selasa & Kamis. Agree?

Aufa Baladika (19-08-2019)

HOLLANDAYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang