1 - First Day

57 5 0
                                        

"Baru ngelirik aja udah deg - degan.
Apalagi pas deket."

Dimas Holland T.

———

Dimas sudah rapi dengan pakaian seragam sekolahnya. Kini, ia menyisir ke atas rambutnya dengan jari jemari tangannya. Kegiatan rutinnya sebelum memulai hari di saat - saat sebelum sekolah.

Selesai dengan rambutnya, Dimas kemudian melangkah keluar kamar dengan tas tersampir di bahu kirinya.

Sebelum menuruni lantai 2, Dimas mengecek kembali barang bawaannya. Dirasa sudah tak ada lagi barang penting yang mesti dibawa, Dimas menutup pintu kamarnya.

Dimas menuruni anak tangga dengan langkah santai. Mulutnya bersenandung ria dengan suaranya yang halus namun berat. Dilihatnya sang papa sudah terbalut pakaian rapi tengah menatapnya balik, seraya duduk di kursi meja makan.

Dimas menarik sandaran kursi di sisi kanan papanya. Kemudian, berdoa sejenak, dan mulai menyantap sarapan yang sudah tersaji di hadapannya. Nasi goreng, sarapan favoritnya tiap hari sebelum memulai hari. Yang pasti buatan papanya. :v

Merasa diperhatikan, Dimas melirik papanya yang hanya diam saja. Tak melakukan apa pun selain memandangi putra semata wayangnya.

"Papa gak sarapan?"

"Udah."

"Kalo udah, kenapa ngeliatin Dimas kayak gitu?" Tanya Dimas heran di sela - sela mengunyah nasi gorengnya.

"Emang seorang ayah dilarang merhatiin anaknya sendiri?" Benni jadi sewot sendiri dengan pertanyaan anaknya.

"Ya, maksudnya bukan gitu! Aku agak risi aja diliatin intens kayak tadi." Jawab Dimas cepat. Lalu, ia meraih air di samping piring nasi gorengnya, lalu ditenggaknya hingga tersisa setengah. Ah, lega. Rasanya, makan makanan enak ketika lapar memang memiliki kenikmatan tersendiri. Akan tetapi, bila kita tak mengunyahnya dengan lumat hingga bentuknya mengecil, maka akan menyumbat rongga dada, sehingga diperlukan air untuk melancarkan pencernaan, dan tersendat di dada. Ada yang pernah begini?

"Hmmmh. Ya sudah. Papa berangkat dulu, ada meeting penting." Benni berdiri, hendak beranjak dari duduknya. FYI, papanya si Dimas ini, merupakan seorang general manager di sebuah perusahaan ternama. Itulah sebabnya, jadwal kerja sang papa terbilang padat, dan baru bisa berada di rumah sekitar sehabis Isya.

Dimas pun melepas genggaman sendoknya, beralih menyalimi Benni. Kemudian, Benni mengucap salam, sambil mengusap kepala anaknya. Baru berjalan beberapa langkah, Dimas menginterupsi gerakan sang papa.

"Minta uang, pa."

Benni menghela napas. "Itu, di bawah piringmu."

Spontan, Dimas mengakat piring sajiannya, dan mendapati sebuah lembaran rupiah berwarna merah sedikit muda cerah. Menoleh lagi ke papanya, Dimas menyengir.

Benni menggelengkan kepalanya, lalu beranjak pergi dari rumah.

Setelah selesai dengan sarapan, Dimas menaruh piring dan gelas sehabis sarapannya di wastafel dapur. Ia mengambil botol Tupperware hijau miliknya, lalu mengisi bagian dalamnya.

"Sip, beres." Gumam Dimas.

Dimas baru saja akan menyampirkan lagi tasnya yang sempat dilepasnya sejenak, ketika sebuah suara bel rumahnya berbunyi.

Dimas mengernyit, namun tak lama ia kembali ke wajah biasanya. Bedanya, yang kali ini datar. Sebab, ia sudah tahu dengan siapa yang berkunjung ke rumahnya sepagi ini. Siapa lagi jika bukan Jaco?

HOLLANDAYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang