BERBELAS-BELAS TAHUN dan Chairil telah lupa bagaimana harum tanah ibu.
Terbukti saat ia menjejakkan kaki di tanah Palembang, lagaknya seperti orang linglung. Kalau bukan karena genggaman erat ibunda, kalau bukan karena beberapa koper penumpang yang turut kikuk hingga menyenggol kakinya dengan ceroboh, Chairil telah larut dalam kepalanya, menghabiskan waktu untuk berdiri tegak, menatap kosong dan berpikir ada berapa banyak hal yang telah dilewatinya. Ingatan tentang tanah Ibu di kepalanya seburam kaca rumah tua—berada di luar negeri pun bukan jaminan ia tetap mengikuti perkembangan negeri asal. Apa yang Chairil ketahui tentang Indonesia berbatas pada obrolan pagi hari ayah-bunda seperti, pemilu presiden, demonstrasi berjilid-jilid menuntut penista agama dihukum (ingat ibunya dulu berkata dengan sinis, "Kenapa mereka enggak seniat itu dengan tahun 1965? Kalau bukan karena kita dan para korban selalu ingat, orang pasti lupa."), dan yang terbaru sebelum mereka berangkat ke bandara, mengenai rasisme Papua. Dipikirnya kala itu, sebatas obrolan di ruang makan tidak akan cukup bagi Chairil untuk mendeskripsikan tanah Ibu tersayang, maka ia menyetujui permintaan ibunda untuk pindah ke Indonesia sementara agar ia dapat mengenal, agar ia dapat belajar untuk sayang.
Kata orang, tak kenal maka tak sayang.
Rasa sayang Chairil berkurang karena ia terlalu lama tak mengenal.
Ia berhenti seperti orang linglung tatkala ibunya menarik tangannya—kali ini agak keras, kali ini langkahnya agak tergesa. Mata Chairil mengerjap-ngerjap kebingungan tatkala menyadari sesuatu. Di sana—di dekat pilar-pilar tinggi dan orang-orang berlalu lalang mendorong koper dan troli, ada seorang pemuda dengan kaos hitam yang mengangkat tangan. Masih bingung, dan seakan dapat membaca kebingungan sang putra semata wayang, langkah kaki ibunya terhenti dan ditatapnya anaknya lembut.
"Itu Yusuf. Ingat kan?"
Chairil mengangguk. Tentu saja ia selalu ingat.
Tanpa membuang waktu, Chairil melepaskan genggam tangan ibunda dan berlari mendekap Yusuf. Kata, "Niichan," terlontar halus dari kedua belah bibir bersamaan dengan wajah Chairil yang dibenamkan di pundak sang kakak sepupu. Didengarnya Yusuf tertawa kecil (tawanya masih sama—tawa ringan dengan suara lembut lucu, tawa yang terdengar seperti rumah), dirasakannya elus-elus lembut di pundak dan punggung. Pelukan itu dilepas dan senyum keduanya terpeta lebar. Chairi lega. Ada yang masih ia kenal di tanah Ibu—sang kakak sepupu.
"Lama enggak ketemu, udah gede aja kamu."
Chairil tertawa tanpa suara, "Niichan juga udah gede. Jadi kaget."
Tangan Yusuf terulur, mengacak-acak helai-helai kecoklatan di puncak kepala Chairil penuh sayang seraya terkikik. Lama tak mendengar suara dan logat Chairil terdengar lebih kental. Terlalu lama di Jepang mungkin membuat lidahnya terlupa. Tidak apa. Yusuf pikir, Chairil hanya butuh penyesuaian. Dipastikannya bahwa dirinya akan terus ada di sana, menemani Chairil belajar tanpa lelah.
KAMU SEDANG MEMBACA
stand out, fit in (#2)
Fanfiction[DISCONTINUED] Canggung secara sosial membuat Chairil tidak punya teman. Hingga suatu hari Mahesa datang, mengubah hidup Chairil menjadi luar biasa (melelahkan? memusingkan? membahagiakan? hm, coba tebak?). { cha junho & lee eunsang, platonik relati...