"NIICHAN, KALAU AKU MASUK PADUS—GIMANA?"
Chairil bertanya pada suatu malam, tepat saat piring-piring bersih telah disusun di atas rak piring dan meja makan telah rapi kembali. Matanya mengarah pada Yusuf yang menyusun sisa-sisa lauk pauk ke dalam kulkas. Makan malam hari ini hanya berdua (mengingat Gerhana berkata ia diajak makan malam oleh keluarga besar—Chairil tidak enak hati, Gerhana sampai meminta maaf berulang kali begitu hanya karena tidak bisa makan malam bersama) dan tidak ada percakapan yang terlontar hingga tadi. Lama ia berpikir, mempertimbangkan perkataan Corina waktu itu untuk bergabung dengan paduan suara. Hingga sekarang, Chairil belum kunjung menemukan jawabannya.
Ia butuh saran. Ia butuh opini kedua. Dan ia pikir, Yusuf sebagai satu-satunya keluarga yang satu rumah dengannya saat ini dan mengetahui apapun mengenai sekolah mereka beserta ekstrakulikuler di dalamnya adalah narasumber yang tepat.
Tangan Yusuf perlahan menutup pintu kulkas sebelum berdiri perlahan. Mata mereka bertemu, Chairil dapat membaca mata Yusuf dengan kebingungan dan antusiasme terapung-apung di atasnya. Mungkin karena pertanyaan Chairil begitu mendadak—dan begitu tak terduga juga, ia pikir?
"Beneran mau?"
Kepalanya menunduk. Ditatap seintens itu membuatnya ciut. "Masih bingung. Makanya Chairil nanya ke Niichan."
"Kalau itu yang Chairil mau, Niichan dukung sih tapi—" Yusuf berkata dengan pandangan teduh, "—jangan cuma masuk terus enggak ngapa-ngapain."
"Masalahnya aku—enggak tahu mau ngapain."
Dikatakan Chairil dengan suara serupa dengan gumaman. Ia sendiri ragu. Ragu akan apa yang ia sukai. Ragu akan jalan yang ia pilih. Ragu akan kemampuannya nanti selama mengarungi—Chairil tak ingin berakhir menjadi beban karena ketidakmampuannya sendiri. Chairil bukan jenius dalam konteks apapun. Kemampuan akademisnya mediokor, kemampuan menyanyinya pun mediokor menjurus tak berbakat jika disandingkan dengan mereka yang lebih bekerja keras, lebih ambisius, lebih memiliki keinginan. Pun ia tidak tahu akan menjadi apa di masa depan nanti. Jika ditanya akan cita-citanya, Chairil tidak akan menjawab apapun karena kebingungan. Masuk IPA pun hanya karena ia tidak mampu menghapal banyak teks sebagaimana orang IPS. Orang tuanya selalu berkata bahwa jika ia menjalani sekolah, jika ia menjalani hidup sebagaimana remaja biasanya, kelak Chairil akan mengetahui apa yang ia inginkan dan apa yang dapat ia lakukan.
Tetapi bagaimana jika di tingkat akhir nanti, ia tidak mengetahuinya? Bagaimana jika saat terlanjur memasuki suatu jurusan di suatu universitas nanti, ia tetap tidak mengetahuinya? Bagaimana jika saat ia mengetahuinya, semua sudah terlambat dan tidak ada jalan pulang?
Chairil selalu berhati-hati sebelum memutuskan untuk melangkah karena ia tidak memiliki keberanian, selalu dipilihnya opsi teraman bagi dirinya dan semua orang, tetapi bagaimana jika ia salah langkah?
"Enggak apa-apa. Niichan pun dulu sebelum masuk eskul tari juga gitu."
Mendengar perkataan Yusuf yang mendadak itu membuat Chairil spontan mengangkat kepala. Mengerjap. Menatap sang kakak dengan tatapan tak percaya.
KAMU SEDANG MEMBACA
stand out, fit in (#2)
Fanfic[DISCONTINUED] Canggung secara sosial membuat Chairil tidak punya teman. Hingga suatu hari Mahesa datang, mengubah hidup Chairil menjadi luar biasa (melelahkan? memusingkan? membahagiakan? hm, coba tebak?). { cha junho & lee eunsang, platonik relati...