"AYO, CACA!"
Adalah Mahesa yang langsung menyambutnya di pagi hari dengan senyum lebar, sebelum menarik tangannya keluar kelas. Masih belum banyak orang yang datang ke kelas-kelas di lantai dua kecuali mereka yang kebagian piket kelas dan mereka yang terlalu rajin (kecuali Chairil karena alasan dirinya sudah datang sepagi ini ialah karena Yusuf sedang piket dan ajakan Mahesa semalam). Mahesa menawarkan diri untuk memperkenalkan Chairil pada teman-temannya dan Chairil (yang tidak bisa dan tidak tahu caranya menolak) mengiyakan.
"Eca—harus sekarang, ya?"
"Iya! Mumpung belum masuk!" Mahesa menjawab dengan senyuman lebar. Bahaya, pikir Chairil, Mahesa terlalu bersemangat, pemuda itu tidak akan mendengarnya, "Temen-temen Eca baik semua, kok! Mereka juga pasti baik ke Caca!"
Untuk ukuran orang yang terlalu baik seperti Mahesa, ia tidak pernah membayangkan jika Mahesa berteman dengan orang jahat.
Ada begitu banyak orang yang diperkenalkan padanya. Mahesa benar-benar menarik tangannya, menyeretnya masuk ke dalam tiap kelas dimulai dari kelas XI IPA 3 (katanya, kelas XI IPS untuk esok hari dan tiba-tiba pundak Chairil terasa begitu berat). Tidak hanya itu saja, Mahesa akan memperkenalkannya di depan kelas dengan suara lantang, kemudian mendorong-dorong Chairil berkeliling kelas, memperkenalkan diri dengan penghuni kelas lain. Wajah Chairil merah padam, menahan malu yang teramat, kedua telapak tangannya begitu dingin karena beberapa orang menatap mereka berdua dengan tatapan tajam. Bagaimana ini? Apa yang mereka lakukan salah? Apakah mereka akan berlaku jahat pada dirinya dan Mahesa? Ia tidak bisa berhenti cemas, membuat dingin di telapak tangan semakin menjadi-jadi.
Dari sekian banyak orang yang diperkenalkan kepadanya, ada beberapa yang langsung ia ingat. Seperti Delvin dan Chandra dari eskul tari, ia ingat karena kedua pemuda itu langsung mengenalinya sebagai adik sepupu Yusuf yang berasal dari Jepang. Juga Praditya dari kelas XI IPA 2 (ia ingat karena hanya Didit yang berani berkata, "Hei, Esa! Kalau dia enggak mau, jangan dipaksa!" Berani sekali, padahal tubuhnya kecil dan wajahnya lucu begitu) dan Harsa dari kelas yang sama (kalau yang ini, hanya dia yang berkata sambil tersenyum ramah, "Hidup di negeri baru pasti berat, ya? Kalau ada apa-apa, aku selalu ada di UKS kok, Chairil boleh ke sana kapanpun."). Juga ada Mahawira dari kelas XI IPA 1 (diingat karena embel-embel juara umum angkatan tahun ajaran lalu dan juga karena dari semua orang yang berkenalan dengannya, hanya Mahawira yang berbicara seperlunya dengan bahasa baku dan gesturnya begitu kaku, seperti robot).
Dan juga orang terakhir yang diperkenalkan Mahesa kepadanya.
"Nah, ini yang terakhir! Namanya Mahardika tapi panggil aja Dika!"
Mahardika memperkenalkan dirinya dengan senyum lebar dan mata berkilat-kilat. Jadi ini pemuda yang disukai kakaknya? Deskripsi mengenai Dika tidaklah jauh berbeda dengan apa yang digambarkan oleh Gerhana waktu itu: tinggi, kurus, matanya berkilat-kilat, wajahnya cerah. Tubuhnya lebih tinggi dibandingkan dengan Chairil dan Mahesa. Lalu entah mengapa, kilat-kilat mata itu mengingatkan Chairil pada mata Mahesa, mata yang berbinar-binar dalam melihat dunia, mata yang terlalu riang (dan terlalu baik). Dari pandangan saja, Chairil dapat menebak bahwa Dika dan Mahesa adalah tipe orang yang sama.
KAMU SEDANG MEMBACA
stand out, fit in (#2)
Фанфик[DISCONTINUED] Canggung secara sosial membuat Chairil tidak punya teman. Hingga suatu hari Mahesa datang, mengubah hidup Chairil menjadi luar biasa (melelahkan? memusingkan? membahagiakan? hm, coba tebak?). { cha junho & lee eunsang, platonik relati...