6. Dilema

23 4 0
                                    

"Mas mau tutup blog."
"HAAA?!"
"Sa ae keles." mas Seno mengorek2 kupingnya.

Untung enggak jantungan aku mendengarnya. Cuma sedikit agak syok dan kaget.

Dari ekspresi wajahnya, mas Seno tampak sedang mengalami masalah yang cukup rumit. Yang tadinya memandang langit2 kamar, sekarang dipejamkannya matanya.

"Mas?"
"Hm?"
"Mas yakin mau nutup blog?" tanyaku. "Blog yang selama ini mas perjuangkan, yang mempertemukan kita, yang-"
"Antara iya dan enggak." mas Seno mengubah arah tidurnya menghadapku. "Mas kecewa sebenarnya."
"Kecewa kenapa?"

Mas Seno cerita, ia kecewa dengan selera membaca rakyat Indonesia. Apalagi menilai sesuatu dari judul, sampul dan luarnya saja.

Khususnya anak muda yang lebih suka cinta2an. Padahal uang jajan masih minta orangtua. Yang laki2 juga pipis belum lurus.

Kalau orang dewasa, terlalu sering dan suka membahas politik.

Blognya akhir2 ini sepi. Mau bahas politik, ia ragu. Karena kalau sudah berbeda pendapat, kebanyakan orang pasti akan bermusuhan. Tali persaudaraan, persahabatan dan antar sesama jadi putus.

Kebanyakan.
Dan ia sudah mengalaminya.

Peminat blognya juga cuma mereka yang mencari barang2 yang dipromosikannya. Yang diendorse.

Sama kayak dunia pertelevisian Indonesia sekarang yang isinya sinetron azab, rebut harta warisan dan cinta2an.

Mas Seno sih berprinsip, biarlah mereka enggak peduli, yang penting ia sudah berkarya dengan segala usaha, perjuangan dan kerja keras.

Tapi sejak dua minggu yang lalu, moodnya mendadak turun karena satu pun enggak ada yang melihat karyanya.

Ia bersembunyi dibalik kesedihannya dengan senyum dan terus menulis, menulis dan menulis.

Terkadang diam bukanlah emas. Diam bisa berarti mutiara, yang harus menunggu seekor kerang menangis, agar bisa menghasilkan mutiara.

Asalkan mutiaranya enggak dicuri tuan Krab.

"Kemajuan teknologi mengerikan ya."
"Iya. Hehehe... "

Aku dan mas Seno tertawa2.
"Sini peluk."

Tidur juga deh akhirnya.

*

Selesai sarapan pagi, aku dan mas Seno mau pergi cari oleh2. Sengaja pergi pagi2, biar enggak kena macet dan oomnya datang, terus ayah dan ibunya mengasih izin meminjamkan mobil ke oomnya.

Dengan alasan, ka-si-han.

Kasihan sih kasihan, tapi kalau ngelunjak dan enggak tau terimakasih, gimana?

Enggak dikasih, dibilang pelit. Dikasih, ngelunjak. Ampe nyaris kering bensin dibuatnya.

"Eh, Dio. Kok di rumah? Warung siapa yang jaga?" tanya mas Seno. "Puput?"
"Hadir."
"Kok di rumah kalian?"
"Ayah sama ibu di warung, mas." kata Dio.
"Mas Seno sama kak Mita mau kemana?"
"Beli oleh2 buat keluarga." jawabku. "Oh iya, kalian kalau mau makan, kakak dah masak sup. Kalau udah dingin panasin aja."
"Sip." Puput dan Dio kompak.

Mas Seno enggak nemu kunci mobil dimana. Ia masuk ke kamar, dan mencarinya. Aku malah disuruh menunggu di depan ngitungin pasir.

"Kok enggak ada ya kunci mobil?" tanya mas Seno. "Tadi malam mas taruh di atas kulkas."
"Bukannya mas taruh disitu terus?"
"Iya. Disitu terus. Apa dipindahin kali ya sama-"
"Oh iya, mas, mobil tadi dipinjem om Yayat."
"Ha?!"

Dio memberitau om Yayat datang pagi2 sekali buat pinjem mobil. Katanya mau pindahin barang.

Dia minjam sama ayah dan ibu. Ayah membolehin, tapi ibu enggak. Cuma karena enggak mau ribut, sebab oomnya mas Seno emang rada2 gimana gitu, dipinjemin aja akhirnya.

"Balik kapan katanya?"
"Sore, jam 5."
"Ah elah. Kuncoro."

Dio dan Puput saling melihat.
"Emang kenapa, mas? Kok mas Seno enggak-"
"Haaaaahh.. "

Mas Seno duduk di sofa, aku duduk ikut disebelahnya.
"Enggak diisiin bensin ya?" mas Seno ngangguk. "Kotor?"
"Yaah, kalian taulah gimana dia." mas Seno tertawa2.
"Iya, iya, iya." Dio ikut tertawa. "Namanya juga om Yayat."
"Kenapa sih emang om Yayat?" tanya Puput.

*

Pas ayah dan ibu sampai rumah, mereka langsung duduk menghampiri kami yang lagi makan sore. Diajak pake Go-Car mas Seno enggak mau.

Bukan karena mahal, tapi emang malas aja. Pengen nyetir dia.

"Kenapa sih, Sen?"
Mas Seno diam saja ditanya ibunya.
"Seno?"
"Huuffh... " mas Seno berdiri, lalu pergi meninggalkan kami.
"Seno kenapa?" tanya ayahnya. "Kok kayak-"
"Mas tuh lah. Dah dibilangin jangan, jangan, masih juga dipinjemin." ibu marah. "Kayak enggak bisa ngomong baik2 tadi."
"Ya saudara. Minjem, ya dipinjemin. Adikmu juga, kan."
"Yah, Bu, Mita ke dalam ya."
Ayah dan ibu ngangguk.

Di dalam kamar, mas Seno tiduran. Ia melihatku, lalu melempar senyum padaku.

"Capek ya, mas?"
"Banget." jawabnya. "Ketika kita udah berusaha, berjuang dan berkerjakeras, apalagi kita udah... haahh.. enggak tau lagi mas gimana caranya ngadepin mereka."

Aku duduk di pinggir kasur, sambil memandang dan melempar senyum pada mas Seno.

"Naik Go-Car aja gimana?"
Ia menggeleng. "Males."
"Ayoo.. "
"Enggak." katanya. "Udah gak mood. Dilema."

Aku tau satu cara agar mas Seno kembali lagi moodnya.

"Mas!" ia enggak nyahut. "Mas, liat sini."
"Ken-"
Tuh, kan.
Ia tersenyum, lalu bangkit berdiri dan menghampiriku. Ia paling suka kaau diajak baca buku, daripada nonton film. 

Kecuali kalau film Raditya Dika dan drakor yang ada personil CNBLUE nya.

Kapan Nikah? ( Season 2. Edisi Lebaran.) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang