9. Antara Gengsi dan Tradisi

25 3 0
                                    

"Fix, lo kalau nikah ntar, kudu lebih mewah dan meriah dari ini, Mit."
"Ha?! Nikah?"
"Iya. Nikah." jawab Yesi. "Masa lo kalah sama Gina. Gina aja mewah gini. Gilak."
"Males ah. Gue mau biasa aja."
"Yaaah, gimana sih lo.  Enggak asih deh."

Pernikahan Gina, teman SD ku dulu meriah banget. Maklum, suaminya pengusaha properti. Ia dulu sering diejek karena ia culun, kutubuku dan kuper. Ia pintar, pandai mengambil hati guru, tapi berasal dari keluarga yang bisa dikatakan enggak mampu.

Kaget aja gitu pas ia mengundang kami lewat grup WA. Padahal selama ini ia cuma silent reader dan foto profilnya saja foto salahsatu personil Super Junior, Donghae.

Biar kutubuku, tapi seleranya tetap Korea. Untung bukan Korea Utara.

"Itu juga kalau ada yang mau sama gue." kataku. "Emang ada cowok yang mau sama gue?"
"Ekhmmm.. "
"Eh, lo, Ndre."
Andre melempar senyum pada kami.

Andre dan Yesi teman SD ku dulu, yang dekat, tapi enggak banget. Dekat2 gitu aja.

"Lo sendiri?"
"Sama temen." jawab Andre. "Lagi makan dia. Biasa lah. Namanya juga anak kos."
"Lo ngekos sekarang?" tanya Yesi. "Widiihh.. napa lo? Diusir lo dari rumah?"
Kami tertawa2. Abis Andre kena kata2in sama Yesi. Yesi juga datang berdua. Cuma temannya baru aja pulang, katanya lupa kasih makan anak kucingnya.

"Kalian kapan nyusul si Gina?" tanya Andre. "Lo kapan, Mit?"
"Sama siapa?"
"Masa masih nanya sama siapa."
Yesi menyenggolku.

Andre sih oke. Asik orangnya, ganteng, anak orang kaya, tunggangannya sport, orangnya rajin, dll. Pokoknya dia idamanlah. Tapi hatiku sudah tertuju ke orang lain.

Selagi masih bisa ditunggu, kalau perlu dikejar, kenapa enggak?
Seperti yang dikatakan Afgan di dalam lirik lagunya "Jodoh pasti bertemu.".

Aku sih optimis.

"Mewah banget yak nikahannya si Gina." kata Andre. "Kira2 abis berapa duit ini yak?"
"Auk." jawab Yesi. "Emang lo mau nikah sama siapa, Ndre?" Yesi melirikku.
"Siapa aja yg mau. Masih 20 taun juga, kan. Jalan gue masih panjang." kami ngangguk2. "Mewah kek gini, boleh juga. Tapi nabung dulu. Ye enggak?"
"Tadi sih Gina cerita ke gue, katanya, dia sama suaminya enggak mau kayak gini sebenarnya." kedua temanku melihatku. "Gengsi keluarga. You know lah. Ngerti kan maksud gue?"

Mereka ngangguk2 doang.

Baik Gina dan suaminya, kalau bukan karena pihak keluarga suaminya, paling acaranya di rumah, bukan di gedung. Gina terkenal dengan kesederhanaannya memang sejak dulu.

Tas saja dulu ia pernah cuma plastik. Seragam gantian sama adiknya.

"Eh, gue tinggal bentar ya."
"Mau kemana lo?" tanyaku.
"Tauk nih. Mau kemana sih?"
"Temen gue." jawabnya. "Malu2in aja."
"Malu2in napa?"

Andre pergi meninggalkan kami, melewati banyaknya tamu yang keliaran sana-sini. Padahal tempat duduk dan meja sudah disediain.

*

"Boy! Ngapain lo?!"
"Bungkus makanan." jawabku. "Kenapa emang?"
"Napa dibungkus? Makan disini aja. Malu2in aja lo."
"Ah elah. Santai aja napa. Udah biasa kali gue." kataku. "Kapan lagi coba nyobain makanan hotel berbintang, terus-"
"Malu2in aja lo."

Dari kos, aku sudah mempersiapkan kantong plastik. Sengaja, biar bisa dibungkus. Tadinya mau diem2, tapi karena tamu undangan ramai, udah kayak konser One Direction, BTS, Super Junior dan Ed Sheeran, ya udah, saatnya aku mutusin urat malu.

Kenyang yang penting, urusan malu belakangan.
Udah menjadi tradisi di keluargaku, kalau setiap pesta, makanan dibungkus. Tapi diem2.

"Teman lo pestanya mewah banget. Hampir gue mau naik panggung nyanyi lagu Nike Ardila."
Andre cuma senyum2 ke mbak2 yang jagain makanan.

"Boleh dibungkus kan, mbak?"
"Boleh, mas,  boleh. Bungkus aja."
"Mbaknya aja ngebolehin." kataku. "Napa lo yang sewot?"
"Auk dah ah."

Kalau calon istriku di masa depan tau aku malu2in dan kampungan begini, mungkin ia cuma bisa geleng2.

Aku makan pizza aja masih pake nasi.

Kapan Nikah? ( Season 2. Edisi Lebaran.) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang