14. Ekspetasi

23 3 2
                                    

Selama di perjalanan mas Seno terus menghiburku. Karena aku kecewa, tapi enggak banget. Kecewa biasa aja gitu.

Ternyata benar apa yang dikatakan mas Seno dan banyak orang, rencana kita enggak seindah rencana yang sudah Tuhan berikan untuk hamba2nya. Istilahnya, takdir.

Di rumah, aku langsung terduduk lesu. Ayah dan ibu lagi nonton sinetron azab. Mas Seno ke belakang mengambilkanku air untuk diminum.

"Jangan kumur2."
"Iya, mas." kataku. "Udah gosok gigi kan tadi."

Kusandarkan punggungku ke sofa.

"Sayang banget ya, mas." kataku. "Padahal nenek, ibu kamu, apalagi aku, udah ngarep banget perempuan. Tapi malah laki2."
"Yang penting dikasih. Daripada enggak. Ya kan?"
"Iya sih." kulempar senyum. "Bisa nemanin ayahnya pergi sholat jum'at."
"Eh, kali aja dokternya salah. Tadi dironsen laki2, kali aja yang lahir nanti perempuan. Hayo. Gimana tuh?"

Belum pernah kejadian sih. Aku juga belum pernah dengar yang kayak gitu.

Dengan mata kepala kami sendiri terlihat jenis kelamin calon buah hati kami. Ada yang nonjol2. Terus kembar. Siap2in deh perlengkapan buat bayi laki2.

Padahal aku dan nenek udah nyari2in baju dan celana2ku ketika masih kecil dulu di gudang. Masih bagus dan bisa dipakai lagi. Dicuci lagi juga wangi dan bersih lagi.

"Mau nelfon nenek?" aku menggeleng.  "Kenapa? Takut nenek kecewa juga?"
"Belum isi pulsa."

*

"Yaaahh..."

Tuh kan, nenek kecewa. Kakek kalem dan santai2 saja.

"Suami kamu mana?" tanya kakek. "Pergi?"
"Lagi belanja, kek. Buat besok pagi."
"Buat besok pagi?" aku ngangguk. "Emang kalian mau kemana?"
"Mas Seno aja, nek. Mita enggak." jawabku. "Besok mas Seno mau ngantar ayah sama ibunya balik. Sekalian ada urusan."
"Ooh.."

Orangtuanya mas Seno harus balik ke Pekanbaru, dan ia harus mengantar orangtuanya. Sekalian ia ada berkas yang harus diambil di Jambi dan Palembang. Tadinya mau dikirim pake paket, tapi enggak apalah. Sekali jalan.

"Jadi kamu di rumah sendiri dong."
"Nanti ada Karina sama Cecil kok, nek. Cecil lagi libur kan?"
"Iya sih." jawab kakek. "Harus ada laki2nya dong. Masa perempuan semua."
"Jadi kakek ngeremehin perempuan nih?" tanya nenek.
"Bukan gitu, nek. Bukan gitu maksud-"
"Perempuan enggak semuanya lemah ya. Biar perempuan makhluk yang halus, perempuan itu tangguh loh. Pengorbanannya besar. Mengandung, melahirkan, menyusui dan membesarkan. Laki2, disunat doang. Sekali seumur hidup cuma."

Abis kakek kena ceramah nenek. Kakek diem2 bae. Kalem sambil menyeruput kopi pahit enggak pakai gula kesukaannya.

Aku juga agak khawatir. Soalnya kata dokter lagi, kemungkinan aku akan melahirkan secara enggak normal. Alias, cesar. Karena pinggangku kecil. Badanku apalagi.

Dioperasi besar kemungkinan.

*

"Mas?!"
"Hm?"
"Belum tidur?"
"Kelihatannya?"

Malamnya aku enggak bisa tidur. Ngantuk, tapi enggak bisa merem. Begitu sudah merem, terbuka lagi.

"Kamu enggak ngantuk?"
"Ngantuk, tapi enggak bisa merem."
"Mas malah kebalik. Bisa merem, tapi enggak ngantuk."
"Kok bisa?"
"Karena Spongebob warnanya kuning mungkin."
"Apaan sih?!"
Aku tertawa kecil.

"Kalau dua2nya laki2, berarti di rumah aku sendirian dong?"
Mas Seno membuka matanya.
"Oiya ya, kok mas bisa lupa."
"Lupa apa, mas?" tanyaku. "Kompor masih nyala?" ia menggeleng. "Belum gosok gigi, cuci kaki, cuci muka?"

Mas Seno bangkit duduk. Aku ngikut.

"Kita adopsi anak aja gimana?" tanya mas Seno. "Kamu tau kan dulu mas kalau udah nikah, terus adopsi anak. Tapi perempuan."
"Cecil, gimana?"
"Cecil mah enggak masuk itungan."
"Tapi Cecil kan perempuan."
"Cecil mah anak asuh, sayang. Mas udah ceritakan ke kamu. Anak asuh yang harus dinasehati, dididik dan diberitau mana yang benar dan mana yang salah."

Padahal Cecil sudah kayak anak kami sendiri di rumah ini. Nanti kalau ayah dan ibu udah balik ke Pekanbaru, dia balik lagi kesini.

Dia udah banyak berubah, dan mau ngikut apa yang kami katakan.
Dia juga udah enggak takut timbangan. Malah mas Seno sekarang yang takut sama timbangan.

"Gimana?" aku ngangguk. "Oke. Sekarang tidur. Hari sudah malam."

Kujatuhkan kepalaku ke bantal. Kembali berbaring.

"Mas?!"
"Hm?"
"Udah gitu aja?"
"Iya." jawabnya. "Emang kenapa?"
"Pantesan sepi."

Kapan Nikah? ( Season 2. Edisi Lebaran.) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang