10. Selisih Jalan

23 4 0
                                    

"Rumah lo gimana, Mit? Udah laku?"
"Belum. Baru vila yang laku." jawabku. "Emang lo mau beli?"
"Enggak, nanya doang gue."
"Kirain."

Rumah peninggalan papa dan mama belum laku, tapi vila udah. Aku enggak tau mau diapain vila itu. Hampir bertahun2 enggak dihuni dan dijaga sama pak Idris, paling dipake sama keluarga adik2nya papa kalau lagi liburan ke Bandung.

Aku udah enggak pernah ke Bandung. Malas.
Enggak tau mau pergi sama siapa. Udah enggak ada orang yang disayang, selain papa dan mama. Kakek dan nenek enggak bisa pergi jauh2. Udah mulai sakit2an mereka.

"Jadi masalah penjualan itu, kan dibagi2 lo cerita kemarin2."
"Iya. Dibagi2."
"Aman?" tanya Karina. "Enggak bermasalah?"
Aku ketawa2. Karina kebingungan.

Aku inget banget pasal dan masalah rumah dan vila. Padahal kakek udah membagi rata warisan2nya ke anak2nya.

Papa kebagian tanah yang dipuncak milik kakek dan tanah kakek yang ada di Bandung.
Adik2nya papa juga dapat,  dan impas. Kalau kata papa dulu, sama rasa sama rata. Jadi enggak ada yang kurang dan lebih.

Cuma papa meminta bantuan adik2nya, daripada memanggil tukang buat membangun rumah dan vila. Jadi bisa membantu ekonomi mereka juga. Buat nambah2 pemasukan mereka.
Intinya, papa meminta tolong bantuan mereka dan papa membayar mereka.

Sepeninggal papa dan aku memutuskan untuk menjual rumah dan vila, mereka menuntut pembagian hasil penjualan.

Aku sih oke2 aja. Tapi kakek dan nenek enggak memberi izin.
Karena rumah dan vila sudah menjadi hak dan milikku, anak tunggal dari papa.

"Aneh deh."
"Gue kasih juga nanti kok."
"Kalau gue sih enggak." kata Karina. "Mending uangnya buat beli somay."
"Satu bulan  makan somay terus."
"Daripada gue beliin micin."

Aku dan Karina ketawa2. Walaupun suasana hatiku kesepian, aku masih punya teman, sahabat dan kakek juga nenek, yang sayang dan peduli denganku.

*

"Boy, lo punya blog kan?"
"Punya." jawabku. "Napa emang?"
"Gini, boy. Teman gue jual rumah. Nah, lo promosiin deh rumahnya. Kali aja ada yang tertarik, terus nawar."
"Promosi kok di blog? Aneh lo." kataku. "Dimana2 promosi itu di IG, fesbuk, koran. Mana ada di blog."
"Ada loh."
"Iya, ada emang. Tapi blog gue sepi. View nya menurun. Nih jari kita aja ada 10. Enggak sampai segini."
"Oohh... "

Aku sih bukannya pesimis, tapi pernah beberapa kali aku promosiin barang milikku sendiri di blog. Berbulan2 lamanya enggak ada yang nawar. Cabe di pasar aja ditawar, ikan teri diasinin.

"Ya udah deh, gue promosiin di tempat lain aja." aku ngangguk. "Eh, tapi lo kawanin gue foto rumahnya ya. Deket kok dari sini."
"Kawinin?"
"Kawanin. Ka-wa-nin."
"Oohh... Ok." kataku. "Sekarang, besok atau tahun depan?"
"Ampe ayam jantan bertelor."

Kami pergi ke rumah temannya Andre, yang mau dijual itu. Ketika akan sampai, Andre meperlambat jalan motornya ketika mobil berwarna merah lewat.
Lalu diklaksonnya.

"Napa, boy?" tanyaku.
"Temen gue yang punya rumah."
"Kok lo tau? Kelihatan emang?"
"Plat mobilnya."
"Oohh.. "

Kapan Nikah? ( Season 2. Edisi Lebaran.) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang