Pagi minggu memang saat yang tepat untuk merebahkan segala oenat yang ada pada gravitasi kasur yang membuat enggan bangun. Namun kali ini aku harus bangun lebih pagi untuk mendapatkan buku diskon--- maklum, pelajar yang sukanya nyari harga yang lebih murah.
Setelah berusaha mengumpulkan tenaga untuk berdiri dari zona ternyaman sejagat kamar, aku bergegas mandi dan merapikan diri.
Cukup dengan memberi aksen jepit kecil berbentuk bunga lili diselipkan di sela poni, dan yah. "Sempurna." Gumamku tersenyum.
"Bundaa, Jingga pamit ya!"
"Sarapan dulu sayang."
"Aku akan beli bubur kacang hijau dekat toko buku nanti."
"Hati-hati dijalan."
"Baik komandan, laksanakan." Ucapku sembari salam kepada Bunda.***
Sesampainya di toko buku yang sedang mengadakan bazar bulanan itu, dengan sigap aku memilih buku yang sudah menjadi incaranku minggu lalu. Dan sesampainya di kasir, aku langsung membayar semua buku yang aku pilih. Setelah membayar dan terasa cukup penat dan gerah karena cuaca hari ini lumayan panas, aku melipir ke sebuah kedai es krim di seberang toko buku.
"Mas, original satu ya." Ucapku yang dimaksud adalah rasa vanilla, rasa yang standar dari rasa es krim.
"Baik kak." Jawab si masnya yang langsung disuguhi senyum manis.Aku memilih tempat yang dekat dengan jendela dan kebetulan meja itu kosong. Ketika baru saja akan duduk, tiba-tiba laki-laki dihadapanku ikut duduk disana yang membuat kita duduk berhadapan.
"Eh kamu, Ga." Serunya sambil menepuk pundakku.
Sontak aku kaget dan langsung melihat ke arahnya. "Raka? Ngapain kamu disini?
"Harus ya ditanya? Masa iya ke kedai es krim beli kopi?" Bukannya menjawab dia malah memberi pertanyaan balik.
"Iya juga sih, maksudku itu..."
"Udahlah Ga, gitu aja gausah dipikirin. Mumpung kita lagi disini bareng, kenapa enggak makan es krim bareng aja?"
Aku tidak menjawabnya dan hanya menganggukkan kepala perlahan. Dan tanpa sadar Raka sedang menatapku yang entah dengan tatapan apa, susah menjelaskannya. Rasanya malu sekaligus senang, yang entahlah mungkin pipiku sudah memerah kali ini karena sikapnya yang seperti itu. Aku secepat mungkin menutup wajahku dengan kedua tanganku dan langsung mengalihkan ke sembarang arah. Sial, kenapa harus malu dengan ditatap olehnya Jingga? Oke aku kegeeran kali ini.
"Kami kenapa?" Tanya Raka bingung.
Oh astaga, kenapa hal seperti itu harus ditanyakan? Tidak bisa tahu kah ia bahwa yang membuatku seperti ini adalah dirinya sendiri? "Aku baik." Jawabku asal sambil menutup sebagian wajah dengan lengan sebelah kiri.
"Kamu merona, Nona muda." Ujarnya sambil memiringkan kepala untuk melihat lebih jelas wajahku. Aish, benar-benar menjengkelkan.
"Es krimmu cair jika kamu berlama-lama seperti itu, cepat habiskan."
Aku yang baru menyadari sedang memakan es krim dengan cepat menghabiskan es krim tersebut sambil menunduk agar tidak usah melihat wajahnya yang menyebalkan itu.
"Sudah selesai?" Tanyanya kembali.
Aku mengangguk dan masih membungkam tak mengeluarkan suara.
"Apa yang kamu bawa itu?"
"Buku." Jawabku akhirnya.
"Boleh aku lihat?"
"Boleh saja sih, tapi ini jauh berbeda dari buku yang kebanyakan orang lain suka."
"Emang itu jadi masalah?"
"Kalau bacaan kita beda, gimana?"
"Aku nggak pernah nuntut bacaan kamu harus sama kayak aku."
"Terus nanti kita nggak nyambung dong kalau ngobrol?"
"Kamu sukanya romance sementara yang kusuka action, kamu suka bahas psikologi tapi aku suka politik, kamu suka musik The Bitles dan aku suka Amidgala, apa jadi masalah?. Justru karena perbedaan itu, obrolan kita pasti akan lebih luas. Setidaknya, kita nggak akan pernah kehabisan topik pembicaraan."
"Gitu?"
"Aku nggak butuh yang seratus persen sama, aku juga nggak ingin selalu seirama. Karena kalau seperti itu, komunikasi kita bisa berhenti. Sedangkan yang aku tahu, dan sering dibilang orang tua, mengenal itu adalah proses komunikasi yang tak putus. Mendengar dan didengar yang nggak akan pernah ada habisnya.
Aku dibuat bungkam lagi karenanya. Ada ya orang yang kayak dia. Gimana jelasinnya ya? Sebagian dari diriku serasa sesak dipenuhi kalimatnya. Semua yang ia tuturkan selalu saja membuatku terkagum-kagum olehnya. Semesta rasanya aku ingin mengucap rasa syukurku karena ditemukan dengan seseorang yang begitu luar biasanya bisa membuatku jatuh cinta pada pandangan pertama. Tapi jangan beri tahu ia, ini rahasia.
"Lagi-lagi kau melamun... Sayang." Gumam Raka pelan di akhir kalimat.
"Hah? Kamu tadi bilang apa?" Seolah sadar dengan apa yang laki-laki itu katakan, namun jelas jika aku menanyakannya dia akan mengelak.
"Bukan apa-apa, pulang tidak? Sudah malam kita bareng saja naik angkot."
Aku mengikuti arah langkah Raka yang sudah mulai berdiri dan mengekornya dari belakang. Setelah sampai di pinggir jalan dan mendapati angkutan umum yang lewat, aku masuk terlebih dahulu dengan membungkukkan kepala dan duduk paling belakang, di susul Raka yang duduk di sampingku. Entah mungkin karena kelelahan seharian memilah buku, mata yang mulai terasa berat lambat laun mulai menutup dan dengan mata yang sudah lelah untuk membuka lagi aku merasakan pundak yang menahan kepalaku ketika tubuh ini sudah tak bisa menyeimbangkan dari duduknya. Entahlah, aku sudah tak ingin membuka mata karena sungguh sangat malas untuk hanya sekadar melihat apa yang terjadi dan rasanya aku... Malu? Sekujur tubuh ini serasa dialiri lisrtrik yang menjalar ke setiap urat nadi, aku tak mengerti rasanya hal ini baru aku rasakan, apalagi perlakuan setelahnya dia mengecup keningku dan berkata,
"Selamat tidur peri kecilku."
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku, Kamu, dan Apa Yang Kita Akan Rasa
Teen FictionJalan hidup selalu dipenuhi kejutan, entah itu menyenangkan ataupun menyedihkan. Rahasia memang, namun kehilangan adalah hal yang begitu memilukan. Seakan bagian dari hidup kita tercabut, terhempas, dam hilang. Tak ada lagi senyuman. Tak ada lagi ha...