Hujan itu, aku membencinya

93 10 9
                                    

Buku yang kubutuhkan sudah kubeli. Aku keluar dari toko buku tersebut bermaksud mencari seseorang yang tadi mengantarku membeli buku. Akhirnya aku memutuskan menunggu dia di kursi yang di depan nya terdapat air mancur yang berwarna-warni.

Seketika aku melamun, menatapi air yang seakan bergelombang itu. Aku teringat sesuatu, sesuatu yang tak seharusnya aku ingat lagi. Aku masih saja belum bisa melupakannya. Tentang semua kejadian hari itu masih tersimpan kuat dalam memori ku. Semakin aku mencoba melangkah jauh dari ingatan itu, semakin sulit aku melupakannya. Rasa-rasanya selalu ada perasaan menyesal dalam benakku. Ingin aku kembalikan waktu jika itu tidak mustahil.

"Ga ayo pulang, jangan ngelamun terus entar kesambet baru tau rasa." ucap seorang tepat di belakang ku.

Sepersekian detik akupun langsung menoleh kearahnya. Lamunanku buyar ketika dia datang. Dia orang yang aku tunggu tadi. Orang yang selama ini selalu ada untukku, mau itu senang ataupun sedih dia selalu sedia bahunya untuk aku sandarkan kepala. Bintang aksara namanya. Sebut saja dia Bintang.

Senja sudah mulai datang menghiasi sang langit yang membuatnya begitu indah. Aku yang di tumpangi sepeda motor oleh Bintang terus menatap menengadah ke atas sana, seolah terhipnotis dengan warna yang membuatku terkagum.

"Sudah sampai Jingga." kata Bintang menepuk bahuku. Ya namaku Jingga, Jingga Kamila tepatnya. Orang bilang aku seorang yang andal dalam hal berenang. Ya, bisa dikatakan seperti itu, sudah tak ingat waktu jika sudah berada di kolam renang yang airnya menenangkan itu. Sampai akhirnya semuanya berubah.

(★★)

Tepat pada tanggal 13 Oktober tahun lalu di kolam renang Tirta Jaya lomba renang antar provinsi diadakan. Seperti biasa, aku dan Guntur terpilih sebagai perwakilan dari SMP NEGERI SUKAPURA sebagai perenang. Pertandingan diadakan jam sepuluh tepat. Guntur sudah berada ditempat, sementara aku masih terjebak macetnya kota bunga kala itu. Terlebih hujan memang sedang turun. Lama aku menatap jalanan yang masih diselingi kendaraan yang lalu-lalang diiringi klakson bersautan. Akhirnya aku nekat turun dari mobil yang di supiri oleh mang Engkus dan berlari dibawah rintik hujan karena takut akan tertinggal babak pertandingan.

Aku berjalan cepat menuju tempat pertandingan dimulai. Rambutku basah terkena imbas air yang belum usai. Ketika sampai, pertandingan sudah dimulai.

"Ko udah mulai?" tanyaku pada Bintang sembari dengan napas tak beraturan.

"Kamu kemana aja? Guntur udah turun ke kolam". Bintang menjawab malas.

"Tadi hujan bikin macet jalanan."

"Kamu di eliminasi gara-gara gak ada tadi, makanya lain kali bangun lebih pagi."

"Lho, kenapa aku yang disalahkan? Aku kan tidak bermaksud untuk telat. Kalau mau menyalahkan, salahkan hujan. Hujan lah yang membuatku datang terlambat." ujarku tak mau kalah.

Bintang hanya menatapku sinis. Akhirnya aku hanya bisa menonton Guntur di kursi suporter. Ketika pertandingan berlangsung hujan masih tetap saja turun, bahkan lebih deras. Kolam yang atasnya tak beratap itu membuat angin masuk ke dalam ruangan.

Satu menit berlalu, kali ini hujan diiringi petir yang seram, tapi pertandingan masih berlanjut. Ketika aku sedang melihat Guntur dengan cekatannya berenang gaya bebas, sang petir menyambar tubuhnya. Sontak semua orang disana ramai bergemuruh. Beberapa orang medis mencebur ke kolam dan diangkatnya Guntur ke tepian kolam. Diantara suara rintik yang diselingi riuh semua orang aku hanya bisa terpatung di sisi kolam. Dinginnya udara hari itu membuatku menangis sejadi-jadinya ketika dia yang sudah hangus tak berdaya itu dibawa ke mobil yang bertuliskan "ambulance".

Saat itu juga aku benci terhadap hujan. Hujan yang telah mengubah semua hidupku. Hujan yang telah menghilangkan sosok sahabat dalam keseharian ku. Untuk itu, aku menyalahkan seluruhnya pada hujan.

Aku, Kamu, dan Apa Yang Kita Akan RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang