[Empat] Number One

14 6 2
                                    

"Nara!" panggil seseorang dari koridor.

Nara yang tengah menatap kertas di tangannya mendongak, menyadari ada seseorang memanggilnya dari koridor. Nara sedikit tertegun saat melihat seluet tubuh cewek berambut ikal sebahu yang berjalan menghampirinya.

"Ra! Ya ampun. Kok lo masih di sini? Udah liat mading belum?" ujar cewek itu beruntun.

Nara justru termenung tak mendengarkan ocehan cewek itu. Nara masih tidak percaya, ia bisa kembali pada masa seperti ini. Masa-masa manis bersama sahabatnya. Ia benar-benar ingin merubah masa lalu kelamnya.

"Ra!" panggil cewek itu lebih keras, karena sedari tadi Nara diam tak menjawab pertanyaannya.

"Nara!" sekali lagi.

"Woy!" dan terakhir membuat Nara tersentak.

"I-iya? Apa? Itu... Gue belum liat mading, kok. L-lo udah?" ujar Nara terlihat sangat gugup. Tentu saja dia begitu gugup, entah sudah berapa lama semenjak peristiwa 6 tahun yang lalu Nara tak pernah melihat wajah ceria milik cewek ikal bernama Kia itu.

Namanya Shakia Riyanti, dan orang-orang memanggilnya Shakia. Tapi untuk orang terdekat, mereka memanggilnya Kia. Dan Nara termasuk orang yang memanggil cewek ikal itu dengan nama Kia, yang berarti Nara salah satu orang terdekatnya. Tentu saja, keduanya sudah berteman semenjak SMP, rumah mereka juga satu komplek. Karena itu keduanya begitu dekat, dan mereka menyebut hubungan keduanya adalah sahabat.

Sahabat yang tak terpisahkan, sekarang. Tidak tau kalau nanti.

"Nara, lo apa-apaan sih? Kenapa lo gugup gitu? Gue gak nuduh lo nyuri atau makai narkoba kok. Gue kan cuma nanya, dasar cupu." ujar Kia di akhiri tawa renyahnya sendiri.

Nara meringis, ada berbagai rasa yang berkecamuk di dadanya. Rasa rindu, senang dan sedikit kesal karena ingat kalau seorang di hadapannya ini memiliki mulut sepahit empedu dan sepedas cabai cerry—cabai terpedas di dunia. Dan setiap kalimatnya bagai datang dari tanah neraka jahanam.

"Cupu banget ya gue?" Nara bertanya hati-hati.

Kia tergelak sendiri, lantas menjawab. "Masih nanya lagi lo. Mau rambut lo di iket satu, kalo poni masih kayak tirai opera china juga tetap aja keliatan cupu!"

Benarkan? Kalimat jujurnya yang sepahit empedu dan mengatakannya dengan rahang yang begitu ringan. Kalimat yang berasal dari jahanam itu terlontar juga akhirnya.

Nara terkekeh hambar. "Ha...ha...ha... Lucu deh, Ki." ujar Nara dengan nada mencibir.

"Eh, jangan marah dong... Curut ku sayang..." ucap Kia tak mempedulikan bagaimana wajah kesal sahabatnya itu, dia justru tertawa keras.

Nara sering di panggil Curut Kesayangan oleh Kia, mungkin semua bisa menebaknya kenapa Nara di panggil begitu.

"Udah yuk, ah! Ke kelas. Lo tau gak, ada kabar baik!"

"Kabar baik apa?"

Kia merangkul bahu Nara. "Kita sekelas lagi!" pekiknya girang lalu menyeret Nara untuk menuju kelas.

Nara tak mengumpat, ia justru terkikik sendiri. Rasa senang di dadanya menguar.

Gue udah tau. Batinnya.

****

Seorang cowok bertubuh jenjang tengah duduk sambil menyantap sarapan di atas meja makan. Ia tidak begitu lahap menyantap sarapannya. Terlalu terganggu oleh bisingnya omelan seorang Wanita.

"Nilai kamu tuh gak bisa begitu terus. Mama gak mau tau, bimbingan kamu Mama tambah. Dan hari minggu kamu harus fokus sama tugas. Gak ada acara main-main. Ngerti?" ujar Wanita berambut pendek seleher sambil terus mengaduk supnya tanpa menoleh kepada lawan bicaranya.

Number OneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang