[Delapan] Number One

8 4 8
                                    

Setelah puas tertawa Rama berdeham sejenak, ia hendak mengucapkan sesuatu.

"Nih, uang lo," ujarnya menyodorkan lipatan uang berwarna ungu. "Lo beli mie pangsit seharga enam ribu, kembalian yang lo tinggalin sebanyak empat puluh empat ribu, jadi uang yang lo bayarin ke Bi Mila sebanyak lima puluh ribu. Gue bayarin ke Abang cendol sepuluh ribu, dan sisanya ini. Dan lo jangan menganggap tadi hutang, soalnya emang pakai uang lo sendiri," jelas, panjang dan berhamburan. Nara tak menangkap jelas apa yang dijelaskan Rama, sedari tadi Nara sibuk mengamati wajah Rama yang... Adem. Duh, Nara! Air liur lo netes nanti!

"Eh? Anu... Sori, gue tadi salah paham. Duh..." jadi malu lanjutnya dalam hati. "M-makasih." ucap Nara seraya menerima lipatan uang itu lalu memasukannya dalam saku.

"Sama-sama. Jangan lupa, gue gak cabul." ujar Rama lalu menepuk bahu Nara singkat. "Gue duluan," ujarnya lalu melangkah untuk menyebrang, Nara melihat tubuh jangkungnya kembali masuk kedalam wilayah TuBa.

"Duh, goblok sumpah." cecar Nara pada diri sendiri. Ia memutuskan untuk menyebrang dan menunggu angkot lagi. Sesaat sampai di depan gerbang TuBa lagi, motor berwarna merah menyala berhenti di hadapannya. Cowok dengan jaket hitam duduk di atas jok motor, dengan pergerakan perlahan cowok itu membuka kaca helm full face berwarna hijau miliknya.

"Gak bareng Kia, Ra?"

Itu Rama, jadi tadi dia masuk untuk mengambil motornya.

Nara terksiap. "Anu, Kia ada jadwal les piano." ujar Nara seadanya.

"Bareng gue aja," tawar Rama, Nara terlihat linglung. "Udah buruan naik!" ujar Rama tanpa sungkan, ia sedikit menarik pergelangan tangan Nara. Nara yang terlihat bodoh sedari tadi mau-mau saja di antar pulang.

Tunggu... Memang Rama tau rumahnya?

"Lo tau rumah gue?"

Rama terkekeh hambar. "Gue tau lo pelupa. Tapi hari ini kayaknya lo lebih pelupa dari biasanya ya, terutama sama gue. Mirip kayak orang baru kenalan aja." ujar Rama lalu menutup kaca helm full face-nya dan mancap gas laju.

Saat motor sudah berkendara selama satu menit, keheningan antara keduanya terpecah saat Rama angkat suara.

"Lo hari ini sedikit beda, Ra."

Nara yang tengah menyeruput es cendol hampir tersedak kalau saja Nara tidak buru-buru menelan air itu segera. Nara bingung ingin menjawab apa, tapi entah ide dari mana ia menjawab dengan santuy-nya.

"Perubahan."

"Maksudnya?"

"Gue ingin berubah. Bukan jadi Nara yang pelupa, goblok atau tulalit. Gue ingin jadi Nara yang kuat dan gak tulalit, kalau untuk pinter masih rada jauh." ujarnya lalu terkekeh.

"Waw," sepertinya itu yang di ucapkan Rama, karena kalau berbicara saat berkendara motor seperti ini membuat suara lawan bicara jadi ada-hilang-ada. Untung saja keduanya memasang telinga runcing-runcing untuk dapat saling mendengar dan mengerti isi pembicaraan.

"Ra!" saat motor melaju cukup kencang Rama berseru.

"Iya?"

"Perubahan yang lo lakukan itu keren. Tapi kalau perubahan itu membuat lo lupa gue, rasanya lo jahat banget sama gue!"

Dan di sanalah percakapan keduanya berakhir. Nara bahkan tak bisa menjawab pernyataan yang di lontarkan Rama. Membuat rasa tidak enak itu kembali muncul dan rasa malu menjadi satu.

Nara berguling-guling di kasur pink miliknya, meratapi nasib memalukan yang terekam di dalam memorinya. Bahkan sedari tadi hawa panas di wajahnya belum kunjung hilang. Belum lagi saat isi otaknya membuat gambar wallpaper menggunakan wajah Rama yang adem itu.

Number OneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang