[Tujuh] Number One

8 6 0
                                    

Melihat cowok dengan badan jangkung yang berjalan ke arah bangkunya, membuat Nara panik sendiri. Ia tau siapa yang tengah berjalan ke arahnya, dia adalah Rama. Cowok yang terlihat akrab dengan Nara yang ada di masa lalu, cowok yang Nara lupakan.

Sumpah demi apa pun, ia ingat Johan, ia ingat Hendi, ia ingat Kia, Bagas atau Mama di rumah, bahkan cewek-cewek cabe ia sangat ingat. Namun kenapa? Rama ia bisa lupa? Rama seperti orang asing baginya.

Alasan kenapa Nara panik saat ini adalah karena dia takut jika Rama akan berbicara panjang lebar atau menanyainya banyak hal yang mungkin saja Nara lupakan dan Nara hanya tidak enak saja, padahal mereka teman tapi Nara melupakan soal Rama.

Bersikap biasa, biasa aja, biasa aja.... Gumam Nara dalam bantin sambil menutup wajahnya dengan telapak tangan saat Rama mengambil duduk di sampingnya. Nara terus menyibukan diri dengan memakan mie-nya.

Awalnya Rama hanya berbincang dengan Johan dan Kia, jika Hendi sepertinya belum angkat suara. Tapi entah ada angin apa tiba-tiba Rama memanggil namanya.

"Eh iya, Ra."

"Ya?" ujarnya kaget dan gerakan tangannya membuat botol minuman teh—yang tadi lupa ia tutup—tumpah, botol itu tumpah menghadap Rama dan membuat air teh mengalir membasahi celana Rama.

Ya ampun! Gawat! Pekik Nara dalam hati, sedangkan mulutnya berteriak "wa!" Nara kepalang panik. Bukannya membenarkan posisi botol dulu Nara justru mengacak-acak rambut frustasi sambil menoleh ke kanan dan kiri, tentu saja ia mencari tisu yang sayangnya tidak ia temukan di meja. Kotak tisu kosong.

Dengan sigap Rama membenarkan posisi botol supaya air teh tidak terus mengucur. Ya ampun, Nara! Ceroboh!

"Duh maaf banget! Duh maaf ya, maaf. Gak ada tisu lagi. Duh pake apa ya? Oh pake ini aja," ujar Nara kalang kabut, ia terpikir untuk mengelap tumpahan teh di paha Rama dengan roknya. Kekonyolan yang dilakukannya saat panik seperti ini. Peduli setan, yang penting Nara sudah bertanggung jawab dan meminta maaf.

"Gue gak sengaja, sumpah deh!" gumam Nara sambil terus menggosok roknya pada paha Rama. "Aduuh, kering gak ya? Semoga kering deh. Nanti ini bakal di serbu semut gak ya? Duh, kalo di serbu semut gimana?" dumel Nara tak henti.

"Udah woy, ke enakan Rama-nya, Ra. Apalagi lo gosoknya pake rok," ujar Johan tiba-tiba membuat Nara menghentikan kekonyolannya lalu menurunkan roknya dari paha Rama.

"Sialan lo, gak gitu juga kali," elak Rama tak santai. Kepalanya kembali menoleh pada Nara yang sudah memilih untuk duduk.

"Gak apa, nanti celana gue juga kering. Tapi gue lebih khawatir sama rok lo sih, jadi ikut basah sama manis deh. Kalo roknya manis... Apalagi wajahnya."

Duar!!!!

Apa yang dikatakan Rama barusan membuat bangku mereka mendadak hening, bukan hanya hening, Nara bahkan merasakan kalau jantungnya berhenti berdetak selama dua detik! Jangankan detak jantung, Nara bahkan menahan nafas selama lima detik. Sangat terkejut dengan kerecehan yang di katakan Rama barusan.

"Gercep bosque." Hendi akhirnya angkat suara.

Dan tawa Kia membuat suasana meja kembali kondusif. "Anjir, lo ngebucin juga Ram? Sejak jadi anjing stres, kah?" dan Kia tertawa lagi.

Johan ikut tertawa lalu melontarkan kalimat bully an untuk Rama. "Kebanyakan minum pil penguat jomlo," ujar Johan dengan santuy.

Membuat Johan, Kia atau bahkan Hendi terkikik geli. Untuk Hendi, dia hanya terkekeh selama tiga detik.

Nara masih syok dan ia memilih untuk meneruskan makannya sebelum bel berbunyi masuk. Jangan-jangan dia itu memang bucin kelas kakap? Pikir Nara. Mungkin ia harus segera mencari tau tentang Rama agar ia merasa tidak di kejar-kejar hantu.

Number OneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang