[Enam] Number One

10 5 0
                                    

"Kamu itu teladan untuk anak IPA. Bisa-bisanya hari ini kamu membuat ulah," ucapan Ibu Ira terhenti, ia menghembuskan nafas berat. "Ibu gak bisa tinggal diam, Ibu akan masukan ini ke dalam poin kamu, jika kamu mengulanginya lagi... " Wanita itu menarik nafas. "Bu Run akan Ibu panggil ke sekolah. Paham?"

Rama mengangguk pelan. Ada rasa takut—sedikit—di wajahnya.

"Kamu boleh keluar." tegas Bu Ira yang menjabat sebagai guru BK di SMA Tugu Bangsa.

Rama keluar dengan kepala tertunduk. Entah kenapa ia juga merasa bersalah karena ulahnya tadi pagi. Ia mendapat tiga poin hari ini, yang pertama telat, yang kedua penampilan yang tak sesuai standar sekolah dan makan di kelas. Ya yang terakhir itu karena di paksa oleh teman kampretnya, Hendi. Dan saat baru melahap beberapa wafer, Ibu Sukma—guru biologi—masuk kedalam kelas dan memergoki keduanya. Dan membuat keduanya mendapat poin, namun Hendi tak mendapat poin di buku BK, hanya di buku poin Bu Sukma.

Rama pikir merubah dirinya menjadi seperti dulu mudah, nyatanya tidak. Ternyata menjadi nakal itu sulit. Pikirnya.

Rama berjalan pelan di koridor kelas XI, ia berbelok ke kiri untuk masuk ke toilet. Rasanya ia sudah tak nyaman menggunakan penampilan seperti anjing stres itu, karena sedari tadi tak henti banyak pasang mata yang memandanginya aneh. Seolah menilai tampilannya itu sangat-sangat tidak lazim. Ya, walau memang benar.

Ia mulai dari rambut, jarinya mulai mengusap rambut dan menyisirnya pelan agar rapi dan tidak berantakan seperti orang habis kesetrum. Lalu kemeja seragamnya, ia memasukan ujung kemejanya yang keluar kemana-mana, dan memasukan rantai yang keluar dari sela-sela saku celananya, tadi ia sempat membeli rantai macam preman punya itu di pinggir jalan. Biar bandelnya gak tanggung-tanggung, pikirnya tadi.

Hari ini ia lupa membawa ikat pinggang, ya sudahlah seperti itu saja sudah terlihat lebih rapih di banding saat ia datang ke sekolah tadi.

Setelah ia lihat penampilannya kembali seperti semula, ia memutuskan untuk menuju kantin, karena beberapa masalah tadi membuatnya lapar. Mungkin teman-temannya juga telah menunggu.

Sesampainya di kantin, ia melongokkan kepalanya ke segala arah, melihat dimana kedua teman kutunya memilih bangku. Karena kantin begitu ramai, ia jadi kesulitan menemukan kutu-kutu kecilnya itu. Jika saja bukan karena lambaian tangan Johan, mata Rama tak akan menemukan keberadaan mereka. Tak butuh waktu lama, dengan kaki jenjang miliknya Rama dapat segera sampai di bangku tempat kedua kutunya berada.

"Gimana? Sukses wawancaranya?" tanya Johan dengan kerlingan jahil.

"Lo pikir gue sidang skripsi," ucap Rama tak santai, ia duduk di sebelah Johan yang berhadapan dengan Hendi.

"Lagian lo ada-ada aja sih, ngapain pake acara ganti penampilan segala, udah tau angkatan IPA rawan." tutur Johan gemas lalu melanjutkan melahap somay miliknya.

Rama hanya terdiam, tak mau menyahut apa-apa, karena ia memang tak pernah menceritakan apapun soal masa lalunya dan itu yang membuat kedua temannya tak tau apa yang ia rencanakan.

"Kalo ada apa-apa, cerita. Kita kan kepompong," ujar Hendi angkat suara.

"Yaelah, dramatis banget sih!" gelak Rama berusaha mencairkan suasana. "Gue pesen mie pangsit dulu, ya," ucapnya kemudian, seraya menepuk sekilas bahu Johan yang memberikan anggukan. Rama berjalan menuju kios Ibu Mila, penjual mie pangsit yang paling best.

****

Nara mengantri dengan sabar, walau peluh sudah bercucuran di dahinya dan rasa lapar telah membuncah bagaikan gunung yang erupsi di dalam perut.

Number OneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang