[Lima] Number One

18 5 0
                                    

Kia memilih dua bangku di tengah yang masih kosong, sebenarnya kelas IPA-II memang masih sepi, mungkin karena masih terlalu pagi dan anak lainnya masih berebut untuk melihat mading.

Kia dan Nara bebas memilih bangku-bangku yang masih kosong, hingga Kia menyeret Nara ke bangku tengah yang kosong itu. Tempat yang selalu di pilih keduanya sejak kelas 9 SMP. Kata mereka, bangku tengah itu melambangkan; gak bodoh banget, juga gak sok kepinteran. Atau bangku tengah, bebas masalah.

"Kita dapet bangku yang di sini lagi. Ini-lah hasilnya, Ra, kalau kita berangkat pagi." ujar Kia dengan nada nasehat di film kartun.

Nara hanya berdeham lalu menaruh tas-nya di atas bangku sebelah kiri menghadap kedepan kelas. Detik berikutnya ia memilih duduk, namun tiba-tiba rasanya ada yang mengganjal di perutnya. Tiba-tiba saja Nara ingin ke toilet sekarang. Demi kerang ubur-ubur! Itu namanya Nara sedang di landa kesialan lagi!

Masih pagi juga, ah. Udah nagih aja nih alam. Gumam Nara pasrah.

Nara bangkit dari duduknya. "Ki, gue ke toilet dulu ya," ujar Nara ingin segera beranjak.

"Makanya, di rumah jangan ngutang mulu sama alam. Sekarang di tagih di sekolah kan gak enak," ujar Kia mencibir lalu tertawa terbahak-bahak.

Kampret, tau dari mana dia?

****

Nara menepuk pelan perutnya, setelah 10 menit ia bercengkrama di atas kloset, akhirnya ia keluar dengan rasa yang begitu melegakan. Seolah telah membuang bom atom dari perutnya.

Tak butuh waktu lama, Nara segera memutuskan untuk kembali ke kelas. Sebentar lagi bel masuk akan berbunyi. Demi apa pun, tadi ia terlalu lama menghabiskan waktu di atas kloset. Karena waktu di kosan ia lebih sering makan-makanan kering tanpa kuah atau makan mie instan goreng, alhasil bentuk yang di keluarkan akan sekeras tanah liat mengering. Ah, sudah! Jangan di bayangkan. Itu terlalu menyakitkan.

Nara berjalan tergesa, takut-takut guru sudah bertengger di atas bangku sebelum bel tiba. Itu namanya Nara tetap di anggap telat, apalagi dia anak IPA yang harus selalu disiplin dan mengusahakan agar datang ke kelas sebelum guru masuk. Then... Nara sedang berusaha sekarang, ia mempercepat langkahnya hingga tidak sadar kalau seseorang bertubuh tinggi tegap mementalkannya ke belakang.

"Aww!" desis Nara. Ia merasakan nyeri di kedua bokongnya. Padahal belum usai rasa perih akibat buang air tadi, sekarang justru di tambah dengan jatuh di atas ubin yang keras. Ini-kah yang di sebut kesialan bertubi-tubi?

Nara tidak ingat pernah membentak orang sebelumnya. Dulu kalau ia di tabrak atau menabrak, selalu dia yang meminta maaf. Tapi kini! Nara harus melakukan perubahan selanjutnya! Benar, kan?

"Kalau jalan tuh jangan pake mata sama kaki doang! Pake otak juga!" bentak Nara seraya mendirikan tubuhnya. Tapi ia merasakan bahunya yang di pegang, seseorang yang menabraknya membantunya berdiri.

"Sori, ya," katanya saat mata Nara tepat mendongak ke arah si penabrak. "Nara?" tanyanya begitu melihat wajah Nara.

Nara mengernyit melihat wajah cowok yang menabraknya itu. Ia tak ingat kalau ia mengenal cowok berahang tegas itu. Tapi cowok itu mengenalnya. Dan parahnya, cowok itu terlihat akrab dengan Nara yang dulu.

Number OneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang