DÉJÀ VU?

106 2 2
                                    

Ruangan ini sangat ramai dipenuhi oleh tawa-tawa karena candaan. Kukira ruangan ini adalah ruang tamu, ruang untuk menyambut dan mempersilahkan orang-orang, namun ternyata ruangan ini adalah kamar tidur, kamar tidurku, apa yang teman-teman lakukan di kamar tidurku? Entahlah, namun suasana ini sangat mengasyikkan. Kami tertawa renyah ketika salah satu di antara kami mengatakan hal bodoh. Candaan bodoh yang menghibur kami yang sedang lesehan di dekat ranjang tidur. Kami... tidak, aku sangat menikmatinya.

Dua orang laki-laki dan perempuan sedang saling bercanda. Entah temanku atau bukan, aku tidak kenal keduanya. Yang laki-laki menggoda perempuan berhijab itu lalu dia tertawa. Perempuan itu tertawa lebih keras keras ketika tiba-tiba berdiri lalu berjalan ke tempat aku bersandar di ranjang. Perempuan itu tersenyum manis ke arahku setelah duduk bersila di sampingku. Aku bisa merasakan jantungku berdetak tak beraturan. Namun, perempuan itu tidak menyadari wajah memerahku dan kembali menanggapi candaan (konyol) laki-laki yang baru saja ditinggalkannya.

Setelah mengetahui hal itu aku bersandar lemas ke ranjang. Seketika aku tersadar bahwa beberapa teman­-teman ini adalah teman-teman kuliah, sementara sisanya aku tidak kenal, termasuk perempuan berhijab di sampingku dan laki-laki yang dia ladeni candaannya.

Tiba-tiba teman sekelasku dulu berdiri sambil memegang sebuah microhone. Tunggu, dari mana dia mendapatkannya? "Teman-teman sekalian, mari ucapkan selamat kepada teman kita ini yang berhasil memenangkan lomba cerpen yang hadiahnya jalan-jalan ke luar negeri", katanya sambil menunjukku. Eh, aku menang lomba cerpen? hadiahnya jalan­-jalan ke luar negeri? "Lalu, ucapan juga selamat kepada dua teman kita yang akan bertunangan, padahal masih kuliah", katanya lagi sambil menunjuk perempuan berhijab di sampingku dan laki-laki tadi. Tepuk tangan meriah untuk kami.

Entah kenapa aku merasa kecewa mengetahui ucapan selamat yang terakhir.


* * * * *


Dalam keburaman pandangan aku mendengar deru mesin. Ketika tersadar aku sedang duduk menggelayut di kursi yang empuk. Segera aku merapikan duduk lalu membenarkan kacamata yang hampir jatuh. Aku sedang berada di dalam bis yang sedang berjalan melewati bukit-bukit bebatuan. Melalui kacamata, aku bisa melihat hamparan tanah gersang jauh di sana. Tak ada tumbuhan sama sekali. Oh, apakah hadiahnya jalan­-jalan ke timur tengah? Namun, entah mengapa aku merasa kedinginan.

Bis berjalan keluar dari jalan beraspal menuju tanah bebatuan yang membuat goncangan pada orang-orang di dalamnya. Aku berkali-kali terantuk jendela dan membuatku sedikit pusing. Seperti biasa, ketika kepalaku terbentur sedikit saja aku akan merasakan pusing. Oh, aku ingin ada sebuah roket berukuran kecil yang entah dari mana datangnya meluncur untuk menghancurkan seseuatu yang membuat kepalaku berdenyut-denyut, seperti di iklan obat demam. Sayang sekali di sini tidak ada roket berkukuran kecil atau seseorang yang tiba-tiba menghampiriku lalu memberiku obat, yang ada di sini adalah hawa dingin yang memelukku semakin erat.

Bis berhenti di sebuah tempat yang sunyi. Dari jendela aku bisa melihat banyak kabut mengepung bis. Ketika pintu bisa terbuka (dengan sendirinya) kabut masuk perlahan menyambutku. Aku menerima sambutannya dan berjalan (dengan hati-hati) keluar dari bis. Setibanya di luar, aku langsung diserang oleh hawa dingin, namun aku dilindungi oleh kabut tadi yang menyambutku.

Seseorang bertubuh besar dan tinggi berjalan melewatiku. Suara-suara bising terdengar dari belakang. Ketika kutengok ke belakang, orang-orang turun dari bis tadi. Oh, kukira aku sendirian. Aku bergabung ke rombongan yang (sepertinya) dipandu oleh laki-laki bertubuh besar tadi, karena mereka mengikutinya. Laki-laki berutubuh besar itu ternyata memiliki jenggot lebat di wajahnya. Tangannya bergerak-gerak menunjuk sesuatu yang hanya terlihat kabut tebal (bagiku) sambil mengatakan sesuatu dalam bahasa Arab.

Yang Tak TerjelaskanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang