2. Pelarian

42 7 2
                                    

"Hanya orang lemah yang selalu lari dari masalah. Mungkin aku salah satunya."
.

Resti tidak pernah main-main dengan apa yang diucapkannya. Malam itu ia mulai mengemasi barang bawaannya kedalam koper kecil dan sebuah ransel cokelat kesayangannya.

"Res, gak harus gini juga kan." Sari mencoba membujuk Resti yang sedang sibuk berkemas.
"Klo lo emang masih belum terima sama pernikahan Papa lo, lo mending pergi liburan aja deh. Buat refreshing gitu".

Resti menatap sahabatnya itu. "Lo gimana sih, Sar! Gue tu mau kabur, bukannya liburan." Ucapan Sari justru membuat Resti semakin jengkel.

Sari hanya tertawa ketika melihat sahabatnya itu kesal. Lalu kembali terdiam. "Emangnya lo gak kasian apa Res, sama papa lo? Lo kan anak tunggal ."

"Ya... mungkin gak lama lagi dirumah ini bakalan ada baby yang harus gue panggil adik."

"Gue tau kok. Lo cuma merasa cemburu dengan kehadiran Tante Rahmi didalam keluarga Lo."

Begitulah, selama lebih dari 5 tahun ini Resti hanya mendapat kasih sayang dari Papanya. Bukan tidak mungkin ia merasa takut jika perhatian papanya akan terbagi.

"Lo itu sebenarnya ada dipihak siapa sih, Sar!" geram Resti. "Gua kira lo itu sahabat terbaik gua, nyatanya lo lebih peduli sama papa dibandingkan perasaan gua saat ini".

Sari sebenarnya tidak bermaksud menentang, namun yang di lakukan Resti baginya itu sudah kelewatan. "Bukan gitu Res. Maksud gua itu, lo se..."

Tok,tok .

"Non, makan malamnya sudah siap. Tuan dan nyonya sudah menunggu di meja makan". Suara bi Siah dibalik pintu.

Sontak keduanya pun terdiam. "Iya, bi. Bentar lagi kami keluar," sahut Resti.

"Lo makan malam disinikan?" tanya Resti.

Sari bangkit dan merapikan rambutnya. "Kayaknya nggak deh, Res. Bentar lagi nyokap mau pergi, gua harus jagain Icha. Dia gak mau ikut."

"Yaudah, gua gak maksa kok." Keduanya pun lantas tersenyum. "Udah, keluar yuk." Resti mengajak sari keluar dari kamarnya.

Mereka melangkah menuju ruang makan. Disana sudah ada Papa dan Mama tiri Resti. Keduanya tampak sedang bersenda gurau.

"Malam sayang." Begitu sapa Mamanya ketika melihat Resti dan Sari menghampiri mereka. Ia berharap Resti mau berbaikan dengannya.

Papanya pun ikut menoleh pada mereka. "Eh, ada Sari Ayu. Kebetulan banget, ayok ikut makan malam bareng kita," canda Papa Resti.

"Maaf ya om, kayaknya gak bisa deh. Soalnya sari harus jagain Icha di rumah." Sari memberikan senyuman termanisnya.

"Yah, sayang banget ya. Padahal Mamanya Resti udah masakin soto ayam. Itu makanan kesukaan kalian kan." Papa Resti sedikit kecewa mendengar penolakan Sari.

Sari menyenggol Resti dengan sikunya. Ia benar-benar merasa tidak enak pada Papa Resti. Tidak mungkin ia meninggalkan adiknya lama-lama, meskipun rumah mereka hanya bersebrangan.

"Udah, gak papa kok. Nanti klo Sari kesini lagi, pasti Tante masakin la-..." Ucapan Mamanya Resti terpotong.

"Sar, lo mending pulang sekarang, deh. Ini udah larut malam. Kasian Icha, dia pasti kesepian sendiri di rumah." Resti berpura-pura melihat arloji dan langsung menarik lengan Sari. Ia muak mendengar kata-kata manis yang keluar dari mulut Mama tirinya itu.

"Resti antar Sari keluar dulu ya, Pa." Mereka lalu beranjak meninggalkan ruang makan. Sari pun hanya melambaikan tangannya seolah ingin mengucapkan 'good bye semuanya'.

Resti mengantarkan Sari sampai kepintu depan. Mereka berpelukan, pelukan dari seorang sahabat.

"Lo besok hati-hati, ya. Lo kan kalau pergi jauh, gak pernah sendirian."

"Biasanya lo yang selalu nemenin gua, ya," canda Resti.

Tawa keduanya pun pecah. Mengingat dulu mereka pernah nyasar saat mencari alamat rumah pamannya Sari yang di Yogyakarta. Untungnya mereka ketemu sama pak Ridho, tukang becak yang kenal sama pamannya Sari. Mereka pun diantar naik becaknya.

"Gua pasti bakalan kangen banget sama lo. Semoga Papa lo bisa cepat nemuin lo, ya." Sari tidak tau lagi apa yang harus dilakukannya untuk mencegah Resti.

Sedang Resti hanya cengengesan. "Tapi lo jangan kasih tau Papa klo gua pergi ke Bandung. Lo pura-pura gak tau apa-apa aja, ya."

"Iya..., Kancil kota." Karena Resti itu gadis yang sangat cerdik, maka temannya di sekolah sering memanggilnya dengan julukan itu.
"Yaudah, gua balik dulu ya."

Resti terus memandang kepergian sahabatnya itu. Ia sempat membalas lambaian tangannya, lalu menghilang setelah keluar dari pagar rumahnya. "Maafin gua ya, Sar," lirihnya.

Resti kembali bergabung di meja makan. Ia sebenarnya tidak lapar, moodnya saja sudah hancur karena mendengar ucapan Mamanya tadi. Apalagi sekarang Papanya terlihat sudah selesai menyantap makan malamnya, tanpa menunggu Resti.

"Sayang, Papa harus berangkat sekarang, ya. Kamu baik-baik di rumah, jangan kelayapan mulu." Seperti dugaan Resti, Papanya akan berangkat malam ini.

"Iya, Pa."

Pak Ardi membelai pelan rambut putri semata wayangnya. "Papa gak bakalan lama kok." Sebuah kecupan mendarat di kening Resti.

"Berapa hari?" tanya Resti.

"Paling cuma tiga hari, klo kamu kangen sama Papa telepon aja," goda Pak Ardi. Dan hanya dibalas tawa renyah dari putrinya. "Papa berangkat ya, sayang." Begitu pamitnya.

"Bik, jagain Resti ya." Mamanya ikut berpamitan. "Dah, sayang." Ia ingin memeluk Resti, namun di tepisnya.

Pasangan itu pun pergi meninggalkan rumah dengan membawa satu koper yang berukuran jumbo. Mereka akan pergi ke Palembang, kampung halamannya istri Pak ardi. Kebetulan jadwal keberangkatan pesawatnya dipercepat.

"Emangnya aku anak kecil apa, harus dijagain segala," ketus Resti. Bi Siah hanya geleng-geleng melihat tingkahnya Resti.

**
Jam baru menunjukkan pukul 05.35 WIB. Masih terlalu pagi untuk jadwal keberangkatan Bis. Resti sudah duduk di salah satu kursi panjang yang ada di terminal.

Ia sengaja datang lebih awal, takut ketauan sama bi Siah. Karena biasanya si bibik saja sudah bangun saat azan subuh. Resti bahkan berbohong pada Sari, karena takut rencananya gagal.

"Ternyata kalau pagi gini, disini dingin juga, ya." Ia bergumam sendiri. untunglah hari ini ia memakai baju bahan rajut berwarna navy yang lumayan tebal. Sehingga Resti tidak begitu kedinginan.

Sebuah bis berwarna merah jurusan Jakarta - Bandung sudah parkir diantara banyaknya bis. Terlihat sang supir sudah menghidupkan bis tersebut, untuk memanaskan mesin.

Beberapa penumpang yang sudah dari fajar tadi mulai menaiki bis tersebut. Begitu juga dengan Resti.

Tidak berselang lama, setelah seluruh penumpang naik, bis pun berangkat. Meninggalakan terminal dengan kecepatan pelan, kemudian melaju dengan kencang.

"Selamat tinggal, Jakarta." Tatapnya keluar jendela. Bis yang perlahan mulai meninggalkan kota Jakarta.

....

Gak semua ibu tiri itu jahat lho guys. Gak semua lho ya, bukannya gk ada🙄.

Resti sebenarnya mau kemana sih? Buru-buru amat.
Baca lanjutannya aja deh!!
Lopelope😘

Imagination In LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang