Rana's
"Ya lo nya juga sih bego, Ran! Mana ada cewek yang tahan sama makhluk berkelakuan tsundere kayak lo!?? Apa yang Seyna lakuin masih ada aja salahnya dimata lo. Ini bener-bener gila, Ran." Perkataan Baginda menjadi respon yang cukup mengejutkan atas cerita panjangku.
"Salah gue dimananya?" Baginda, sahabat yang selalu mengikutiku sejak awal masuk kuliah hanya menggelengkan kepalanya. Apa yang salah sebenarnya?
"Dia cewek, Ran. Sikap lo cuma nyakitin perasaannya kalo terus-terusan begitu. Andai Seyna gak semenyebalkan diri lo, mau deh gue deketin."
Diriku mendelik sebal, "Awas aja kalo berani. Gak akan gue bantu tugas-tugas lo! Gue cuma butuh lo ngawasin dia."
"Dan gue udah kasih laporan berapa kali ke lo selama dua semester ini sebanyak apaaa cowok yang gencar mau jadiin Seyna pacarnya? Kalo bukan karna yang bisa Seyna ucapkan itu cuma nama lo, dan segala kelakuan menyebalkan lo, udah gue pastikan mereka bakalan jadi sama Seyna."
Termenung, Baginda benar. Setiap kali menatap gadis itu dari jauh aku selalu merasa aman tapi saat seorang laki-laki akan mendekat, selalu saja alasan "kata bundamu" yang ku gunakan agar gadis itu mau mengabaikan hal lain.
Seminggu yang lalu, diriku mengantarnya pulang namun karna takut melukainya dengan perkataan tajam semua berakhir dengan diriku yang meninggalkan gadis itu begitu saja. Dan dengan bodohnya hanya mengikuti dalam diam.
Benarkah hal yang kulakukan itu? Apa perlakuanku itu adalah cara yang benar untuk membalas perasaan Seyna yang begitu tulus? Apa memang dia setulus itu?
"Oh iya! Dia juga mahasiswi terpilih buat penerima beasiswa pertukaran pelajar tahun ini ke Jerman. Sialan banget lo! Katanya dia gak sepinter itu, sekarang gue harus siap diledek sama dia."
Lamunanku terpecah oleh perkataan Baginda. "Kapan berangkatnya? Kok gue gak tau kalau pengumumannya udah keluar?"
"Karna lo gak pernah ambil pusing sama apa yang terjadi ke dia, Ran. Lo cuma selalu beranggapan dia aman selama kalian dekat, gak peduli kalo dia bisa lari kapan aja dari lo. Gue bahkan ragu apa tujuan lo sekarang setelah berhasil buat dunianya cuma berputar 'disekitar' lo?"
Rasa tak nyaman ini datang lagi, ingin menyangkal perkataan Baginda tapi tidak ada kata yang keluar dari mulutku. Justru rasa bersalah dan perasaan ingin memiliki yang begitu besar ini yang dapat kurasakan.
"Gue kayaknya harus ketemu Danisha. Gue pamit." Ku langkahkan kaki untuk menuju ke fakultas kedokteran. Tanpa menghiraukan teriakan Baginda.
€€€€€
Dan saat melihat diriku, raut panik langsung terlihat diwajah Danisha dan diapun mengusir seorang temannya yang kuketahui juga dekat dengan Seyna.
"Mau cari apa kesini? Kalau mau tanya soal Seyna, aku gak akan kasih tau." Danisha dan kekeras kepalaannya.
Jujur saja ini bukan pertama kalinya diriku bertanya tentang Seyna. Bahkan saat pertama kali pertanyaan mengenai gadis itu terlontar dari bibirku, perdebatan tidak dapat dihindari.
Dengan senang hati Danisha menyumpahi dan mengutuk segala tindakanku selama ini pada sahabatnya yang berbanding terbalik tidak tau malunya diriku menanyakan segala kebiasaan dan hari-hari dari gadis itu.
Tapi pada akhirnya dia nyerah dan ngejawab juga pertanyaannya. Begitulah.
"Aku harus jelasin gimana lagi ke kamu, Sha. Aku sangat menyesal karna terus buat Seyna terluka. Tapi kamu orang yang paling tau, aku ini gak sempurna. Aku gak tau gimana caranya mengekspresikan perasaan aku."
Lagi-lagi topik ini yang kami bahas. Danisha sangat tau bahwa aku dengan trauma masa kecilku menjadikan semua ini sulit.
Aku tidak dapat mengerti mengapa Seyna begitu teguh bertahan dengan semua perlakuanku.
Danisha menangis dan jatuh memelukku, aku tau seberapa tersiksanya dia harus pura-pura merasa tidak bersalah pada Seyna atas perbuatan sepupunya ini dan saat dia ingin menyalahkan diriku jawaban yang ku berikan selalu sama.
'Aku gak tau apa yang salah dengan perlakuanku, toh Seyna masih dengan keras kepala mengejarku.'
"Sampe sekarang akupun gak ngerti gimana perasaan Seyna ke kamu. Aku hanya melihatnya sebagai obsesi semata karna kamu tidak pernah menunjukan pengaruh pada perlakuannya. Dan aku udah minta kamu untuk jauhin Seyna kan, Nan? Jadi tolong-"
Perkataan itu terpotong saat sebuah jeritan menyerukan namaku dan Danisha terdengar. Bahkan saat aku justru terfokus pada gadis berambut gelombang itu, jeritan Danisha hampir luput dari pendengaranku.
"SEYNA! KAMU GILA HAH!? BENAR-BENAR KEKANAK-KANAKAN!" Langsung ku bawa Danisha menuju klinik dengan memaksa langkah agar tidak berbalik lagi. Tolong berhenti nangis, Sey.
Aku tidak habis pikir dengan kelakuan Seyna. Begitu tidak berdasar dan sangat bukan dirinya sekali. Datang dengan amarah yang begitu meledak-ledak dan langsung menarik Danisha hingga terjatuh. Untunglah hanya terdapat memar kecil di lengannya.
Tiba-tiba perkataan Danisha kembali berputar dikepalaku. Seyna dengan obsesinya akan reaksiku.
Apa benar seperti itu? Lalu apa maksud Danisha, ketika aku membalas perasaan Seyna gadis itu akan merasa puas dan berhenti menggangguku?
Rasanya sedikit... mengecewakan.
Kualihkan perhatianku pada Danisha, Saat ini gadis itu tengah sibuk memarahi temannya yang justru menyusulnya.
"Kamu kenapa malah bilang gitu, Hasna!" Serunya terdengar gemas pada temannya itu.
"Dia kelewatan, Sha! Masa cuma karna ngeliat kamu meluk dia yang notabennya sepupumu sendiri harus marah. Cemburunya gak ngotak."
Perkataan itu menyadarkanku. Apa Seyna pernah tau kalau diriku dan Danisha sepupuan? Kini pandanganku dan Danisha bertemu.
Aku beranjak pergi untuk menemuinya. Apa lagi yang harus kupusingkan? Selama ini aku sudah tau bahwa kemungkinan gadis itu hanya terobsesi padakulah yang menahan langkahku. Tapi kini aku tidak perduli. Kalau Seyna bosan, maka aku akan menjeratnya agar tetap bersamaku seumur hidup.
Kali ini semuanya terasa jelas, aku tau apa yang harus kulakukan. Aku benar-benar yakin dengan perasaan ini. Debaran menegangkan saat membayangkan senyumnya, atau takut saat ditinggalkan. Rasa sakit saat melihatnya mencoba bertahan ataupun bangkit setelah terjatuh yang hanya bisa kuperhatikan dalam diam atas setiap perlakuanku.
Cemburu. Sebuah kata sakral yang menandakan kalau perasaan Seyna itu nyata!
"Seyna pasti nyesel banget karna udah dorong aku tadi. Jangan dibuat nangis lagi! Ini hari terakhir Seyna sebelum pergi ke Jerman. Buat dia senyum untuk sehari ini saja, Nan."
Perkataan Danisha masih dapat ku dengar saat pintu hampir tertutup.Tidak. Aku tidak akan membuat Seyna senyum hari ini saja. Aku akan membuatnya terus tersenyum.
Membuatnya merindukan segala hal manis yang akan kulakukan dan tersiksa karna ingin cepat pulang.
Aku, akan menyatakan perasaanku.
END
Akhirnya beneran end jugaa *\^o^/*
KAMU SEDANG MEMBACA
[SONG FICTION] LIMERENCE
Fanfiction; Sebuah kondisi saat kita sedang tergila-gila dengan seseorang. [Songs from Lune] 2nd Story EXO CBX_Would You Be My Love